Mohon tunggu...
Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger Indonesia

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menikmati Tulisan Seharga Satu Juta Rupiah

5 Mei 2011   15:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:02 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam ini saya iseng-iseng membaca tulisan pemenang lomba bloging The Power of Book periode KG Fair Semarang yang berakhir 28 April 20011 yang baru lalu. Lomba ini berhasil mengumpulkan 54 tulisan. KG Fair menyediakan voucher pembelian buku masing-masing senilai Rp 1.000.000,00 untuk 3 pemenang.

Berikut postingan terbaik lomba blog KG Fair Semarang.

Saya mengucapkan selamat kepada para pemenang. Ketiga tulisan itu memang bagus dan menginspirasi. Sayang saya baru sempat membaca tulisan ini sekarang. Oleh karena itu, saya ingin anda para pembaca belajar dari tulisan mereka yang alamiah. Mereka menulis tanpa beban. Itulah yang membuat tulisan mereka menang dan berhak mendapatan hadiah.

Berikut ini saya copas isi ketiga tulisan itu.  Semoga Bermanfaat untuk pembaca.

Jendela Dunia dan Kunci untuk Membukanya

OPINI | 21 April 2011 | 16:50 61

5
Nihil

Ketika masih kecil, saya selalu merasa dunia bagaikan sebuah film. Saya dan orang-orang di sekitar sebagai tokoh utama. Dunia saya sempit sekali waktu itu. Beberapa tahun silam, atas dorongan seorang kakak agar saya sedikit menyisihkan waktu untuk membaca, saya jatuh cinta pada sebuah buku. Sampul buku tersebut menampilkan sebuah judul, Bumi Manusia. Pramoedya Ananta Toer menulis buku itu dengan sangat indah. Sosok Minke, juga Nyai Ontosoroh, tokoh-tokoh dalam buku ini, bercokol lama dalam benak saya. Minke dan Nyai Ontosoroh adalah perlambang tentang perjuangan, kemanusiaan, Nasionalisme dan hasrat belajar yang menggebu-gebu. Buku ini cukup mempengaruhi saya. Banyak tuturan kata-katanya yang menginspirasi. Saya bukan satu-satunya orang yang merasakan demikian. Tengoklah betapa banyaknya buku ini dicetak ulang dalam berbagai bahasa di dunia. Selepas membaca Bumi Manusia, saya mulai menggemari karya-karya sastra penulis Indonesia. Saya mulai mengenal cerpen-cerpen Umar Kayam yang legendaris. Cerpen-cerpen Umar Kayam merupakan salah satu favorit saya sepanjang masa. Saya bisa membaca kumpulan cerpen Seribu kunang-kunang di Manhattan, berulang kali, dan tidak kunjung bosan. Selain Pram dan Umar Kayam, salah satu penulis lain yang pertama-tama saya baca karyanya adalah Remmy Sylado. Ketiga sastrawan ini berhasil meyakinkan saya, Indonesia memiliki pencerita yang hebat. Saya sampai punya pendapat, jika ada orang asing yang ingin tahu tentang Indonesia, persilahkan saja mereka untuk membaca karya ketiga penulis ini. Saya terkesan pada cara ketiga sastrawan ini mengungkap kisah. Perasaan haru menyeruak kala membaca tragedi-tragedi yang mereka sajikan. Saya terpukau pada detail waktu dan tempat yang mereka tampilkan, begitu rinci. Saya mengangguk setuju pada gagasan yang mereka ajukan, gagasan tentang keadilan, kemanusiaan dan cinta. Tiga nama ini lah yang akhirnya mendorong hati kecil saya untuk gemar membaca. Lalu saya menemukan Ronggeng Dukuh Paruk yang sensual, tragis, dan bahasanya cenderung kasar, karya Ahmad Tohari. Soal teknik mendeskripsikan latar cerita, Beliau ini adalah pengarang yang paling saya kagumi. Lewat karyanya itu, Ahmad Tohari terlihat seperti seorang pelukis realis yang sedang melukis dengan kuas. Ia melukis sebuah desa gersang dan miskin. Tentu saya tidak berhenti di Ahmad Tohari. Sejumlah nama-nama terus bermunculan. Ribuan pengarang hidup di seluruh dunia, dengan kisah masing-masing. Mereka begitu menarik untuk dibaca. Mereka, para penulis itu mempunyai gagasan-gagasan, yang meskipun bukan gagasan baru, tapi disampaikan dengan cara-cara yang khas. Buku-buku yang hebat, memberi nilai lebih pada kejadian sehari-hari yang mungkin terlihat biasa. Sebuah Apel jatuh dari pohon, hanya akan menjadi buah busuk digerogoti belatung bila Newton tidak menuliskannya menjadi Teori Gravitasi. Para pengarang, melalui buku-bukunya, mengajak saya sebagai pembaca untuk memaknai pengalaman, mengamati alam dan kehidupan. Ide, gagasan, buah pikir, ditambah pengalaman para penulis itu, mustahil saya peroleh dari kejadian sehari-hari yang saya alami sendiri. Dunia ini sedemikian luasnya. Pepatah bilang buku adalah jendela dunia, dan membaca merupakan kunci untuk membukanya. Sungguh ini bukan ungkapan klise. ====================================================================

Kota Kecil, Awan Gelap, dan Buku

OPINI | 21 April 2011 | 21:28

35
4
Nihil Kalau anda tinggal di sebuah daerah terpencil, lalu bekerja, berumah tangga di sana, sepertinya hidup akan berjalan begitu saja. Tiap pagi anda bangun tidur, bekerja, lalu pulang kerja nonton tivi, sesekali bermain bersama anak, lalu istirahat, untuk kembali bekerja esok harinya. Jika anda tinggal di sebuah daerah yang terpencil, atau taruhlah, sebuah kota kecil, maka bersiaplah menjadi terlupakan. Barangkali di atas langit-langit kota anda, ada segulung awan gelap, kumpulan sumpah serapah orang-orang di sana, dan sumpah serapah kaum pendatang. Suka tidak suka, tinggal di kota kecil memang harus sering berhadapan dengan keluhan, meskipun di kota besar juga tak kurang keluhannya.  Soal transportasi yang buruk, fasilitas air bersih dan listrik yang tidak memadai, hiburan yang sedikit, pertunjukan seni yang amat jarang, tontonan yang itu-itu saja. Bagi pendatang dari kota besar, eksotisme daerah terpencil hanya akan berlangsung singkat saja dalam kehidupan mereka. Lambat laun yang dirasakan adalah, debu jalanan, udara yang panas, nyamuk, listrik byar pet, dan air ledeng yang sering mati. Mengutip Tim Harford dalam bukunya “logika hidup”, kota besar menjadi insentif bagi manusia yang tinggal di sana, karena hembusan angin pengetahuan, yang berputar-putar di dalam kota, dan meniup siapa saja, menyentuh mereka, dan membuat penduduknya lebih sering mendapat ide, berinovasi dan bergerak maju (kira-kira begitu, karena saya tidak melakukan copy paste terhadap tulisan beliau, lebih ke persepsi seingat saya). Bahkan ia  sempat menyatakan, bahwa sebaiknya pemerintah memberi insentif uang kepada korban bencana alam di daerah terpencil, bukan untuk membangun kembali rumah mereka, namun memindahkan mereka ke kota yang lebih maju dan lebih besar. Lalu bagaimana dengan mereka yang terperangkap di daerah terisolir, yang mencari penghasilan untuk menyambung hidup sehari-hari, bergaul dengan orang yang sama, orang yang itu ke itu saja, jauh dari seliweran ide dan informasi terbaru? Dan bayangkan ini terjadi terus menerus, setiap hari, sampai ajal menjemput. Awan pengetahuan kelihatannya hanya ada  samar-samar di kota kecil. Bagi saya, salah satu jalan keluar untuk mengatasinya, hanya melalui buku. Terima kasih kepada internet, karena kini tak sulit lagi untuk mencari buku-buku bagus. Jika di toko buku lokal seperti Gramedia (untunglah, sejak dua tahun lalu Gramedia sudah buka cabang di Jambi), tidak ada, kami bisa membeli buku idaman dengan cara online. Buku mampu mengasah imajinasi, dan mengecas otak setiap waktu. Membuat kita mengetahui apa yang terjadi di luar sana, bagaimana orang-orang berpikir, dan apa yang mampu mereka capai. Membuat kita sadar, bagaimana lingkungan tempat kita tinggal. Apakah yang perlu dilakukan untuk mengubah, ataupun mengupayakan perbaikan di sana-sini. Buku juga yang membuatku dulu sering bercerita kepada anakku sebelum tidur. Kisah-kisah Enid Blyton yang ku ubah di sana-sini, lalu dongeng-dongeng klasik lainnya. Kini anakku sudah menulis beberapa lembar halaman, berisi beberapa judul cerpennya. Entahlah apakah akan ada yang menerbitkannya nanti, namun bagiku itu adalah permulaan. Membuatku menjadi seperti apa adanya diriku sekarang. Melihat ke masa lalu, aku tidak bisa membayangkan kalau aku tidak tersentuh oleh buku. Barangkali aku yang sekarang hanya sekadar menjadi ibu rumah tangga, yang disibukkan oleh pekerjaan sehari-hari yang monoton (sekarang masih, namun aku punya kehidupan di luar itu yang luar biasa, membaca buku), yang bisa menumpulkan otak, (ini lah yang dikatakan harford, melakukan pekerjaan yang itu-itu saja memang membuat anda semakin ahli, namun mematikan syaraf anda mengenai pengetahuan lainnya yang mungkin dulunya anda miliki). Jangan tinggalkan buku. Saya berkata kepada adik saya,  ”Jangan menjadi seperti orang yang memiliki beberapa mobil di garasi, namun tidak memiliki perpustakaan pribadi.” Dia sendiri memang pembaca buku dan pembeli buku yang rajin. Sebelum saya mengatakan itu, ia sedang dalam tahap membuat perpustakaan mini di rumah barunya.

Membentuk Manusia

Persentuhan yang intens dengan buku jarang terjadi secara semerta-merta. Saat awal-awal berkuliah, saya hanya sekadar pembaca majalah dan komik seperti donal bebek. Kalaupun ada buku di rumah, itu hanya sebatas buku populer cerita anak, yang sering dibelikan oleh ayah saya. (saya bersyukur setidaknya beliau telah mulai menanamkan bibit membaca buku tersebut). Sampai suatu ketika, seorang teman menantang saya untuk membaca buku pramoedya ananta toer, dan langsung disodorkannya buku tetralogi manusia. Ini buku berat pertama yang saya baca, dan sungguh sulit untuk menyelesaikannya. Bisa saja saya putus di tengah jalan, hanya sampai buku pertama atau kedua. Namun ketika saya selesai membaca keempatnya, lalu menyusul buku-buku pram yang lain. Ada satu rahasia kecil dalam hobi membaca buku. Selesaikan membaca. Jika anda tidak menyelesaikannya, maka jarang sekali anda akan mendapat manfaatnya. Ini berlaku untuk buku-buku bermutu yang memang layak dibaca. Setelah itu saya mulai membaca buku-buku sastra. Buku terberat yang berhasil saya selesaikan adalah novel dr zhivago karya boris pasternak. Sungguh berat membaca buku ini, bagi saya yang baru mulai membaca. Tiap kali, kemajuannya hanya dua tiga halaman saja. Kadang berhari-hari kemudian baru saya sambung lagi.  Sebulan mungkin hanya beberapa kali saya buka, untuk menyambungnya. Sehingga butuh hampir setahun, ketika saya mencapai halaman terakhir. Sensasi membaca buku bermutu baru anda rasakan beberapa saat setelah anda mencapai halaman terakhir, sekitar belasan menit setelahnya, saat anda terpaku, lalu pelan-pelan cahaya buku itu merasuki dada, dan pikiran anda. Sejak saat itu, saya adalah pemburu buku-buku bermutu.  Sungguh saya merasa bersyukur, jika saja saya masih seperti saya yang dulu, hanya membaca buku-buku populer, komik, dan cerita-cerita ringan, maka kehampaan yang terkadang kita rasakan, sebagai seorang manusia, barangkali akan semakin sering menyeruak dalam batin kita. Terima kasih kepada penulis-penulis buku bermutu, yang sudah membagi intisari pengetahuan mereka kepada saya. Yang sudah mengajari saya, membimbing, dan menunjukkan kepada saya sebuah dunia lain yang berbeda, mungkin lebih ideal, lebih baik dari dunia saya sekarang. Tempat saya memiliki perbandingan terhadap hidup, tempat berkaca, dan memberi kemudahan dalam saya memilih pilihan-pilihan hidup. terima kasih kepada para penulis, yang tidak bisa saya sebut satu persatu, pram, tan malaka, penulis jepang, penulis barat, timur dan segenap mereka yang telah menyentuh saya lewat buku. Syukurlah saya sudah sampai di mana tempat saya sekarang, dan Insya Allah saya akan terus berjalan, dengan buku-buku yang akan terus mengiringi perjalanan saya, membentuk saya menjadi manusia yang lebih baik, lebih bermartabat, lebih beradab dan lebih peduli dengan lingkungan saya. Menjadikan saya soerang yang rendah hati, dan menyebarkan kebaikan bagi segenap makluk di bumi. Amin. ===============================

Andai Malin Kundang Baca Buku, Tak Akan Dia Jadi Batu

OPINI | 28 April 2011 | 05:06

41
2
1 dari 1 Kompasianer menilai bermanfaat

13039453182135777891
13039453182135777891
Andai Malin Kundang Baca Buku,

Tak Akan Dia Jadi Batu

“Pergi sana. Kau bukan ibuku,” seru Malin Kundang pada wanita tua yang berpakaian compang-camping itu. “Malin, aku ini ibumu. Aku yakin kau adalah anakku,” ucap wanita itu sambil menangis. Tangannya mencoba memegang tangan Malin Kundang. Malin Kundang semakin murka. Ditepiskannya dengan kasar tangan wanita tua itu. “Hahaha…. Tidak mungkin saya mempunyai seorang ibu yang miskin seperti kamu. Jangan permalukan aku di hadapan permaisuriku dan pengawal-pengawalku. Kamu paling hanya menginginkan hartaku saja, sehingga mengaku sebagai ibuku,” Wanita itu menjadi sangat sedih. “Oh Tuhan, dia sungguh keterlaluan. Kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”. Tidak berapa lama kemudian angin kencang bertiup diiringi badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu.

———————-

Cerita Malin Kundang yang kuperoleh dari wikipedia ini kubacakan di hadapan anakku. Cerita yang merupakan salah satu warisan budaya asal daerah Sumatra Barat ini, berakhir dengan sad ending.   Si anak menjadi batu, sedangkan ibunya tetap teramat sangat berduka telah kehilangan anak kesayangannya. Meskipun telah kubacakan cerita itu dari awal hingga akhir, Nabil, anakku, yang berusia empat tahun, tak cukup paham dengan cerita tersebut.  Rasa keingintahuannya memunculkan sederet pertanyaan kepadaku. “Malin Kundangnya kok jadi batu kenapa, Bu?” tanyanya kepadaku. “Ibunya berdoa agar Malin Kundang jadi batu. Doa ibunya dikabulkan, Malin Kundang jadi batu seperti doa ibunya,” jawabku. “Bu, kenapa ibunya berdoa Malin Kundang biar jadi batu?” tanyanya lagi. “Malin Kundang tidak nurut sama ibunya,” jawabku dengan bahasa yang sekiranya bisa dia terima. Aku pun ingin amanat cerita tersebut  tetap tersampaikan dengan baik kepada anakku. Tapi, tampaknya anakku itu belum puas dengan jawabanku. “Bu, kok Malin Kundang tidak nurut sama ibunya, kenapa?” tanya Nabil lagi. Aku terdiam sejenak, berfikir bagaimana cara menjawabnya.  Pertanyaan ini tentu saja jawabannya sangat filosofis. Kepentingan Malin Kundang, berbeda dengan kepentingan ibunya. Ibu Malin Kundang mengharapkan cinta dari seorang anak yang telah dilahirkannya, tetapi Malin Kundang mengutamakan kenikmatan yang telah dia peroleh sebagai orang kaya. Tentunya, pasti anak usia TK tidak akan mengerti perbedaan kepentingan ini. “Malin Kundang sudah jadi orang kaya, duitnya banyak. Ibunya, tidak punya uang. Jadi, Malin Kundang-nya malu.” Aku berusaha menjelaskannya, berharap Nabil mengerti. Namun. wajah Nabil masih berkerut. Itu pertanda bahwa dia belum puas dengan jawabanku. Aku deg-degan menunggu pertanyaannya berikutnya. “Malin Kundang sudah jadi orang kaya, kok malu kenapa?” tanyanya penuh selidik. Kepalaku mulai berdenyut. Mending mengerjakan soal psikotes deh, pikirku. Seratus soal sekalipun, tidak masalah buatku, dibandingkan satu soal yang sulit kujawab dari bocah kecil ini. Meskipun sulit, aku tetap harus memberikan jawaban padanya. “Harusnya Mas Nabil, Malin Kundang itu tidak boleh malu …..,” jawabku mencoba meralat ucapanku. “Iya, tapi ini Malin Kundangnya, malu ….kenapa?” tanyanya lagi menegaskan, seolah tidak sabar menunggu jawabanku. “Begini Mas Nabil, ibunya Malin Kundang tidak punya uang. Ini sama seperti Mas Nabil! Kalo ibu tidak punya uang, Mas Nabil kan tidak bisa beli jajan. Padahal, teman-temannya Mas Nabil pada beli jajan. Mas Nabil sedih, tidak?” Aku berharap dia paham penjelasanku dengan memberikan contoh konkret tentang dunia anak-anak yang dihadapi oleh Nabil sendiri. Jika jawabannya, iya, maka berakhirlah intrograsinya kepadaku. Karena berarti dia juga mengalami seperti yang dirasakan oleh Malin Kundang. ” Tidak, Nabil tidak sedih, kok!” jawabnya. “Mas Nabil nggak malu sama temen-temen kalo Mas Nabil tidak bisa beli jajan?” kali ini aku yang bertanya pada Nabil. Aku ingin tahu alasannya menjawab tidak.Nggak.” Ujarnya lagi. “Bu, kan ibu bilang, Nabil tidak boleh banyak jajan. Kalo jajan terus, nanti uang Ibu habis. Trus kalo uang ibu habis, Ibu gak bisa bayar sekolahnya Nabil.” Darahku berdesir mendengar ucapannya. Ucapannya ini adalah ucapanku beberapa waktu yang lalu saat dia rewel minta jajan. Dia hanya menirukan ucapanku yang ternyata berbekas dalam batinnya. Kutahan air mataku agar tak menetes. Tentu saja aku tak berharap dia seperti Malin Kundang terhadap ibunya. Meskipun aku banyak melihat “Malin Kundang-Malin Kundang” di zaman modern ini. “Iya, Mas Nabil tidak boleh malu,” ucapku lirih padanya. “Tapi, Malin Kundang malu kenapa, Ibu?” tanyanya sambil bergelanyut, memegang erat bahuku. Tiba-tiba pikiranku menerawang menembus zaman. Kubayangkan andai Malin Kundang pernah hidup di zamannya, Zaman yang minim pengetahuan karena belum mengenal tradisi tulisan. Nilai-nilai ditanamkan melalui lisan dan perilaku, tetapi ruang lingkupnya sangat sempit, hanya terbatas mengenai daerahnya saja. “Mas Nabil kan anak pintar, jadi Mas Nabil tidak malu. Kalau Malin Kundang itu bodoh, jadi dia malu ibunya tidak punya uang,” jawabku menyederhanakan jawaban yang sesungguhnya begitu kompleks untuk menjelaskan sikap malunya Malin Kundang. “Bu! Bu! Malin Kundang kenapa bodoh? Malin Kundang sekolah tidak?” tanyanya lagi dengan kata tanya yang khas gaya Nabil, kenapa. Aku memandang wajah polos anakku yang sedang duduk sambil tangannya memainkan buku-buku di sebelahnya. “Malin Kundang bodoh karena dia tidak mau belajar. Malin Kundang malas baca buku.  Padahal, kalau Malin Kundang rajin baca buku bisa tahu banyak hal. Mas Nabil juga tahu ikan-ikan di dalam laut dari buku. Dengan baca buku, Mas Nabil juga tahu tentang kehidupan burung dan hewan-hewan lain. Malin Kundang tidak pernah baca buku, jadi Malin Kundang tidak tahu kalau jadi anak itu, harus nurut sama orang tuanya. Kalau tidak nurut, Ibunya marah, Allah juga pasti akan marah. Trus …..  “ “Oh, iya, aku tahu. Malin Kundang jadi batu, deh.” Ujarnya menyimpulkan. “Berarti, kalau Malin Kundang rajin baca buku, Malin Kundang pasti tidak akan jadi batu ya, Bu,” Senyum Nabil mengembang. Alisnya tak lagi dikerutkan. Tampaknya, Nabil setuju dengan penjelasanku yang terakhir. Aku merasa lega melihat senyumnya yang lucu. Tangannya yang kecil membolak-balikan buku bergambar yang dipegangnya. Meskipun belum bisa baca, ketertarikannya pada buku sudah mulai tampak. “Bu, ceritani lagi ya, Bu . Yang lain lagi.” katanya sambil menyerahkan buku yang dia pegang.  Aku bersemangat menyambutnya. Dalam hati aku berjanji bahwa aku tak akan takut lagi akan pertanyaan-pertanyaannya karena dengan itu, aku berkesempatan menyampaikan pesan-pesan indah kepadanya.  Dia harus banyak baca buku. Aku juga harus mengimbanginya dengan banyak baca buku pula. Salam Blogger Persahabatan Omjay http://wijayalabs.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun