Mohon tunggu...
Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger Indonesia

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mojokerto dan Keberingasan Massa

22 Mei 2010   04:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:03 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_147392" align="alignleft" width="300" caption="Mojokerto dan keberingasan masa"][/caption]

Membaca berita kompas hari ini, Sabtu 22 Mei 2010, dimana 33 mobil hangus terbakar dan dirusak dalam proses Pilkada Mojokerto, membuat hati saya merasa miris. Amuk masa itu diduga dan dipicu oleh keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten Mojokerto yang menolak pasangan calon bupati dan wakil bupati Dimyati Rosyid-M Karel karena tidak lolos tim kesehatan.

Bagi saya, ini adalah kejadian kesekian kali menimpa wajah Indonesia. Cepat sekali masa mengamuk bila keinginannya tak terpenuhi. Menghancurkan apa saja yang dilihatnya. Tak peduli dengan kerugian yang ditimbulkan oleh keberingasannya. Sepertinya mereka sudah tak berpikir waras lagi. Kebakaran terjadi di sana-sini mirip peristiwa priok dan batam.

Kalau sudah begitu kita tentu berpikir keras, kenapa masa begitu cepat beringas bila ada hal yang tak sesuai dengan keinginannya?

Sebagai seorang pendidik, saya akan menganalisisnya dari kacamata pendidikan.

Para guru di sekolah dan para orang tua di rumah belum mampu memberikan pendidikan karakter kepada anak-anaknya. Pendidikan agama yang dimulai dari keluarga kurang berjalan dengan baik. Begitupun dengan penanaman nilai-nilai budi pekertiyang diajarkan di sekolah belum semuanya masukke dalam hati. Alhasil, sekolah hanya menghasilkan peserta didik yang cerdas otak tetapi tak cerdas watak. Para lulusan sekolah kita tak matang karakternya sehingga wajar bila amarah cepat merasuk sukma. Kemarahan lebih cepat mendominasi ketimbang keramahan.

Bangsa ini begitu mudah marah, padahal kita dikenal bangsa lain sebagai bangsa yang ramah. Terkenal penyabar dan mencintai sesama manusia. Bisa dilihat bagaimana para pendahulu kita mendamaikan bangsa lain yang sedang bersengketa.

Karakter bangsa yang ramah, dan dulu kita banggakan kini akan punah.

Bisa jadi, kita akan menjadi bangsa yang kehilangan jadi dirinya. Kehilangan karakter bangsanya yang berbudi pekerti luhur.

Nenek moyang kita selalu memberikan contoh yang baik. Setiap persoalan diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Kini, semua itu hanya slogan yang ditempel-tempel dalam pohon yang akan mati. Hanya dibicarakan di tempat sunyi dan hanya menjadi teori mata pelajaran di sekolah yang tak punya arti.

Semoga dan semoga tak terjadi lagi keberingasan masa seperti di Mojokerto.

Kejadian itu tak akan terjadi bila kita semua menyadari bahwa segala macam persoalan bisa dikomunikasikan. Tak mudah marah dan mau mendengarkan dengan baik.

Hanya sayangnya, di daerah-daerah di Indonesia, kita kekurangan pemimpin yang transformatif. Pemimpin yang mampu meredam gejolakmassa yang anarkis. Pemimpin yang kharismatik dan suaranya berpengaruh kepada masyarakat. Pemimpin yang mampu memberikan contoh keteladanan, baik perkataan maupun perbuatan.

Sekarang ini kita mengalami krisis kepemimpinan yang transformatif. Pemimpin yang ada sekarang ini kebanyakan adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat bukan karena kharismatik, tetapi pemimpin yang mempunyai modal besar.

Pemimpin seperti itu biasanya bermental tengkulak. Dengan modal sekecil-kecilnya menguras duit rakyat sebesar-besarnya.

Sudah menjadi rahasia umum, siapa yang bermodal besar, maka dia akan menjadi pemimpin. Baik pemilihan pilkada maupun anggota dewan yang terhormat.

Pilkada yang dilaksanakaan di berbagai daerah saat ini adalah pilkada yang dilaksanakan dengan modal yang cukup besar dan tak satupun calon bermodalkan hanya tubuh di badan. Adalah ajaib, bila ada seorang gubernur atau bupati terpilih tak bermodal besar.

Akhirnya, peristiwa Mojokerto seharusnya membuat kita lebih banyak belajar untuk mampu menahan marah dan mampu berkomunikasi dengan baik. Tak seharusnya para tokoh bersaing dengan cara-cara yang tidak terpuji. Bersainglah secara teduh seperti pesan presiden SBY pada konggers II partai demokrat di kota Baru parahiyangan Bandung Barat, jawa Barat.

Salam Blogger persahabatan

Omjay

http://wijayalabs.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun