[caption id="attachment_76194" align="aligncenter" width="240" caption="sumber: Kompas.com"][/caption]
Membaca artikel kompas cetak Jumat, 19 November 2010 yang berjudul Gara-gara Mbak Merapi di halaman 6 satu halaman penuh membuat saya merenung. Benar sekali apa yang disampaikan oleh Mas Sindhunata, seorang wartawan dan pemimpin redaksi Majalah Bisnis Yogyakarta bahwa gara-gara mbah Merapi kita semua menjadi rukun.
Meletusnya gunung merapi membuat kita saling bahu membahu dan melupakan perbedaan. Padahal sebelumnya, masih kita baca konflik antar umat beragama begitu menghiasi halaman media masa. Kini kita saksikan, kerukunan yang sangat baik. Dimana tak terlihat lagi saling menghujat antar umat bergama. Merapi telah menyatukan kami. Merapi telah memberikan pembelajaran bahwa marahnya alam karena kelakuan umat manusia yang sudah banyak melampaui batas. Kita terkadang lupa bahwa kita sama-sama manusia ciptaan Tuhan.
Dalam artikelnya mas Sindhunata menuliskan bahwa erupsi merapi telah menyebabkan penderitaan. Tetapi erupsi itu juga memberikan rezeki berlimpah, berupa pasir dan abu vulkanik yang menyuburkan tanaman. Warga sederhana kiranya akan diuntungkan dari rezeki itu.
Merapi memang menguras air mata kita. Banyak penduduk yang terpaksa mengungsi ke tempat pengungsian. Namun ada hikmah dibalik itu, kita semua menjadi rukun. Tak ada lagi Islam berkumpul dengan hanya orang Islam saja. Tak ada lagi orang kristen berkumpul dengan orang kristen saja. Begitupun juga dengan penganut agama Katholik, Budha dan Hindu. Â Semua berkumpul menjadi satu. Mereka berdoa sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing. Bermohon kepada yang Maha Kuasa agar Musibah Merapi segera berakhir.
Dalam artikelnya mas Sindhunata menambahkan. Erupsi merapi memang merupakan kerja alam. Tetapi sebagai gara-gara, ia telah menuding dan menegur manusia, menyibakkan kesalahannya. Gara-gara Merapi bukanlah sekedar bencana, gara-gara adalah proses pembaruan alam semesta yang dipicu  dengan perubahan atau bencana alam. Maka dengan erupsi merapi, bukan hanya alam yang diperbaharui, tetapi juga manusia yang dibersihkan dan diperbarui. Mbah merapi telah mengajak kita untuk membarui, menyucikan, dan menata diri untuk menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya.
Alangkah indahnya bila kita bangsa Indonesia selalu rukun dan damai. Ancaman perbedaan golongan dan agama sebaiknya kita hindarkan. Bangsa ini harus menjadi bangsa yang besar oleh karena keragaman itu, dan menyatukan semua orang untuk memberikan diri kepada kemanusiaan. Sudah bukan saatnya lagi kita saling merasa benar sendiri. Mari kita mencari persamaan dari berbagai perbedaan itu.
Dalam artikelnya mas Sindhunata juga menuliskan, Sehari-hari negara ini sedang resah karena ancaman perbedaan golongan dan agama. Masalah tersebut tiba-tiba lenyap karena erupsi Merapi. Semua orang bersama-sama menolong korban dan pengungsi, tanpa membeda-bedakan agama dan golongannya. Orang Muslim ditampung, dilayani, dan menjalankan ibadahnya dalam gereja dan sekolah-sekolah Kristen atau Katolik. Orang Kristen dan Katolik bernaung dengan damai dan aman di masjid-masjid.
Seminari, tempat pendidikan calon imam gereja Katolik, juga gereja-gereja ternyata bisa menjadi tempat, di mana para dai, ustaz, dan santri-santri Nadlatul Ulama mengadakan tahlilan, yasinan, salawatan, dan pengajian bersama para pengungsi yang Muslim. Agama-agama tiba-tiba dipaksa melupakan perbedaannya ketika mereka bersama-sama menghadapi kemanusiaan yang sedang diancam oleh penderitaan akibat erupsi Merapi.
Memang erupsi Merapi ternyata memberi peluang bagi kita untuk membangun dan mewujudkan kebersamaan, kendati segala perbedaan. Dan erupsi itu memaksa agama-agama untuk kembali pada hakikatnya: bahwa agama itu ada, bukan demi agama sendiri, tetapi demi kemanusiaan seluruh semesta. Masing-masing agama memang mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi masing-masing agama tidak bisa berdiri sendiri, mereka terkait satu sama lain, karena itu mereka terkait pada kesemestaan.
Gara-gara mbah Merapi kita semua menjadi rukun. Saling tolong menolong dan mengumpulkan bantuan demi kemanusiaan. Tak ada lagi prasangka buruk. Semua orang berprasangka baik. Semoga kerukunan antar umat beragama ini terus berjalan baik, dan kita semua memegang teguh motto Bhinneka Tunggal Ika yang berada di kaki burung garuda Pancasila. Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, Indonesia.