Lagu mas Ebiet G Ade yang ada dalam postingan mbak Inge yang berjudul Sumpah Pemuda: dari Wasior, Merapi, Hingga Mentawai di http://regional.kompasiana.com/2010/10/28/sumpah-pemuda-dari-wasior-merapi-hingga-mentawai/ membawa mata, dan hati saya untuk melakukan instrospeksi diri. Tidak saling menyalahkan, tetapi saling berangkulan untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena bencana. Indonesia bersedih. Bau mayat di mana-mana. Bila Masih mungkin kita menorehkan batin.
Bencana demi bencana terus terjadi di negeri ini. Itu tandanya dunia sudah mulai menua, dan manusia harus menyadari bahwa kita hanya seorang pengembara. Tinggal sebentar di suatu tempat, dan kemudian pergi kembali. Kita pun juga akan menua dan melupa.
Sebagai makhluk ciptaan Allah, kita tentu menyadari bahwa kita adalah makhluk yang sangat lemah dan memerlukan pertolongan dari Allah yang Maha Pemberi.
Bila masih mungkin kita menorehkan batin, atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas. Mumpung masih ada kesempatan buat kita, mengumpulkan bekal perjalanan abadi.
Syair lagu mas Ebiet G Ade serasa merasuk ke dalam sanubari saya yang terdalam. Membuat saya bersujud di malam yang hening ini untuk melakukan tahajud kepadaNya. Kita harus bersyukur karena masih diberi waktu. Ada bahaya dibalik keelokan alam Indonesia.
Bila masih mungkin kita menorehkan batin, menghiasi hari-hari kita dengan kebaikan dan kebajikan. Tak ada dendam, dan tak ada kesombongan dalam diri ini. Kita pun menyadari bahwa kita hidup untuk mendapatkan ridho ilahi. Seperti tokoh mbah Maridjan yang setia sampai mati menunggu merapi.
Bila masih mungkin kita menorehkan batin, membantu saudara-saudara kita yang terkena bencana. Berupaya keras untuk memberikan apa yang kita miliki untuk membantu mereka. Melepas keegoisan diri dan kembali fitrah menjadi makhluk sosial yang saling berbagi. Bantuan wasior, mentawai, dan merapi mari kita kumpulkan.
Akhirnya, di malam sunyi ini. Saya nikmati lagu mas Ebiet G Ade yang marasuk hati. Semoga anda pun merasakannya. Merasakan derita di Warior, mentawai, dan merapi.
Bila masih mungkin kita menorehkan bakti atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas Mumpung masih ada kesempatan buat kita mengumpulkan bekal perjalanan abadi ho ho ho du du du du du du du du du du du du du ho ho ho ho Kita pasti ingat tragedi yang memilukan Kenapa harus mereka yang terpilih menghadap? Tentu ada hikmah yang harus kita petik Atas nama jiwa mari heningkan cipta Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu Entah sampai kapan, tak ada yang bakal dapat menghitung Hanya atas kasihNya, hanya atas kehendakNya Kita masih bertemu matahari Kepada rumpun ilalang, kepada bintang gemintang Kita dapat mencoba meminjam catatanNya Sampai kapankah gerangan waktu yang masih tersisa? Semuanya menggeleng, semuanya terdiam, semuanya menjawab, "Tak mengerti." Yang terbaik hanyalah segeralah bersujud Mumpung kita masih diberi waktu Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu Entah sampai kapan, tak ada yang bakal dapat menghitung Hanya atas kasihNya, hanya atas kehendakNya Kita masih bertemu matahari Kepada rumpun ilalang, kepada bintang gemintang Kita dapat mencoba meminjam catatanNya Sampai kapankah gerangan waktu yang masih tersisa? Semuanya menggeleng, semuanya terdiam, semuanya menjawab, "Tak mengerti." Yang terbaik hanyalah segeralah bersujud Mumpung kita masih diberi waktu ho ho ho du du du du du du du du du du du du du ho ho ho ho ho ho ho du du du du du du du du du du du du du ho ho ho ho ho ho ho du du du du du du du du du du du du du ho ho ho ho ho ho ho du du du du du du du du du du du du du ho ho ho ho
salam Blogger Persahabatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H