Mohon tunggu...
Endiarto Wijaya
Endiarto Wijaya Mohon Tunggu... Lainnya - Padawan

Menulis dan memotret kehidupan nyata adalah kegemaran saya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Film Jenderal Soedirman : Sebuah Tafsir Atas Perjuangan Pak Dirman

31 Agustus 2015   14:47 Diperbarui: 31 Agustus 2015   14:58 3510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Adegan ketika Pak Dirman bergerilya"][/caption]

Film yang mengisahkan kehidupan seorang tokoh penting dalam sejarah merupakan satu bentuk penafsiran terhadap rangkaian peristiwa yang tercatat pernah dialami oleh sang tokoh. Begitupula film Jenderal Soedirman. Film yang disutradarai oleh Viva Westi ini berupaya menafsirkan rangkaian peristiwa yang pernah dialami oleh Pak Dirman meskipun hampir 100 persen ceritanya berfokus pada perjuangan gerilya setelah serangan Agresi Militer ke II Belanda pada 18 Desember 1948 hingga kembali ke Jogja pada Juli 1949.

Sebulan lebih setelah kelahiran Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, sebuah rapat diadakan di Markas Besar TKR di Gondokusuman Yogyakarta 12 November 1945. Rapat  tersebut akhirnya menyetujui Soedirman sebagai Panglima TKR melalui pemungutan suara. Pemilihan Panglima TKR ini menjadi adegan pembuka film Jenderal Soedirman yang diperankan oleh Adipati Dolken. Selanjutnya film mengenalkan sosok Soedirman sebagai sosok tentara yang taat pada perintah atasan melalui dialog antara Soedirman dengan Tan Malaka (diperankan oleh Mathias Muchus). Kedua tokoh ini sama-sama menginginkan Indonesia Merdeka 100 persen, hanya bedanya Pak Dirman menegaskan bahwa beliau tunduk pada perintah Presiden dan Wakil Presiden.

Selanjutnya alur cerita bergerak maju dengan cepat hingga pada serangan militer Belanda atas Yogyakarta yang kala itu merupakan Ibukota RI.  Serangan mendadak tentara Belanda yang dimotori oleh Pasukan Khusus Korps Speciale Troepen (KST)  memporak-porandakan Yogyakarta. Pasukan Belanda berhasil mendesak TNI yang kala itu masih belum lengkap persenjataannya. Menghadapi serangan ini, Presiden Soekarno (diperankan Baim Wong) segera memimpin sidang kabinet. 

Presiden Soekarno dan Bung Hatta (diperankan Nugie) akhirnya memutuskan untuk tetap berada di Yogyakarta. Keputusan ini membuat Pak Dirman kecewa karena pada awalnya direcanakan bahwa seandainya terjadi serangan Belanda lagi setelah Agresi Militer Belanda ke I pada Juli 1947, Presiden dan Wakil Presiden RI akan turut bergerilya. Namun atas dasar berbagai pertimbangan, diputuskan untuk membagi perjuangan dalam dua front, yakni front perjuangan bersenjata lewat perang gerilya semesta dan front perjuangan politik melalui negosiasi serta diplomasi.

Pak Dirman yang sedang menderita sakit segera memulai perang gerilya dan bergerak keluar dari Yogyakarta diiringi pengawal dan pasukannya. Karena kondisi kesehatannya, diputuskan membuat tandu untuk Pak Dirman guna mempermudah pergerakan pasukan. Keberadaan tandu ini sempat ditolak halus oleh Pak Dirman karena merasa tandu hanya layak buat seorang raja. Namun Kapten Tjokropranolo alias Nolly (diperankan Ibnu Jamil) berupaya meyakinkan bahwa tandu itu diperlukan karena Pak dirman sedang sakit.

Keberhasilan Pak Dirman meloloskan diri dari serangan Belanda, membuat Jenderal Spoor gusar. Jenderal mantan kepala intel Belanda yang memimpin serangan 19 Desember 1948 dengan sandi Operatie Kraai (Operasi Gagak) tersebut akhirnya menjadikan Panglima Soedirman sebagai target operasi perburuan. Namun keuletan dan kecerdikan Pak Dirman serta ketabahan, loyalitas dan keteguhan pasukannya senantiasa merepotkan pasukan Belanda. Taktik gerilya pukul dan lari (hit and run) pasukan Pak Dirman, berhasil mengelabuhi tentara Belanda. Pak Dirman selalu bisa meloloskan diri dari kejaran pasukan Belanda mulai dari Yogyakarta, Kediri, Pacitan hingga akhirnya kembali masuk ke Yogyakarta pada Juli 1949.

******

Mulanya saya menganggap menonton film ini bakal membosankan. Apalagi dalam satu situs internet yang saya baca, film Jenderal Soedirman dikategorikan dalam genre drama. Promosi film ini juga kurang gencar dibandingkan dengan film-film sejenis seperti Soekarno maupun Tjokroaminoto. Lebih ironis lagi, sebagai seorang penggemar film, saya juga baru tahu ada film ini seminggu sebelum beredar setelah mendapat kabar dari seorang rekan penggemar sejarah dan film sejarah yang biasa saya panggil dengan panggilan Pak Sep Dau (Kepala Stasiun Dau). Makanya sebelum nonton, saya membawa makanan ringan secukupnya yang saya sembunyikan di kantong rompi saya agar tidak mengantuk selama pertunjukan.

Namun dugaan saya salah besar. Sejak film ini dimulai, rasa kantuk yang saya takutkan itu tidak tiba. Malah makanan ringan yang sudah saya siapkan justru tidak termakan. Ketegangan yang terbangun dari jalinan adegan dalam film ini membuat saya terus terjaga. Rasa penasaran terhadap kelanjutan satu adegan ke adegan lain selalu muncul. Dalam hal ini, Viva Westi patut diacungi jempol karena berhasil menjaga tempo alur cerita sehingga sebagai suatu film drama militer/ drama perang, film ini tidak terjebak dalam  dialog-dialog membosankan yang panjang.

Akting Adipati Dolken sebagai Pak Dirman juga berhasil menghidupkan jenderal termuda dalam sejarah RI ini sebagai seorang prajurit yang teguh, tabah dan berkemauan keras walapun sedang dalam kondisi sakit parah. Selama bergerilya, hanya satu paru-paru Pak Dirman yang berfungsi. Jadi dapat dimaklumi jika dalam film ini Pak Diman tidak tampak ceria meskipun sebenarnya beliau dikenal luwes dalam bergaul dan suka bercanda.

Sejarah juga mencatat bahwa selama bergerilya, Pak Dirman didampingi oleh ajudan yang merangkap sebagai pengawalnya yakni Kapten Tjokropranolo (kelak pensiun sebagai Letjen TNI dan sempat menjabat sebagai Gubernur DKI). Ibnu Jamil berhasil menghidupkan sosok Kapten Nolly yang rela mengorbankan dirinya demi melindungi Pak Dirman. Dalam film terdapat adegan ketika Nolly terpaksa harus menggendong Pak Dirman ketika tempat persembunyiannya dibombardir Belanda. Meskipun wajah Kapten Nolly sebenarnya tidak mirip dengan Ibnu Jamil, kekerasan, semangat dan keteguhan hati Nolly yang pada jaman Jepang juga sempat dilatih sebagai PETA Yugeki Tai (PETA spesialisasi gerilya), berhasil dihidupkan oleh aktor yang pernah berperan sebagai Agus Salim dalam film Tjokroaminoto itu.

Satu fakta sejarah yang baru saya temukan lewat film ini adalah bahwa anggota pasukan Pak Dirman kerap memanggil beliau dengan sebutan Pak Dhe (sebutan untuk paman dalam Bahasa Jawa). Pak Dirman memang tercatat dalam sejarah sebagai seorang komandan yang kebapakan dan menganggap anak buahnya sebagai anak-anaknya sendiri. Namun sebutan Pak Dhe seperti yang diucapkan oleh Kapten Soepardjo Roestam yang juga ajudan Pak Dirman baru saya ketahui dari film ini.

Pilihan untuk mengisahkan kehidupan Pak Dirman dalam kurun waktu sejak Agresi Militer II hingga kembalinya Pak Dirman ke Yogyakarta pada Juli 1949 merupakan pilihan cerdas untuk mengemas cerita dalam film menjadi sebuah kisah yang menarik. Namun dibandingkan dengan film-film sejenis seperti Soekarno dan Tjokroaminoto, latar belakang Pak Dirman tidak terwakili dalam adegan film. Bagaimana Pak Dirman bisa menjadi seorang tokoh penuh kharisma di kalangan prajurit? Bagaimana Pak Dirman bisa menjadi seorang pribadi yang memiliki tekad kuat, teguh dan tabah? Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Pak Dirman sebelum menjadi seorang tentara adalah seorang guru Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Cilacap yang menjadi idola para siswanya. Mungkin juga tidak banyak yang tahu bahwa peletak dasar kultur TNI ini sebenarnya sempat merasa tidak yakin akan bisa menjadi tentara yang baik ketika akan mengikuti pendidikan sebagai seorang calon Daidancho (komandan batalyon) PETA.

Pilihan sang sutradara untuk memasukkan Tan Malaka dalam film juga terkesan mengambang dan berpotensi untuk menciptakan pemahaman yang kurang tepat terhadap tokoh sejarah ini. Kiprah dan akhir hidup sang tokoh yang kontroversial dan masih mengandung misteri sejarah hingga kini mestinya disikapi sang sutradara dengan hati-hati. Andaikan tokoh fiktif  Karsani (diperankan Gogot Suryanto) tidak ada dan sutradara lebih memilih untuk fokus pada tokoh-tokoh yang benar-benar ada, termasuk Tan Malaka, mungkin film ini akan lebih otentik sebagai suatu film sejarah atau biopic.

Tokoh-tokoh yang benar-benar ada seperti Kopral Aceng, mestinya bisa diposisikan untuk memberikan kesegaran dalam film. Tapi mengapa pilihan jatuh pada Karsani? Atau akan lebih baik lagi jika sosok Letnan Muda Laut Heru Kesser yang sempat diperintahkan Pak Dirman untuk menjadi Soedirman palsu mendapat porsi lebih untuk tampil dalam jalinan cerita di film ini. Adakah sutradara atau produser lain yang akan membuat film Jenderal Soedirman dalam versi yang berbeda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun