Â
[caption caption="Adegan ketika Pak Dirman bergerilya"][/caption]
Film yang mengisahkan kehidupan seorang tokoh penting dalam sejarah merupakan satu bentuk penafsiran terhadap rangkaian peristiwa yang tercatat pernah dialami oleh sang tokoh. Begitupula film Jenderal Soedirman. Film yang disutradarai oleh Viva Westi ini berupaya menafsirkan rangkaian peristiwa yang pernah dialami oleh Pak Dirman meskipun hampir 100 persen ceritanya berfokus pada perjuangan gerilya setelah serangan Agresi Militer ke II Belanda pada 18 Desember 1948 hingga kembali ke Jogja pada Juli 1949.
Sebulan lebih setelah kelahiran Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, sebuah rapat diadakan di Markas Besar TKR di Gondokusuman Yogyakarta 12 November 1945. Rapat tersebut akhirnya menyetujui Soedirman sebagai Panglima TKR melalui pemungutan suara. Pemilihan Panglima TKR ini menjadi adegan pembuka film Jenderal Soedirman yang diperankan oleh Adipati Dolken. Selanjutnya film mengenalkan sosok Soedirman sebagai sosok tentara yang taat pada perintah atasan melalui dialog antara Soedirman dengan Tan Malaka (diperankan oleh Mathias Muchus). Kedua tokoh ini sama-sama menginginkan Indonesia Merdeka 100 persen, hanya bedanya Pak Dirman menegaskan bahwa beliau tunduk pada perintah Presiden dan Wakil Presiden.
Selanjutnya alur cerita bergerak maju dengan cepat hingga pada serangan militer Belanda atas Yogyakarta yang kala itu merupakan Ibukota RI. Serangan mendadak tentara Belanda yang dimotori oleh Pasukan Khusus Korps Speciale Troepen (KST) memporak-porandakan Yogyakarta. Pasukan Belanda berhasil mendesak TNI yang kala itu masih belum lengkap persenjataannya. Menghadapi serangan ini, Presiden Soekarno (diperankan Baim Wong) segera memimpin sidang kabinet.Â
Presiden Soekarno dan Bung Hatta (diperankan Nugie) akhirnya memutuskan untuk tetap berada di Yogyakarta. Keputusan ini membuat Pak Dirman kecewa karena pada awalnya direcanakan bahwa seandainya terjadi serangan Belanda lagi setelah Agresi Militer Belanda ke I pada Juli 1947, Presiden dan Wakil Presiden RI akan turut bergerilya. Namun atas dasar berbagai pertimbangan, diputuskan untuk membagi perjuangan dalam dua front, yakni front perjuangan bersenjata lewat perang gerilya semesta dan front perjuangan politik melalui negosiasi serta diplomasi.
Pak Dirman yang sedang menderita sakit segera memulai perang gerilya dan bergerak keluar dari Yogyakarta diiringi pengawal dan pasukannya. Karena kondisi kesehatannya, diputuskan membuat tandu untuk Pak Dirman guna mempermudah pergerakan pasukan. Keberadaan tandu ini sempat ditolak halus oleh Pak Dirman karena merasa tandu hanya layak buat seorang raja. Namun Kapten Tjokropranolo alias Nolly (diperankan Ibnu Jamil) berupaya meyakinkan bahwa tandu itu diperlukan karena Pak dirman sedang sakit.
Keberhasilan Pak Dirman meloloskan diri dari serangan Belanda, membuat Jenderal Spoor gusar. Jenderal mantan kepala intel Belanda yang memimpin serangan 19 Desember 1948 dengan sandi Operatie Kraai (Operasi Gagak) tersebut akhirnya menjadikan Panglima Soedirman sebagai target operasi perburuan. Namun keuletan dan kecerdikan Pak Dirman serta ketabahan, loyalitas dan keteguhan pasukannya senantiasa merepotkan pasukan Belanda. Taktik gerilya pukul dan lari (hit and run) pasukan Pak Dirman, berhasil mengelabuhi tentara Belanda. Pak Dirman selalu bisa meloloskan diri dari kejaran pasukan Belanda mulai dari Yogyakarta, Kediri, Pacitan hingga akhirnya kembali masuk ke Yogyakarta pada Juli 1949.
******
Mulanya saya menganggap menonton film ini bakal membosankan. Apalagi dalam satu situs internet yang saya baca, film Jenderal Soedirman dikategorikan dalam genre drama. Promosi film ini juga kurang gencar dibandingkan dengan film-film sejenis seperti Soekarno maupun Tjokroaminoto. Lebih ironis lagi, sebagai seorang penggemar film, saya juga baru tahu ada film ini seminggu sebelum beredar setelah mendapat kabar dari seorang rekan penggemar sejarah dan film sejarah yang biasa saya panggil dengan panggilan Pak Sep Dau (Kepala Stasiun Dau). Makanya sebelum nonton, saya membawa makanan ringan secukupnya yang saya sembunyikan di kantong rompi saya agar tidak mengantuk selama pertunjukan.
Namun dugaan saya salah besar. Sejak film ini dimulai, rasa kantuk yang saya takutkan itu tidak tiba. Malah makanan ringan yang sudah saya siapkan justru tidak termakan. Ketegangan yang terbangun dari jalinan adegan dalam film ini membuat saya terus terjaga. Rasa penasaran terhadap kelanjutan satu adegan ke adegan lain selalu muncul. Dalam hal ini, Viva Westi patut diacungi jempol karena berhasil menjaga tempo alur cerita sehingga sebagai suatu film drama militer/ drama perang, film ini tidak terjebak dalam  dialog-dialog membosankan yang panjang.