Siswa sedang mendengarkan guru Bicara
Selama hampir 15 tahun menjadi guru, mulai dari tahun 1994 sampai sekarang ini, belum pernah saya temui ada seorang siswa yang menyenangi soal-soal yang berbentuk uraian atau essay. Mereka begitu bergembira manakala diketahui semua soal-soal yang diujikan adalah soal pilihan ganda (PG). Tetapi mereka langsung berwajah cemberut ketika diketahui ada soal yang berbentuk essay atau uraian.
Buat saya yang berprofesi sebagai seorang pendidik, tentu berusaha mencari tahu jawabnya. Kenapa siswa lebih suka soal PG daripada soal Essay?
Setelah mewancarai para siswa, dan menyebarkan angket, saya menemukan bahwa banyak siswa lebih menyukai soal Pilihan ganda (PG) daripada soal essay, Hal ini disebabkan karena mereka tak terbiasa dilatih oleh guru mereka terdahulu untuk berpikir logis dan sitematis menggunakan nalar mereka dalam bentuk tulisan. Mereka lebih menyukai soal PG lantaran soal PG mudah untuk dilakukan bila mereka tak bisa menjawab soal. Bagi mereka hitungan kancing akan menolong mereka. Soal-soal dalam bentuk PG membuat mereka harus memilih dengan penuh keberuntungan tanpa harus bersusah payah memeras otak. Apalagi bila jawaban soal itu ternyata mudah, cukup untuk menyilang atau melingkari huruf yang dianggap benar. Hal itu rupanya telah bersemi dalam otak murid SD sekarang ini, dan berimbas sampai SMP, lalu SMA, dan bahkan sampai perguruan tinggi. Banyak peserta didik yang merasa enjoy dengan soal-soal PG.
Soal berbentuk essay memang menjadi momok bagi peserta didik. Mereka lebih senang mengerjakan soal PG yang sebenarnya harus diakui secara jujur, soal PG menjerumuskan siswa untuk tidak bisa menulis secara sistematis. Melatih daya nalarnya dan beragumentasi sesuai dengan kontsruksi pemikirannya sendiri sehingga mereka bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ternyata, apa yang saya alami selama ini benar dalam pandangan para ahli, dan saya baca berita itu di kompas.com hari ini, 1 Nopember 2009 bahwa Pembiasaan evaluasi atau tes dengan soal-soal pilihan ganda dari tingkat SD hingga perguruan tinggi dinilai menjerumuskan siswa. Kondisi tersebut mengakibatkan siswa Indonesia hanya kuat dalam kemampuan menghafal atau di level pengetahuan, sedangkan kemampuan menalar dan menerapkan ilmu pengetahuan sangat rendah. Oleh karena itu, dalam aspek penilaian atau evaluasi siswa, baik yang dilakukan guru maupun pemerintah, perlu digalakkan penggunaan item uraian. Soal-soal pilihan ganda mendorong siswa untuk menebak jawaban tanpa berpikir terlebih dahulu dan memudahkan peserta yang berniat tidak jujur. Demikian kajian yang dikemukan sejumlah peneliti dari beberapa perguruan tinggi berdasarkan hasil-hasil tes internasional yang diikuti siswa Indonesia dalam seminar bertema mutu pendidikan dasar dan menengah. Penelitian dilakukan berkolaborasi dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas di Jakarta. Menurut berita di kompas.com itu pula dituliskan bahwa Kemampuan rata-rata siswa Indonesia dalam merespon item format uraian lebih rendah dibandingkan merespons item format pilihan ganda. Kondisi itu secara umum menunjukkan siswa Indonesia lemah untuk melakukan analisis, prediksi, dan membuat kesimpulan. Felicia N Utordewo dari Universitas Indonesia mengatakan prestasi membaca siswa SD Indonesia bukan saja terlihat rendah dalam PIRLS, tapi juga dalam ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN). Siswa Indonesia tidak terlatih untuk menyampaikan pikirannya dalam bahasa yang runtut dan jelas. "Mereka sigap dalam menjawab soal pilihan ganda, namun mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran secara mandiri dalam bentuk esei," kata Felicia. Dalam penyusunan soal perlu dirakit soal-soal esei yang tidak memerlukan jawaban yang panjang. Melalui soal seperti itu, siswa terdidik untuk berpikir mandiri dan memutuskan jawaban sendiri, tanpa bantuan pilihan. Heri Retnawati dari Universitas Negeri Yogyakarta, mengatakan salah satu yang mempengaruhi kesulitan siswa Indonesia menjawab soal-soal dalam tes internasional karena tidak terbiasa mengerjakan evaluasi skala nasional dengan soal esei atau lebih terbiasa dengan soal pilihan ganda. Di soal TIMSS banyak soal yang bersifat penerapan dan penalaran, sehingga akan menyulitkan siswa yang tidak terbiasa berpikir analitis. Ujian nasional yang berbentuk pilihan ganda jadi acuan model penilaian di sekolah. Guru pun melaksanakan ujian dengan bentuk soal pilihan ganda. "Selain pilihan ganda, perlu dikembangkan soal uraian sehingga peserta berusaha dan terlatih untuk berfikir kritis dan logis yang merupakan indikator peningkatan kualitas siswa dan kualitas pendidikan Indonesia," ujar Retnawati. Wasis dari Universitas Negeri Surabaya mengingatkan supaya kegiatan pembelajaran harus memberikan ruang yang lebih luas lagi bagi siswa untuk melakukan proses menalar dan menerapkan dibandingkan mengumpulkan pengetahuan semata. "Keterampilan tersebut belum dikuasai siswa Indonesia," ujar Wasis.
Membaca berita dari kompas.com di atas, sebagai seorang guru saya pun merasa turut bersalah karena telah menjerumuskan siswa ke dalam soal-soal PG dan membiarkan siswa tak pernah mengasah otaknya dengan pikiran analitis yang tajam dalam menguraikan apa-apa yang ada dalam alam pikirannya dalam bentuk tulisan. Terus terang, saya pun juga terhanyut untuk lebih suka soal PG, seolah-olah saya mengamini apa yang telah saya kerjakan. Sebab soal-soal dalam bentuk soal PG lebih mudah dalam pengkoreksiannya, dibandingkan soal-soal bentuk uraian yang harus dibaca guru satu persatu ketika mengoreksinya dan dibutuhkan waktu ekstra untuk memeriksanya. Sedangkan soal PG, cukup menggunakan mesin scanner nilai, maka dengan cepat mesin scanner memeriksa hasil pekerjaan siswa, lalu dengan cepat pula mengumumkan hasilnya. Guru sangat termanjakan dengan adanya scanner, dan siswa pun merasa terlayani dengan baik karena cepat mengetahui hasilnya.
[caption id="attachment_20794" align="alignright" width="276" caption="Para siswa sedang mendengarkan Guru Berbicara"][/caption]
Memang ada plus dan minus dari soal PG, dan soal uraian. Namun berdasarkan hasil penelitian di atas, soal PG justru menjerumuskan siswa, sehingga siswa hanya mampu menghafal dan tak mampu mengaplikasikan apa yang telah didapat di sekolah. Jadilah mereka robot-robot pandai yang hanya sanggup mengerjakan soal PG daripada soal essay.
Guru dan siswa adalah dwitunggal pendidikan. Sebenarnya guru dan siswa sangat senang betul dengan soal-soal PG, sebab mereka sama-sama diuntungkan. Tetapi kalau kita ingin melihat hasil yang berkualitas daripada proses pendidikan secara utuh, maka guru harus juga memberikan soal-soal essay agar mereka terbiasa juga untuk menganalisis, berpikir kritis, dan mengemukakan pendapatnya dalam bentuk tulisan.
Memang dibutuhkan kesabaran dari seorang guru dalam memeriksa hasil pekerjaan siswa dalam bentuk essay. Cukup memakan waktu memang, tetapi kualitas pembelajarannya akan jauh lebih baik hasilnya bila guru memadukan keduanya. Tetap memberikan soal PG dan juga memberikan soal essay. Lalu buktikan hasilnya dengan melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan tindakan perbaikan, pengamatan, dan refleksi diri.
Bila guru telah melakukan itu, maka tak terdengar lagi seluruh siswa mengatakan, "Horeee, soalnya pilihan ganda semua!".
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H