Mohon tunggu...
Wijaya Kusuma Subroto
Wijaya Kusuma Subroto Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalist

Wijaya Kusuma S, lahir di Bandung tanggal 04 Juni dan besar di Jakarta, Sekolah di SMAN 1 Boedoet dan kuliah S2 di Universitas Gadjahmada ikut dalam pelbagai organisasi mulai dari menjabat ketua Basket Ball Muda Manggala Indonesia pada tahun 1985, kemudian ikut dalam kegiatan pelbagai otomotif dan pensiun offroad pada tahun 1996 dan akhirnya mendirikan wadah otomotif bersama dengan 14 tokoh otomotif lainnya berupa Indonesia Offroad Federation. Saat awal berdirinya pada tahun 1999, Wijaya Kusuma S menjabat sebagai Sekretariat Jenderal IOF. Sekaligus menjadi salah satu penggagas Divisi Pelatihan dan Litbang IOF yang mencoba membuat silabus berkaitan dengan Defensive Driving training. Kiprahnya dibidang keselamatan transportasi dan defensive driving training membuatnya mendapat sertifikasi dari Jabatan Keselamatan Jalan Raya dan Malaysia Defensive Driving Training, juga mnedapatkan pengakuaan dari International Association of Survival and Safety Training yang bermarkas di Inggris. Sekarang saya menangani ordtraining.com dan subrotolaw.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyimak Kasus Harun Masiku yang Terkait Kasus Suap KPU

14 Januari 2020   13:32 Diperbarui: 14 Januari 2020   16:42 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, sebagai tersangka terkait dugaan penerimaan suap dalam proses penetapan penggantian antar waktu anggota DPR RI periode 2019-2024.

Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, mengatakan ada tiga tersangka lainnya, yakni Agustiani Tio Fridelina, yang merupakan orang kepercayaan Wahyu, Harun Masiku yakni calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan (masih buron), serta Saeful yang disebut sebagai pihak swasta.

Agustiani adalah anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 2008-2012, Harun adalah bekas caleg DPR pada Pemilu 2019 dari PDI-P, dan Saeful merupakan staf Sekretariat DPP PDI-P.  Tentang disebutnya nama Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristianto, yang disebutkan kemungkinan besar mengetahui kasus ini, KPK mengatakan pihaknya tengah mendalami siapa sumber dana dalam kasus suap ini.

Jika ditemukan mengarah kepada Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristianto, kata Lili Pintauli Siregar, pihaknya bisa saja akan memanggilnya.

"Tidak saja Hasto, tapi yang berhubungan dengan perkara ini. Kalau ada hubungan akan ada panggilan," katanya.

cuplikan berita tersebut diambil dari BBC.com,

Tentunya berita ini sangat mengagetkan karena terjadi diawal tahun Operasi Tangkap Tangan  terhadap oknum yang berasal dari partai pemenang pemilu terbesar PDIP. Saya sebagai mantan caleg Hanura yang dulu pernah ikut Pileg mencoba menyimak kasus ini untuk menjadi pembelajaran.

Kasus ini bermula dengan rencana Pergantian Antar Waktu (PAW) caleg DPR RI terpilih dari Fraksi PDIP yang meninggal dunia yaitu Nazarudin Kiemas pada Maret 2019.  Nazarudin merupakan politisi PDI Perjuangan yang mencalonkan diri sebagai caleg DPR RI dari dapil Sumatera Selatan I. Namun, dalam prosesnya adik almarhum mantan Ketua MPR Taufik Kiemas ini meninggal dunia sebelum hari H pemungutan suara yang jatuh pada 17 April 2019 lalu.  

Ada 8 orang caleg PDI Perjuangan yang ditetapkan dalam DCT itu. Adapun dalam DCT caleg PDI Perjuangan Dapil Sumatera Selatan I, nama Nazarudin Kiemas mendapat nomor urut 1. Kemudian, secara berturut-turut disusul oleh Darmadi Djufri pada nomor 2, Riezky Aprilia pada nomor 3, Diah Okta Sari pada nomor 4, Doddy Julianto Siahaan pada nomor 5, Harun Masiku pada nomor 6, Sri Suharti pada nomor 7 dan Irwan Tongari pada nomor 8. 

Kronologi tentang PAW ditubuh partai PDIP adalah sebagai berikut. 

  1. Mengetahui bahwa Nazzarudin Kiemas meninggal dunia, KPU melakukan klarifikasi kepada DPP PDI Perjuangan melalui surat KPU Nomor 671/PL.01.4-SD/06/KPU/IV/2019 tanggal 11 April 2019 perihal Klarifikasi Calon Anggota DPR RI dalam Pemilu Tahun 2019.  

    DPP PDI Perjuangan lalu menjawab surat KPU tersebut melalui surat nomor 2334/EX/DPP/IV/2019 tanggal 11 April 2019. Surat itu pada pokoknya membenarkan bahwa Nazarudin Kiemas telah meninggal sesuai surat kematian dari Rumah Sakit Eka Hospital tanggal 26 Maret 2019. Lalu, Berdasarkan Surat balasan dari DPP PDI-P tersebut dan mengacu pada ketentuan Pasal 37 huruf d Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara KPU melakukan sejumlah langkah.  Pasal itu menyatakan, jika terdapat calon anggota DPR, yang meninggal dunia atau tidak lagi memenuhi syarat sejak ditetapkan sebagai calon anggota DPR, maka KPPS bisa mengumumkan calon yang meninggal dunia atau tidak lagi memenuhi syarat melalui papan pengumuman di TPS dan/atau secara lisan kepada pemilih sebelum pemungutan suara dilaksanakan.

  2. Selanjutnya, melalui Surat Ketua KPU Nomor 707/PL.01.4-SD/06/KPU/IV/2019 tanggal 16 April 2019 perihal Pengumuman Calon Anggota DPR yang Tidak Memenuhi Syarat Formal,
  3. Berdasarkan kondisi ini, nama Nazaruddin Kiemas dicoret dari DCT sebagaimana Keputusan KPU Nomor 896/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IV/2019 tanggal 15 April 2019 tentang Perubahan Keenam DCT DPR RI Pemilu Tahun 2019. Setelah proses pemungutan suara dilakukan, KPU mencatat perolehan suara caleg DPR RI dari PDI Perjuangan dapil Sumatera Selatan I.   Perolehannya adalah sebaga berikut: PDI Perjuangan: 145.752 suara 1. NAZARUDIN KIEMAS : 0 suara 2. DARMADI DJUFRI : 26.103 suara 3. RIEZKY APRILIA : 44.402 suara 4. DIAH OKTA SARI : 13.310 suara 5. DODDY JULIANTO SIAHAAN: 19.776 suara 6. HARUN MASIKU: 5.878 suara 7. SRI SUHARTI : 5.699 suara 8. IRWAN TONGARI : 4.240 suara

Berdasarkan hal tersebut maka Harun Masiku melalui DPP PDIP mencoba melakukan manuver dengan mengajukan gugatan ke uji materi terhadap PKPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang pemungutan dan penghitungan suara ke MA. Permohonan uji materi ini dilakukan sebelum KPU menetapkan calon anggota DPR RI terpilih. 

Mengajukan uji materi pasal 54 ayat (5) PKPU Nomor 3 Tahun 2019. Terhadap pengajuan uji materi ini, MA memutuskan permohonan Pemohon dikabulkan sebagian,  Amar putusan MA antara lain berbunyi, "... dinyatakan sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk partai politik bagi calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk partai politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon." 

Berdasarkan putusan MA  itu lah yang dijadikan dasar Harun Masiku  melalui Hasto Kritianto untuk melakukan PAW . DPP PDI Perjuangan mengajukan permohonan kepada KPU agar melaksanakan putusan tersebut. Permohonan ini tertuang melalui Surat DPP PDI Perjuangan Nomor 2576/EX/DPP/VIII/2019 tanggal 5 Agustus 2019 perihal permohonan pelaksanaan utusan MA. Isi surat meminta calon yang telah meninggal dunia atas nama Nazarudin Kiemas, nomor urut 1, dapil Sumatera Selatan I, suara sahnya dialihkan kepada calon atas nama Harun Masiku.

Disinilah kejanggalan terjadi, karena putusan MA itu tidak bisa dieksekusi KPU karena bertentangan dengan Pasal 422 dan 426 UU Pemilu yang menyatakan keterpilihan calon berdasar suara terbanyak,  Uniknya lagi MA sampai harus menjelaskan keputusannya bahwa suara itu bisa dialihkan ke calon yang dianggap kader terbaik. Aneh, Mahkamah AGung yang notebene lembaga tinggi negara justru membuat putusan yang bertentangan dengan norma hukum yang berlaku. Ujung ujungnya celah ini yang digunakan Harun Masiku dan Hasto Kristianto untuk menekan KPU. 

Sungguh aneh memang, kenapa  Riezky Aprilia yang jelas mempunyai suara terbanyak di goyang oleh seorang Harun Masiku yang note bene berada diurutan 5 dalam perolehan suara. Kenapa bukan yang pilihan perolehan suara terbanyak berikutnya. Sungguh aneh PAW tersebut diajukan kepada KPU tidak diajukan kepada Ketua DPR RI karena Riezky statusnya sekarang adalah anggota DPR RI Komisi 4.  Permohonan PAW tentunya harusnya diajukan ke DPR dengan menyebutkan alasannya.  

Hal in tentu memunculkan dugaan dan asumsi liar. Benarkan Pengurus DPP PDIP tidak  menghendaki keberadaan Rizkie Aprilia ? atas Dasar Apa, dan Kenapa ? anehnya lagi Harun Masiku yang sarjana hukum sepertinya justru memutar balikan aturan karena menurut beberapa sumber dia berada dekat dengan pusaran Mahkamah Agung sehingga mungkin saja terjadi kongkalikong.

Ah entah lah, ini hanya pikiran liar yang membayangkan begitu banyaknya intrik politik menuju kursi DPR. Ini saya alami 6 tahun lalu saat Pileg melalui Partai Hanura dengan urutan Umur 1, Dapil III Jakarta Timur.  Beberapa kali saya didekati oleh oknum yang bisa mengatur usara, bahkan seoran pejabat yang sedang berkuasa memberikan saran yang sama untuk melakukan negosiasi dengan oknum tersebut.  Saya yang waktu itu masih berjuang dengan mengatas namakan idealisme menampik tawaran itu. 

Semua biaya kampanye benar benar saya gunakan untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Bikin UKM, arisan pedagang kaki lima dan segala macam. saya sempat PD bahwa perolehan suara saya cukup baik Namun saat pemilu tiba, di TPS yang tidak dijaga seluruh suara saya hilang lenyap seperti setan. Saya menduga Nampaknya ada setan setan yang bekerja untuk menghilang kan suara suara tersebut.  Saya akhirnya berada di urutan 8 dari 6 anggota dewan yang bisa melenggang ke DPR dari Dapil III.

Kasus Riezky Aprilia mengingatkan saya pada kejadian kampanye lalu. Kembali lagi Riezky Aprilia mungkin saja tidak dikehendaki partai karena dulunya dia dari partai lain yang pada pemilu 2019 lalu masuk ke PDIP  dan dia berada disitu dalam rangka mengisi kuota perempuan. Kuda hitam yang awalnya tidak diperhitungkan ternyata suaranya melebihi caleg lain dan ini tidak diduga oleh lawan politik Riezky. Tapi wajar saja Riezky mempunyai suara cukup tinggi, karena dia ikut dalam kontestasi politik sebagai Wakil walikota Lubuk Linggau sehingga mempunyai grassroot dengan jaringan luas.

Nah PAW ini adalah grand design dari DPP PDIP yang tidak menghendaki Riezky disitu atau memang ulah Harun Masiko yang memang menginginkan kursi DPR RI. ? Whalahu Allam... Kalau dari DPP PDIP apa motifnya sampai 3 kali menulis surat kepada KPU untuk melakukan PAW. Mengapa begitu ngotot mendorong Harus Masiku untuk merebut kursi DPR RI. Kalau menelisik sejarahnya  maka tahun 2009, Harun pernah menjadi Tim Sukses Pemenangan Pemilu dan Pilpres Partai Demokrat Sulawesi Tengah untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Ia juga pernah menjadi caleg partai Demokrat dan Harun Masiku juga pernah menjadi Tenaga Ahli Komisi III DPR pada tahun 2011, baru pada Pileg 2019, Harun Masiku pindah dari Partai Demokrat ke PDIP.  Oleh karena itu adalah janggal  DPP mendorong Harun Masiku yang notebene bukan kader asli PDIP dan senior partai untuk dijadikan calon anggota DPR.  Oleh karena itu banyak kejanggalan kenapa Hasto mendorong Harun dan menurut saya sungguh aneh kalau pengurus DPP PDIP tidak terlibat.

Terlihat pula bahwa KPK bertindak gamang, ketidak mampuan KPK memeriksa ruang Hasto menunjukan bahwa ada tembok kuat yang melindunginya, juga tidak dikeluarkannya red notice juga sangat aneh. Seharusnya kalau jelas ada 2 orang saksi dan bukti kuat apalagi OTT  tangkap tangan maka sesegera mungkin KPK menerbitkan rednotice dan tidak hanya DPO karena kasusnya terang benderang.  Sebagai pengacara sepertinya Harun Masiku tahu betul resiko bila ditangkap, lagi pula bila ditangkap maka dia tidak bisa lagi berkoordinasi dengan siapapun, oleh karenanya dia sepertinya memasang strategi dari kegelapan,  ya sekarang Harun Masiku yang licin seperti belut ini menghilang ditengah hingar bingar ditangkapnya Wahyu Setiawan anggota KPU.  

Saat tulisan ini dibuat Harun berstatus DPO setelah 2 hari sebelum penangkapan Wahyu Setiawan dia ke SIngapore, seperti dan seperti david copperfield,  dia menghilang ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun