[caption id="attachment_265368" align="aligncenter" width="500" caption="Suasana Peluncuran Buku Pak Beye dan Politiknya"][/caption]
Dalam tulisan saya terdahulu, saya ceritakan sedikit tentang demokrasi ala Mataraman yang disampaikan oleh Mas Sukardi Rinakit (SR) di sini. Sekarang tibalah saatnya saya sambung kembali. Eng Ing Eng.....
Setelah Mas Inu hadir, acara peluncuran buku sekaligus bedah buku pak beye dan politiknya semakin menghangat saja. Padahal udara di dalam ruangan itu sangat dingin sekali. Body saya yang montok tetap saja tak bisa kuat memback-up-nya dengan baik. Udara yang dingin dan ditambah hujan deras di luar ruangan membuat siang itu benar-benar dingin. Untunglah kedua pembicara (Mas EG dan Mas SR), moderator, (Mbak Tina Talisa), dan juga penulis buku mas Inu sangat bagus memainkan perannya masing-masing. Kami pun hanyut dalam diskusi buku "pak beye dan politiknya".
[caption id="attachment_265563" align="aligncenter" width="500" caption="Berfoto sejenak seusai Acara Peluncuran Buku"][/caption]
Bagi saya yang berprofesi sebagai seorang guru, buku ini sangat layak dibaca oleh para generasi penerus bangsa. Di dalam buku ini terasakan bagaimana nuansa jawa atau adat ketimuran masih dipegang teguh oleh pak Beye sebagai seorang presiden. Beliau tetap mempertahankan adat jawa yang kental, lengkap dengan kleniknya sehingga wajar bila Mas Inu menulis dalam bukunya kenapa kampanye pak Beye dimulai dari kota Malang. Bagi para generasi penerus, tentu ini mengandung sejarah menarik yang panjang, dan kita pun menjadi teringat dengan kerajaan Mataram yang pernah berjaya di bumi pertiwi.
Menurut mas "SR", kepemimpinan pak beye ini masih kental dengan nuansa mataraman. Mirip suasana kerajaan mataram yang sering disampaikan dalam acara ketoprak mataraman yang lucu. Kelucuan itu bisa terlihat dari pemerintahan pak Beye saat ini yang sangat mataraman sekali. Ciri dari kemataraman itu adalah menghilangnya beberapa tokoh penting di seputaran pak Beye yang aktif kampanye di 2004. Kalaupun ada yang bertahan sampai kampanye 2009, menurut mas SR, hanya sekedar penggembira saja.
Biaya kampanye pak Beye yang besar sekali menggambarkan demokrasi ini masih bersifat demokrasi tradisional, dan belum prosedural, sehingga wajar bila disebut sebagai demokrasi mataraman. Demokrasi yang masih dipakai oleh raja Mataram dalam mempertahankan kekuasaan. Biaya politik yang besar tak jadi persoalan asalkan tetap menjadi raja. Oleh karenanya politik pencitraan harus terus dibangun agar kekuasaan itu tetap langgeng.
Dalam buku mas inu ini adalah gambaran generasi muda yang gelisah dengan kepemimpinan yang akan datang. Biaya kampanye yang begitu besar, dan "pluralitas"penduduk Indonesia yang masih berada di pedesaan membuat seorang calon presiden harus memikirkan "gizi" agar sukses dalam perolehan suara yang banyak.
Dibandingkan dari buku pertama mas Inu yang berjudul "Pak Beye dan Istananya", Buku kedua ini memang relatif lebih mahal dari buku pertamanya (Harga Rp. 68.000). Hal itu sebagai simbol bahwa politik itu memang mahal. Semahal tebalnya buku dengan foto-foto menarik yang ada di dalamnya.
[caption id="attachment_265557" align="aligncenter" width="499" caption="Omjay dan Mbak Tina Talisa (Hasil Jepretan bang Dian Kelana)"][/caption]
Tetapi bagi saya, buku Mas Inu masih kalah menarik dari Mbak Tina Talisa yang cantik. Kecantikannya membuat para pria tergoda untuk berfoto bersamanya. Termasuk saya yang endut ini. Hehehehehehe. (Bersambung)
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H