[caption id="attachment_33488" align="alignleft" width="300" caption="Suasana Gedung UTCC Sebelum Konferensi Nasional Dibuka oleh Rektor UT"][/caption]
Setelah mengikuti konferensi nasional tentang kolaborasi penelitian tindakan hari ini, Jum'at, 4 Desember 2009, ada oleh-oleh pengetahuan yang saya dapatkan dari Marcy P Driscoll (salah satu pemateri), tentang bagaimana membentuk budaya bertanya di kalangan siswa.
Selama ini terus terang saya alami di sekolah, guru kurang membentuk budaya bertanya siswa, sehingga banyak siswa yang terkesan pasif dan pembelajaran aktif pun tak terjadi. Padahal, dalam pembelajaran aktif siswa yang menjadi subyek belajar (student centered). Sedangkan guru berfungsi sebagai fasilitator dan motivator agar peserta didiknya memahami materi yang telah disampaikan guru. Dari sanalah lalu terjadi diskusi yang hangat antara siswa dan guru. Masing-masing menjadi terlatih berbicara dan mendengar.
Ketika kemampuan bertanya siswa terlatih dengan baik, maka akan semakin matanglah pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan oleh guru. Gurupun mendapatkan umpan balik atau feedback dengan cepat dari pertanyaan siswa tersebut.
Akhirnya terjadilah proses yang disebut pembelajaran aktif, dimana siswa dan guru sama-sama aktif belajar. Masing-masing saling bertanya dan menjawab sehingga suasana kelas menjadi interaktif dan menyenangkan. Di sinilah peran guru sebagai director, yang mampu memanage kelas dengan baik. Memfasilitasi dan melayani kebutuhan siswa dengan sepenuh hati. Menggali potensiunik siswa dengan baik. Oleh karenanya guru harus memiliki kemampuan membentuk budaya bertanya.
Dalam makalahnya, Marcy yang berasal dari The Florida State University College of Education menuliskan perlu adanya riset di bidang pendidikan agar budaya bertanya siswa ini menjadi guyup yang dibagi dalam beberapa tahap implementasi yaitu :
- Nilai penting riset pendidikan
- Tujuan riset pendidikan dan dampak yang diinginkan
- Isu-isu terkait dengan pengembangan sebuah budaya dan kemampuan dalam melakukan riset pendidikan.
Beliau mengatkan bahwa tantangan dalam memahami nilai penting riset pendidikan adalah terletak dalam kemampuan guru memecahkan masalah. Masalah adalah "sesuatu yang terlihat jelas" (obvousness problem), misalnya masalah keakraban (familiarity problem), dan masalah akal sehat (common sense problem).
Beliaupun menuliskan pesan dari Lazersfeld (1949), bahwa sulit untuk menemukan sebuah bentuk perilaku manusia yang belum pernah dipelajari di tempat lain. Akibatnya, jika sebuah studi mengatakan adanya suatu hal yang lazim ditemukan, kebanyakan pembaca akan berpikir," betul, memang harusnya seperti itu".
Sebagai contoh, sepertinya sangat jelas kita lihat bahwa lebih banyak waktu yag digunakan untuk mengajar yang akan menghasilkan pembelajaran yang lebih baik. Philips (1995) menuliskan, " Dunia akan seperti apa jika anak-anak belajar lebih banyak hal jika menggunakan waktu lebih sedikit untuk sebuah subyek? Bila pencapaian tidak berhubungan dengan berapa lama waktu yng dipakai untuk mempelajari sebuah topik?" "Kebenaran tidak mengharuskan riset atau penelitian untuk diungkap".
Sesungguhnya, konsep "jumlah waktu mengajar" tidak sesederhana itu. Hubungan antara waktu dan pembelajaran ternyata tidak terlalu jelas. Yang paling penting dalam pembelajaran adalah apa yang dilakukan oleh para siswa ketika mereka sedang belajar. Hal inilah semestinya yang harus diketahui oleh guru. (bersambung)
Salam Blogger Persahabatan Omjay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H