Mohon tunggu...
Endiarto Wijaya
Endiarto Wijaya Mohon Tunggu... Lainnya - Padawan

Menulis dan memotret kehidupan nyata adalah kegemaran saya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Resensi Film "Kartini": Mengoreksi Posisi Kartini dalam Sejarah

22 April 2017   12:07 Diperbarui: 23 April 2017   00:00 25583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan dalam film Kartini (courtesy wanitaindonesia.co.id)

“Apa yang kamu miliki saat ini tidak akan ada artinya jika hanya untuk dirimu sendiri. Kamu harus berbagi.”  Begitulah nasehat Raden Mas Panji Sosrokartono (diperankan Reza Rahardian) kepada adik kesayangannya, Kartini (Dian Sastrowardoyo). Nasehat Sang Kakak tersebut menjadi pijakan untuk memahami sosok Kartini dalam film ini secara utuh. Melalui film ini Sutradara Hanung Bramantyo menjelaskan bahwa Kartini lebih dari sekedar sosok yang setiap tanggal 21 April diperingati cukup hanya dengan berpakaian tradisional di sekolah-sekolah dan kantor-kantor  disertai dengan kegiatan-kegiatan seremonial yang klise dan sekedar formalitas belaka.

*****

Pada Abad ke-19 masih berlaku suatu ketentuan bahwa bupati di Jawa dijabat oleh seorang bangsawan tinggi. Namun untuk menjadi seorang bupati, bangsawan tinggi tersebut harus beristerikan bangsawan tinggi pula. Ketentuan tersebut berlaku pula bagi Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Sutomo). Meskipun ketika masih menjadi Wedana Mayong (sebuah wilayah Kecamatan di Jepara) sudah menikah dengan MA Ngasirah (Christine Hakim), Sosroningrat harus menikah dengan Raden Ajeng Moerjam (Djenar Maesa Ayu), seorang bangsawan tinggi,  agar bisa memenuhi syarat untuk menjadi Bupati Jepara.

Kartini yang terlahir dari pernikahan antara Sosroningrat dan Ngasirah menjadi korban dari norma feodal tersebut. Akibat pernikahan antara Sosroningrat dan Moerjam, Kartini tidak kuasa menolak ketentuan yang melarang untuk memanggil ibu kandungnya dengan sebutan Ibu. Hanya Moerjam yang boleh dipanggil dengan sebutan Ibu, sedangkan ibu kandungnya sendiri harus dipanggil dengan sebutan “Yu”. Itu masih ditambah lagi dengan larangan untuk tidur dengan Ngasirah yang ditempatkan di kamar terpisah dari bangunan utama di Kabupaten.

Meskipun sempat mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (Sekolah Dasar untuk keturunan Eropa dan anak bangsawan), Kartini sesuai adat istiadat yang berlaku harus dipingit menjelang masa remaja hingga tiba saatnya ada lelaki bangsawan yang melamar untuk dinikahi. Mau tidak mau, Kartini pun harus menerima ketentuan tersebut. Dipingit berarti dilarang keluar dari rumah dan harus membatas komunikasi dengan dunia luar. Beruntung Kartini memiliki seorang kakak kandung yang gemar membaca. Sebelum berangkat untuk melanjutkan pendidikan di Belanda, Sosrokartono memberikan buku-bukunya pada Kartini. Selama menempuh pendidikan di Universitas Leiden, kiriman buku dari Sosrokartono juga diterima rutin oleh Kartini.

Buku-buku itulah yang menjadi penghubung Kartini dengan dunia luar serta menyalakan gagasan-gagasan untuk mencerahkan dan memajukan masyarakat. Buku-buku itu pula yang menjadi bahan referensi serta penumbuh inspirasi bagi Kartini untuk menulis beragam topik dalam Bahasa Belanda. Meskipun memberlakukan pingitan terhadap Kartini yang kelak diberlakukan pula terhadap adik-adiknya, yakni Rukmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita Nugraha), Sosroningrat memang tidak mnelarang anak-anaknya untuk menjelajahi dunia pengetahuan lewat buku-buku. Sang Bupati pula yang akhirnya luluh dan mengambil keputusan untuk tidak menerapkan adat pingitan secara kaku terhadap anak-anak perempuannya. Sebelum masa pingitan berakhir, Kartini, Kardinah dan Rukmini diajak Sang Ayah menghadiri Perayaan Hari Penobatan Ratu Wilhelmina di Semarang.

Kebijakan-kebijakan yang memberi kelonggaran kepada putrid-putrinya itu membuat Sosroningrat mendapat tentangan keras dari para saudaranya sesama bangsawan yang memiliki jabatan tinggi di masyarakat. Di sisi lain, gagasan-gagasan dan kiprah Kartini terus berkembang sampai akhirnya mengajukan permohonan beasiswa untuk studi ke Belanda. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Saksikan di Bioskop terdekat di kota Anda!

*****

Film Kartiniyang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini merupakan film ketiga yang bertutur tentang kehidupan sang tokoh. Film pertama berjudul RA Kartini beredar pada 1983 dan film kedua berjudul Surat Cinta Untuk Kartini beredar pada 2016 lalu. Sebelum menyutradarai film biografi Kartini ini, Hanung telah menyutradarai film Sang Pencerah(2010) yang mengisahkan kiprah kepahlawanan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan Soekarno : Indonesia Merdeka (2010). Jika Rudy Habibie (2016) dimasukkan pula dalam kategori film biografi, berarti Kartini merupakan biopic karya Hanung yang keempat. Ditambah dengan pengalaman penyutradaraan film-film lain serta penghargaan Festival Film Indonesia sebagai Sutradara terbaik lewat film Brownies(2005) dan Get Married (2007), kemampuan Hanung sebagai seorang sutradara tidak perlu diragukan lagi.

Dibandingkan dengan penyutradaraan untuk film-film lain, menyutradarai sebuah film biografi (biopic) serupa dengan pekerjaan seorang sejarawan karena sutradara dituntut untuk meneliti serta memahami sejarah kehidupan tokoh yang difilmkan. Dalam film yang dibuat berdasarkan naskah cerita yang disusun oleh Hanung Bramantyo sendiri dan Bagus Bramathi ini, Kartini ditampilkan sebagai seorang tokoh yang gagasan dan kiprahnya tidak saja harus diteladani oleh para perempuan Indonesia, tetapi menginspirasi semua orang dan patut diteladani oleh siapapun.

Dengan kata lain, film ini berupaya menggugat pandangan yang selama ini berlaku bahwa Kartini hanya berjasa bagi para perempuan Indonesia. Melalui  jalinan cerita dengan dramaturgi yang menarik, film ini berupaya mengoreksi posisi Kartini dalam catatan sejarah Indonesia. Lewat adegan-adegan yang menggambarkan upaya Kartini untuk mendidik rakyat jelata dan mengangkat harkat para pengrajin ukiran Jepara serta kegigihannya untuk mendapatkan beasiswa, Kartini layak disebut sebagai tokoh yang menginspirasi semua orang, khususnya kaum muda jaman sekarang.

Proses shooting film Kartini (courtesy fajaronline.com)
Proses shooting film Kartini (courtesy fajaronline.com)
Dari segi sinematografi dan artistik, kerjasama yang solid antara sutradara, penata kamera/ sinematografer (Faozan Rizal), penata seni/ art direcor (Allan Sebastian) dan penata busana/costume designer (Retno Ratih Damayanti) membuat film ini benar-benar menjadi tontonan yang menarik.

Faozan Rizal yang juga turut bekerjasama dengan Hanung Bramantyo dalam film Sang Pencerah dan Soekarno kembali menunjukkan kiprahnya sebagai sinematografer kelas atas yang piawai merekonstruksi warna-warna kehidupan masa lalu ke dalam sebuah film. Berkat kepiawaian Faozan, biopic Kartini terlihat tampil dengan warna bersaturasi lembut dan pencahayaan gambar yang realistis.sesuai dengan kondisi pencahayaan era Kartini yang umumnya masih mengandalkan cahaya lampu minyak.

Sedangkan Allan Sebastian yang pernah bekerjasama dengan Garin Nugroho dalam menggarap film Tjokroaminoto (2015) patut diacungi jempol dalam pekerjaannya karena berhasil menata gaya artistik yang sesuai dengan era kehidupan RA Kartini sehingga film ini menampilkan rasa estetika visual yang enak dinikmati.

Tak kalah pentingnya di sini adalah peran penata busana. Seorang penata busana (costume designer) bertugas menghidupkan tokoh dalam suatu film lewat busana/ kostum yang dikenakannya sesuai dengan tuntutan cerita. Untuk menghidupkan tokoh-tokoh dalam film Kartini tentu memerlukan keahlian dan kejelian yang mumpuni. Retno Ratih Damayani yang pernah tiga kali berturut-turut memenangkan penghargaan sebagai Penata Busana Terbaik dalam  Festival Film Indonesia untuk karyanya dalam film Habibie dan Ainun, Soekarno dan Tjokroaminoto, kembali menunjukkan kepiawaiannya melalui busana-busana yang dikenakan oleh Kartini dan para tokoh dalam film ini sesuai dengan kelas sosial pada jamannya. Kita bisa mencermati busana yang dikenakan oleh Sosrokartono seolah merefleksikan kelincahan dan kecendekiawanan tokoh itu yang  dalam sejarah dikenal sebagai polyglot serta mahir menggunakan 24 bahasa asing sekaligus seorang wartawan perang. Di sisi lain kita bisa juga melihat unsur kegagahan dan kemewahan busana yang dikenakan para bupati dan pejabat Belanda dalam film itu.

Elemen penting yang turut menunjang mutu film ini adalah keberadaan deretan artis papan atas lintas generasi. Keberadaan Deddy Sutomo dan Christine Hakim mengokohkan jalinan cerita biopic ini. Penggemar artis masa kini juga bakal rugi kalau tidak menonton film ini. Mau nonton bagaimana Denny Sumargo, Acha Septriasa dan Dian Satrowardoyo tampil dalam satu film ?  Yuk buruan tonton Kartini di bioskop !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun