Revitalisasi transportasi dan rekayasa penyelesaian kemacetan di Jakarta adalah sangat mutlak diimplementasikan saat ini. Perlu pendekatan seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan peningkatan etika, disiplin lalu lintas di jalan raya, dan perbaikan layanan angkutan umum itu sendiri.
Memberikan layanan angkutan yang baik akan mendorong para pengguna kendaraan pribadi berpindah ke angkutan umum. Kenapa orang menggunakan sepeda motor, karena cepat dan murah. Walaupun kepanasan tetap motor jadi pilihan.
Mulai 11 September 2017 maka Motor dilarang melintas di Sudirman menyusul di Kuningan. Langkah gerak roda dua dibatasi. Sungguh keputusan yang aneh dan patut digugat. Kenapa tidak mobil saja yang dilarang dan mengapa hanya motor, apakah karena motor digunakan oleh kalangan masyrakat bawah maka motor dilarang. Mobil mempunyai dimensi yang lebih besar, coba kita perhatikan pengguna mobil rata rata tidak lebih dari 2 penumpang namun menggunakan ruang di jalanan 6 sampai 7 kali lebih besar dari motor.
Kalau transportasi sudah memadai masyarakat suka kok naik kendaraan umum, masalahnya ada tidak kendaraan umum yang murah, mudah dan cepat ? Jawabannya tidak ada, busway yang ada saja sekarang berjejalan seperti dendeng. Tidak ada sistem informasi rute cerdas. Sistem informasi rute cerdas ini diperlukan agar masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi tentang layanan rute, estimasi tiba dan berangkat bus, biaya dan gerai yang menyediakan tiket, baik itu tiket sekali pakai, maupun terusan dengan model e money atau tap cash. Intinya masyarakat dimudahkan.
pemerintah pusat pun perlu memikirkan untuk persyaratan pembelian kendaraan dan membatasi jumlah kendaraan yang beredar. Disingapore maka setiap pemohon kendaraan bermotor harus punya lot parkir sendiri baik di apartemen atau dirumahnya. Lha kalau di Jakarta orang bisa beli 3 -4 mobil dan parkir sembarangan di jalan umum. Gias kemaren aja penjualan kendaraan sampai 6,7 Trilliun dengan jumlah kendaraan 21.000 unit. Lha gimana tidak tambah macet Jakarta. Beresin ini dulu deh, kemudian beresin transportasi umum supaya masyarakat mau berpindah ke transportasi umum. Dinegara asia hanya di Indonesia aja yang ada peraturan seperti ini. Malaysia motor bahkan bisa masuk tol, demikian pula di Singapore. Aturan ini diterbitkan seolah olah bentuk arogansi Dishub/pemprov DKI Jakarta yang semena mena menerapkan aturan karena frustasi akan kemacetan.
Pemprov DKI seharusnya menghitung antara ruas jalan dan jumlah kendaraan yang beredar harus berimbang sehingga pemborosan energi akibat kemacetan tidak terjadi. Cara yang dilakukan pemerintah Singapura dengan menerapkan kuota kendaraan (vehicle quota system) yang mengenakan pajak tinggi untuk setiap penambahan kendaraan baru bisa dijadikan contoh.
Di Singapura tidak mudah untuk membeli mobil, perlu ikut tender untuk mendapatkan hak kepemilikan kendaraan (certificate of entitlement); makin banyak mobil beredar maka makin mahal pula pajaknya. Rasanya pemerintah harus membuat kebijakan makro transportasi yang pro kepada masyarakat umum. Oleh karena itu revitalisasi transportasi dan rekayasa penyelesaian kemacetan di Jakarta adalah sangat mutlak diimplementasikan saat ini. Perlu pendekatan seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan peningkatan etika, disiplin lalu lintas di jalan raya, dan perbaikan layanan angkutan umum itu sendiri.
Sebagai perbandingan di Singapura, layanan bus sebanyak 6.000 unit dengan pelbagai layanan seperti layanan jarak jauh antarwilayah (townlink), kemudian ada pula yang melayani transportasi malam (night rider dan night owl), layanan lingkungan (feeder) dan layanan premium. Rasanya kita perlu berkaca dan belajar mengenai tata kelola transportasi Singapura ini yang dikelola oleh Land Transportation Authority (Dishub di Jakarta).
Tentunya disesuaikan dengan keadaan layanan transportasi Jakarta. Sinergi dengan MRT, monorel, ataupun KRL Jabodetabek juga perlu dilakukan, angkutan lingkungan semisal angkot atau Metromini harus dibuat nyaman dengan tiket terusan menggunakan e-money. Sehingga transportasi antarmoda tidak lagi menjadi hambatan.
Seharusnya antara ruas jalan dan jumlah kendaraan yang beredar harus berimbang sehingga pemborosan energi akibat kemacetan tidak terjadi. Cara yang dilakukan pemerintah Singapura dengan menerapkan kuota kendaraan (vehicle quota system) yang mengenakan pajak tinggi untuk setiap penambahan kendaraan baru perlu dijadikan contoh.
Hayooo, motor mau dilarang? kita Gugat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H