sumber: Kompas.com
Membaca kompas cetak hari ini, Selasa, 21 Desember 2010 membuat hati saya terenyuh. Masih banyak manusia Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Sementara itu di arena politik papan atas hanya menggunakan mereka untuk mempertahankan kekuasaan.
Lihatlah wanita tua itu. Menyiapkan punggungnya untuk memikul beban berat yang seharusnya tak  dipikulnya. Tapi kenyataan itu ada di depan mata kita.
Mereka tak bisa menghindar dari pekerjaan itu. Sebab dari punggung itulah mereka menggantungkan hidup mereka.
Dalam foto itu Tukang becak membantu menaruh beban di punggung seorang buruh gendong di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Sabtu (4/12). Sekitar 500 buruh gendong mengadu nasib di pasar itu. Umumnya, mereka berasal dari desa di sekitar Yogyakarta dan pergi ke kota lantaran pendapatan di desa sangat minim. Inilah sebuah foto yang bernyawa hasil jepretan AGNES RITA SULISTYAWATY, seorang wartawan foto kompas. Beritanya ada di sini.
Bagi saya, apa yang terlihat di pasar Bringharjo Yogyakarta juga terjadi di tempat lainnya. Mereka bertahan hidup dengan punggung mereka. Mereka terpaksa menjadi buruh gendong.
Ketika saya masih tinggal di dekat pasar induk cibitung bekasi, saya temui para wanita di pagi hari yang siap dengan punggung mereka. Jumlahnya bukan hanya satu tetapi ratusan orang. Saya yakin, di tempat lainpun masih banyak wanita yang bekerja menyiapkan punggung mereka.
Sedih juga yah banyak wanita yang harus bekerja keras untuk mempertahankan hidup mereka. Menyediakan punggung mereka untuk membawa barang di tas punggungnya. Menjadi buruh gendong  nampaknya sebuah pekerjaan yang tidak bisa mereka elakkan lagi. Hanya itu yang bisa mereka lakukan untuk menyambung hidup hari ini.
Bertahan hidup dengan punggung adalah sebuah harapan bagi mereka. Seandainya saja mereka bisa membaca dan menulis, atau memiliki modal yang cukup untuk membuka usaha, mungkin sebaiknya pekerjaan kasar itu diberikan kepada kaum lelaki saja. Sedih rasanya bila melihat wanita yang sudah setua itu harus memikul beban berat di punggungnya.
Semoga saja ada lembaga sosial yang tergerak untuk memperbaiki nasib mereka. Jangan biarkan para perempuan di negeri ini hidup dari menyiapkan punggungnya. Sebagai seorang lelaki sayapun tak rela bila mereka harus bekerja seperti itu. Pemerintah harus peduli dengan nasib para wanita yang hidup dari punggungnya.
Sebagai seorang pendidik, tentu saya akan berupaya agar mereka mampu membaca dan menulis. Saya akan bekerjsama dengan pemerintah daerah membantu mereka agar diberi kesempatan bisa membaca dan menulis. Tak akan saya biarkan mereka hidup terus menerus dalam penderitaan karena mereka bodoh dan miskin.
Buruh gendong muncul karena ketimpangan pembangunan desa-kota. Mereka memang berasal dari desa-desa miskin di sekitar pasar itu. Tanh yang tandus dan hasil pertanian yang tak seberapa membuat mereka terpaksa mengandalkan pekerjaan itu.
Profesi itu dipilih karena tak banyak pilihan yang bisa diambil. Lahan pertanian, misalnya, selain tidak memadai luasnya, juga tidak subur. Banyak buruh yang berasal dari keluarga yang tidak punya lahan pertanian. Pekerjaan menjadi buruh gendong adalah pilihan mudah bagi mereka.
Bertahan hidup denga punggung nampaknya kana memenuhi hari-hari mereka bila kita tak memiliki kepedulian kepada sesama. Semoga saja, para pejabat di sana mau memikirkan nasib mereka. Memberi mereka modal untuk berjualan di pasar. jangan biarkan para wanita itu menjadi bongkok di pungungung karena menanggung ebba berat yang harus mereka pikul di punggungnya.
Cerita di kompas cetak hari ini telah membuat saya sedih karena pendidikan belum merata di tanah air kita. Pendidikan masih berpihak kepada si kaya dan belum berpihak kepada si miskin. Semoga Alllah memberia mereka kekuatan untuk merubah nasib mereka. Kita pun tentu tak akan berpangku tangan melihat nasib mereka.
Salam Blogger Persahabatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H