Mohon tunggu...
Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger Indonesia

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nilai UN 60% Masih Dipegang Pemerintah, 40% Masih Dipegang Sekolah

3 Januari 2011   03:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:01 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Masih banyak guru yang belum lulus untuk menjawab soal UN. Masih banyak sarana belajar yang belum terpenuhi dengan baik. kalau gurunya saja belum lulus dalam mengajarkan soal UN, lalu bagaimana peserta didiknya?

Selama kualitas guru dan sarana belajar belum terpenuhi dan tersebar merata, maka sebaiknya UN tak dilaksanakan. Kalaupun harus dilaksnakan, tidak menentukan kelulusan siswa, tetapi hanya sebagai pemetaan saja. Dengan begitu pemerintah dapat mengambil langkah konkrit dan adil apabila ditemui banyak peserta didik yang tingkat kelulusannya rendah.

UN sebaiknya dilaksanakan bila pemerintah telah memenuhi janjinya untuk meningkatkan kualitas guru dan sarana belajar telah merata di seluruh Indonesia. Bila itu belum dipenuhi juga, jangan bikin kebijakan yang menyamaratakan UN dengan standar nasional. Sebab kenyataan di lapangan kualitas guru dan sarana belajar belum merata.

Saya mengutip tulisan mas Doni Koesoema A di kompas.com yang berjudul Tantangan Ilmuwan Pendidikan. Secara umum rekomendasi kluster pendidikan menegaskan kembali yang selama ini jadi perhatian publik di dalam negeri. Pertama, pengembangan profesionalisme guru baik dari segi pedagogis maupun teknis. Kedua, penekanan pada pengajaran yang menyentuh hati, memberi inspirasi, dan merengkuh semua siswa, bukan hanya segelintir anak pandai. Pendidikan mesti kasih kesempatan semua anak berhasil. Meminjam ungkapan Ken Soetanto: membuat anak buangan jadi rebutan. Ketiga, pendidikan merupakan sarana perubahan transformasi sosial masyarakat melalui pembentukan karakter, ekselensi akademis, dan keterampilan profesional vokasional. Keempat, kemitraan dan tanggung jawab semua pemangku kepentingan. Kerja sama pengembangan pendidikan mestinya sinergi antara sekolah, keluarga, masyarakat, dan negara. Kelima, pemerataan pendidikan baik dalam hal akses dan kualitas didukung oleh infrastruktur yang dirancang untuk pendidikan berkelanjutan dengan kebijakan jangka panjang demi memastikan bahwa semua anak Indonesia berhak memperoleh pendidikan.

Namun demikian, kebijakan pemerintah masih lebih baik dari kebijakan tahun kemarin. Saya paham benar bagaimana dinamika pergulatan teman-teman guru dan juga pembuat kebijakan.Memang seperti buah simalakama.

Kami para guru kemarin juga 'titip' pesan agar pembuat soal-soal UN benar-benar mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan peserta didik dengan tujuan mengevaluasi bukan 'menjatuhkan' demi sekedar pencapaian 'mutu',pemahaman peserta didik lebih diutamakan. Sebaiknya tim pembuat soal selalu dievaluasi kinerjanya dan juga harus ada reformasi. Jangan terkesan itu-itu saja orangnya.

Memang UN masih dilematis. Tetapi  kalau saya mau jujur, UN sebaiknya tidak ada saja sebelum pemerintah memenuhi janjinya. Lalu ujiannya pakai apa? Pakai Ujian Daerah saja. Bukankah setiap daerah ada kepala dinasnya? Dengan adanya otonomi daerah, sebaiknya daerah diberi kesempatan juga untuk mengelola ujian daerah buat sekolah-sekolah yang ada di daerahnya. Masalahnya, kalau ini diterapkan maka akan kebakaran jenggotlah kemendiknas.

Kalau mau tetap dilaksanakan, ya tak usah pusing-pusing mengukur nilai akhir kelulusan siswa. Serahkan saja semua kepada rapat dewan guru. Sebab dewan guru adalah forum tertingi di sekolah. Pemerintah harus percaya, bahwa kepala sekolah dan dewan guru akan berbuat yang terbaik bagi peserta didiknya. Kredibiltas sekolahpun akan dipertaruhkan bila para guru tak mampu mengamban amanah dengan baik.

Kalau pemerintah masih kekeh dengan pendapatnya, bahwa 60 % nilai UN dan 40% nilai UAS, maka sama saja pemerintah tak percaya lagi sama dewan guru. Benarkah demikian???

Salam Blogger Persahabatan

Omjay

http://wijayalabs.com/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun