[caption id="attachment_182071" align="alignleft" width="396" caption="Dok. KOMPAS"][/caption]
Membaca kompas cetak hari ini, Kamis 1 Juli 2010 di halaman 6 bagian opini sungguh menarik hati. Ada mas Teten Masduki yang menuliskan tentang merindukan figur pak Hoegeng. Juga ada tulisan dari Febri Diansyah yang berjudul Bukan "polisi tidur". Lalu di bagian bawah tertera judul Belajar dari Kepemimpinan Soekanto yang ditulis oleh G. Ambar Wulan. Lebih tak kalah menariknya, di tajuk rencana kompas dituliskan judul Sorotan di hari Bhayangkara.
Apa yang mereka tuliskan jelas menampilkan citra polisi di mata publik dan menggelitik saya untuk membuat tulisan tentang polisi di mata seorang pendidik. Tentu akan semakin asyik dan menarik. Membuat citra polisi membaik di mata publik.
Kalau kita bicara polisi, maka yang teringat adalah mereka-mereka yang berseragam coklat dengan panggilan pangkat yang agak sedikit berbeda dari TNI. Polisi terlihat lebih bergengsi karena cakupan kerjanya luas dan lebih mudah mengais rezeki. Penegakan hukum dan ketertiban masyarakat jelas menjadi perhatian polisi. Dibandingkan dengan anggota TNI, anggota polisi relatif lebih makmur dari anggota TNI. Mereka begitu mudah mendapatkan penghasilan tambahan dari seragam coklatnya itu. Itulah terkadang yang membuat iri para anggota TNI dan sering kita lihat pertarungan anggota TNI dengan polisi. Jarang kita temui pertarungan anggota TNI dengan TNI. Hal ini tentu dapat dimaklumi, karena terjadi kesenjangan di sana-sini setelah polisi lepas dari TNI.
Tapi tak semua polisi sejahtera. Kita masih melihat masih banyak polisi jujur dan berpihak kepada rakyat. Jenderal Hoegeng adalah salah satu contohnya dari sekian juta polisi di Indonesia. Juga jenderal Soekanto yang legendaris itu.
Namun, perubahan terus terjadi, terkadang pangkat dan jabatan sering di salah gunakan oleh oknum polisi atau lebih tepatnya "mirip polisi" (bukan mirip artis loh!). Banyak oknum polisi yang tak amanah. Pekerjaan sebagai polisi yang seharusnya mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat menjadi pekerjaan kedua setelah begitu mudahnya mereka membawa pulang uang ke rumah.
Kasus yang paling nyata adalah ketika mobil atau motor anda ditilang di jalanan, maka jalan damai adalah jalan yang paling banyak ditempuh oleh para pengemudi kendaraan bermotor. Kalau sudah begitu, jangan salahkan polisi bila akhirnya bermain api dengan uang yang seharusnya masuk ke kas negara. Sebab disitulah terjadi korupsi kecil yang dengan kasat mata mudah terlihat.
Seorang teman guru Pendikan Kewarganegaraan berusaha keras menegakkan apa yang diajarkannya kepada anak-anak di sekolah. Suatu ketika, kendaraannya terkena tilang karena melanggar rambu jalan yang tak terlihat. Polisi menyetop kendaraannya, dan dengan pasal karetnya menjerat lumat-lumat kawan saya itu untuk kena tilang. Sebagai warga negara yang baik, teman saya itu mengakui kesalahannya, dan bersedia SIM-nya ditilang dan diambil oleh polisi itu.
Ketika akan pergi, sang polisi menghampiri, "kalau mau damai lebih murah loh pak!", kata polisi itu memberikan isyarat. Kawan saya itu mencoba menegakkan kebenaran. Tawaran itu ditolaknya. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata, banyak waktu yang terbuang hanya untuk mengurus surat tilang dan dikenai biaya besar pula. Sambil bergumam kelelahan, kawan saya itu mengatakan, "kalau tahu begini damai aja tadi sama polisi!". Teori tinggal teori, pelaksanaan ya tergantung keadaan, hahahahaha.
Memang sulit mencari polisi jujur saat ini. Namanya sudah terlanjur hancur di mata publik. Semoga saja ulah oknum yang merusak citra polisi itu sadar bahwa korps kehornatannya telah tercoleng akibat ulahnya. Nampaknya, para petinggi polri harus terus membina anak buahnya agar tetap memegang amanah melayani masyarakat dengan sepenuh hati.
Tentu harus ada keteladanan dalam diri para perwira tinggi polisi. Bila komandannya saja tak memberikan contoh yang baik, maka jangan harap anak buahnya pun akan baik. Seperti guru kencing berdiri, murid kencingpun berlari. Apa yang terlihat saat ini adalah lemahnya faktor keteladanan dari para perwira tinggi polisi itu. Hal itu bisa dilihat dari gemuknya rekening para perwira tinggi polisi yang telah diungkapkan majalah tempo edisi 28.