Mohon tunggu...
Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger Indonesia

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sertifikasi Guru dan 8 Standar Nasional Pendidikan

21 Oktober 2009   09:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:34 8339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk bisa mendapatkan selembar sertifikat guru profesional yang saya alami dan rasakan adalah dibutuhkan sebuah perjuangan juga tenaga ekstra dan manajemen yang baik dalam administrasi pembelajaran guru.  Guru tidak serta merta dipanggil langsung begitu saja layaknya menerima lowongan kerja, dan lalu diminta berkas portofolionya, tetapi melalui beberapa tahapan atau proses yang harus dilalui oleh guru yang bersangkutan.

Beberapa waktu lalu saya pernah menulis tentang sertifikasi guru antara musibah dan anugerah di kompasiana. Bahkan saya pernah juga mendapatkan komentar dari teman sejawat saya yang bernama FX Aris Wahyu Prasetyo, beliau menuliskan bahwa sertifikasi guru akan sangat baik bagi dunia pendidikan jika diletakkan sebagai sebuah media berproses belajar profesional. Celakanya, sertifikasi justru menjadi "pelabuhan terakhir" atau tujuan profesionalisme guru. Bahkan parahnya, sertifikasi menjadi ajang memburu sejumlah uang yang menggiurkan saja. Sungguh... mengerikan sekali nasib anak bangsa kita.

Di sinilah sebenarnya letak kesalahan yang dialami oleh sebagian teman-teman guru yang ingin lulus sertifikasi. Sertifikasi bukannya digunakan sebagai media untuk memperbaiki diri, tapi justru malah membuat beberapa oknum guru menjadi tidak jujur. Memalsukan sertifikat aspal, menambah jam mengajar yang ternyata dalam kenyataannya jumlah jam mengajarya hanya sedikit, dan banyak sekali penyimpangan-penyimpangan lainnya. Lebih parah lagi, banyak yang rencana pelaksanaan pembelajrannya (RPP)nya dibuatkan oleh orang lain dan karya tulis ilmiahnya pun merupakan plagiat dari hasil karya orang lain. Kalau sudah demikian, boro-boro peningkatan kinerja guru yag didapat, justru malah yang terjadi adalah kemunduran. Guru yang awalnya seorang pendidik, berubah menjadi seorang pemburu sertifikat supaya lulus sertifikasi guru dengan jumlah 850 point.

Sertifikasi guru dalam jabatan bila benar-benar dilalui dengan benar dan diperoleh dengan benar pula maka hasil tunjangan profesinya akan membawa berkah. Tetapi, bila hasil kelulusan sertifikasi gurunya merupakan  rekayasa dan tidak murni hasil karyanya, maka jangan harap kelulusan profesi yang diperolehnya membawa berkah. Uang tunjangan yang diterimanya akan berasa panas dan menguap cepat sekali dan akan berakhir tanpa manfaat apapun. Manusia bisa kita bohongi, tapi Tuhan pemilik bumi tak akan pernah bisa dibohongi karena para pembantu setianya, malaikat Rakib dan Atid selalu mencatat setiap amal baik dan amal buruk setiap jiwa manusia.

Memang sebaiknya, kelas-kelas di sekolah kita diisi oleh jumlah peserta didik yang ideal. Jangan terlalu banyak siswa di dalam kelas. Sebaiknya antara 20 s.d. 24 orang siswa. Namun,apa yang terjadi antara kota dan desa membuat kita harus berlapang dada dan mengurut dada. Di desa kita kekurangan banyak guru dan di kota guru banyak sekali. Terjadi ketimpangan penempatan guru, dimana guru PNS lebih senang ditempatkan di kota-kota besar. Tak ada yang mau pergi ke tempat terkecil, apalagi tinggal bersama penduduk pedalaman.

Mungkin, mendiknas yang baru akan segera membenahi carut marutya pelaksanaan sertifikasi guru. Semoga saja ada angin segar yang akan menghantarkan teman-teman guru yang belum mendapatkan sertifikat pendidik kepada arahan yang jelas dan mudah dipahami sehingga akan membuat para guru tersenyum puas karena mendapatkan tunjangan profesi. Begitupun yang belum, mereka akan tersenyum ikhlas dan bersabar akan ada tiba giliran mereka.

Tak ada lagi dikotomi, guru bersertifikasi dan guru non sertifikasi. Kita pun berharap ada keadilan dalam pelaksanaan sertifikasi guru. Jangan sampai tujuan dan manfaat dari sertifikasi guru yang baik itu justru menjadi musibah bagi teman-teman guru. Program sertifikasi guru dalam jabatan justru harus menjadi anugerah yang harus disyukuri oleh teman-teman guru. Membuat profesi guru menjadi terhormat di mata masyarakat. Seperti sekarang ini, orang berebut untuk bisa menjadi guru, karena guru telah menjadi sebuah profesi yang sejajar dengan profesi lainnya. Hanya mungkin take home pay nya saja yang belum sejajar. (hahahahaha).

Di dalam sebuah kegiatan apapun namanya, pasti perlu yang namanya eveluasi. Pemerintah tentu selalu melakukan eveluasi demi kebaikan pelaksanaan sertifikasi guru. Masih banyak puluhan juta guru yang belum tersertifikasi, bukan karena mereka tidak profesional, tetapi mereka harus bersabar menunggu gilirannya. Semoga saja sertifikasi guru tidak menimbulkan kecemburuan yang membabi buta. Sebab guru adalah sosok panutan dari masyarakat banyak yang harus memberikan contoh keteladanan.

Sertifikasi guru dan permasalahannya jelas akan terus ada selama proses itu dilakukan, tetapi yang pasti para guru harus mengaca pada diri sendiri sudahkah layak menjadi guru profesional. Tugas para asesor itu yang merupakan dosen-dosen dari perguruan tinggi juga memiliki moral untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Sertifikasi juga berlaku untuk para dosen. Bila mereka tak profesional, maka para dosenpun akan malu. Apalagi bila ternyata dosen itu dosen perguruan tinggi swasta, maka tak ada satupun mahasiswa yang akan berkuliah di kampusnya, bila para dosennya tak berkualitas.

Begitupun di sekolah swasta tempat penulis mengabdikan diri dan berkarya. Sebagai sekolah favorit papan atas di masyarakat, kami para guru di labschool senantiasa meng-upgrade diri sendiri karena kami merasa mempunyai beban moral kepada masyarakat dlam bidang pendidikan. Begitu besar dana yang mereka keluarkan untuk menyekolahkan anaknya, dan tentu mereka mengharapkan mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas. Pelayanan yang berkualitas itu didapatkan dari para guru yang profesional. Bila ada sekolah swasta tutup, itu artinya profesionalisme guru tak terjaga dengan baik. Atau ada hal lainnya yang tak memenuhi 8 standar nasional pendidikan yang bisa anda baca pada kolom humaniora kompas cetak hari ini.

Delapan standar nasional pendidikan yang telah ditetapkan bersama harus menjadi prioritas untuk diwujudkan dalam kabinet Indonesia bersatu yang akan datang. Hal itu dilakukan agar kualitas pendidikan secara nasional bisa meningkat dan merata di seluruh wilayah Tanah Air. Itulah yang menjadi pokok persoalan agar pendidikan bangsa ini maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun