Mohon tunggu...
Endiarto Wijaya
Endiarto Wijaya Mohon Tunggu... Lainnya - Padawan

Menulis dan memotret kehidupan nyata adalah kegemaran saya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Keunikan Québec dan Keistimewaan Yogya

20 Desember 2010   03:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:34 1471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada akhir Agustus 1995 hujan membasahi Montréal dan membuat hawa kota terbesar di Provinsi Québec, Canada tersebut terasa sejuk walaupun pada saat itu masih musim panas. Kesejukan Montréal seolah menenangkan pikiran saya yang baru tiba di sana bersama dua puluh tiga orang rekan dari berbagai provinsi di Indonesia yang menjadi peserta Program Pertukaran Pemuda Indonesia – Kanada (PPIK) 1995-1996. Kesempatan untuk mengikuti pertukaran pemuda tersebut adalah suatu pengalaman berharga yang mesti disambut dengan perasaan gembira. Namun kenyataan bahwa Bahasa Perancis dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari di provinsi itu sedikit membuat pikiran tidak tenang karena saya belum mahir berbahasa Perancis.

Bendera Quebec

Akhirnya dengan semangat untuk memperoleh pelajaran maupun pengalaman berharga, segala rasa galau mesti disingkirkan jauh-jauh. Di Montréal, kami mengawali kegiatan pertukaran pemuda dengan orientasi awal selama beberapa hari. Orientasi tersebut dibimbing oleh beberapa Pembina dari Jeunesse Canada Monde (JCM). JCM merupakan LSM yang bergerak di bidang pendidikan informal dan kepemudaan. Di provinsi lain di Kanada LSM tersebut dikenal dengan nama Canada World Youth (CWY) dan merupakan mitra Pemerintah RI dalam penyelenggaraan PPIK di Kanada. Selama pelaksanaan orientasi, bahasa pengantar adalah Bahasa Perancis. Buku pedoman pembelajaran yang menjadi pegangan kami selama program pun ditulis dalam Bahasa Perancis. Jika di provinsi lain judul buku pegangan tersebut adalah Learning Guide, namun di Québec diganti menjadi Le Guide D’apprentissage.

Setelah beberapa hari menjalani orientasi di Montréal, akhirnya tibalah waktunya bagi kami untuk meninggalkan kota itu guna mengikuti kegiatan orientasi selanjutnya di kawasan Charlevoix yang berada di pedalaman Québec. Setibanya di tempat tujuan, kami disambut oleh kawan-kawan dari berbagai provinsi di Kanada yang menjadi mitra program (counterparts). Namun karena program ini dilaksanakan di Québec, istilah counterpart pun mesti diganti dalam bahasa Perancis menjadi homologue. Kali ini kegiatan orientasi menjadi lebih meriah karena pesertanya lebih banyak setelah ditambah dengan dua puluh empat peserta dari Kanada.

Lagi-lagi, orientasi dilaksanakan dengan Bahasa Perancis sebagai bahasa pengantar. Pada kesempatan ini pula kami menemukan fakta bahwa tidak semua peserta dari Kanada bisa berbahasa Perancis, termasuk homologue saya. Homologue saya bernama Shane Ruljancich dan berdarah campuran Kroasia-Skotlandia. Pengetahuannya tentang Bahasa Perancis kala itu tidak lebih baik dibanding kawan saya asli Bandung yang bernama Rina. Hal ini wajar karena Shane berasal dari kota Castlegar yang berada di provinsi berbahasa Inggris, yakni British Columbia. Karena kemampuan berbahasa Perancis yang tidak merata itu, kawan-kawan yang mahir berbahasa Perancis seperti Rina diminta untuk menjadi penerjemah Bahasa Perancis – Inggris selama berlangsungnya orientasi.

Setelah orientasi di Charlevoix selesai, kamipun segera dipisah-pisah sesuai grup masing-masing dan diberangkatkan menuju kota di mana kegiatan inti dari PPIK dilaksanakan selama Fase Kanada. Grup saya beranggotakan tujuh orang Indonesia dan tujuh orang Kanada yang masing-masing dipimpin oleh ketua grup (agent de projet). Kami ditempatkan di kota Saint Raymond dan tiap peserta tinggal di sebuah keluarga Québec beserta masing-masing mitra program (homologue). Konsekwensinya, dalam kehidupan sehari-hari kami seperti dipaksa untuk berbicara dalam Bahasa Perancis. Ahmad Fuadi (penulis novel Negeri 5 Menara), termasuk seorang peserta yang beruntung dalam grup kami karena mendapat homologue Francophone (penutur Bahasa Perancis) asli Québec bernama François Leclerc. Itu berarti Fuadi mendapat guru privat gratis selama pelaksanaan program.

Selama berada di Saint Raymond, saya benar-benar dapat merasakan betapa Québec benar-benar merupakan suatu provinsi yang unik karena penggunaan Bahasa Perancis sebagai bahasa resmi sekaligus bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Lembaga-lembaga pemerintah maupun sekolah dinamai dalam bahasa Perancis. Jika di provinsi lain lembaga kepolisian cukup disebut dengan Police Department, tidak demikian halnya dengan Québec yang memiliki Surêté du Québec (Keamanan Quebec) disingkat SQ sebagai lembaga kepolisian. SQ juga memiliki moto unik dibandingkan lembaga-lembaga kepolisian lain di dunia yang kebanyakan berbau Amerika (To Protect and To Serve). Moto SQ adalah service, integrité, justice (pelayanan, integritas dan keadilan). Suatu moto yang mengindikasikan semangat untuk mewujudkan polisi yang melayani dengan dilandasi integritas guna mewujudkan keadilan.

Begitu setianya Québecois (orang Québec) dengan Bahasa Perancis hingga film-film di bioskop pun mesti didubbing dalam Bahasa Perancis. Jangan harap untuk bisa menemukan film-film berbahasa Inggris jika kita tidak pergi ke Montréal yang memang lebih bilingual dibanding kota-kota pedalaman seperti Saint Raymond. Lembaga pendidikan seperti école secondaire atau polyvalentes lebih dikenal dibanding sebutan high school. Balaikota yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai city hall, di Québec dikenal dengan sebutan hotel de ville. Selain itu, setiap kali berpapasan dengan orang yang kita kenal di jalan, kata bonjour mesti diucapkan tanpa peduli pagi, siang ataupun malam. Sedangkan jika mengakhiri  suatu pertemuan, kata Salut menjadi salam perpisahan. Akhirnya, satu frasa popular di kalangan kami adalah: “Attention là, c’est glissant!” artinya kurang lebih : “Hati-hati, jalanan licin!”. Frasa itu kerap kami ucapkan di antara kami ketika jalanan Saint Raymond tertutup salju tebal akibat musim dingin di Québec yang suhunya kerap mencapai rata-rata minus 10 derajat celcius.

Pelaksanaan program di Québec merupakan setengah bagian dari PPIK. Setelah menikmati dinginnya salju Québec, kami beserta rekan-rekan dari Kanada menuju Provinsi  Daerah Istimewa Yogyakarta guna melanjutkan Fase Indonesia dari rangkaian kegiatan program pertukaran pemuda tersebut. Bersama para mitra program dari Kanada yang semuanya belum pernah ke Indonesia, perjalanan menuju Yogya dari Jakarta dengan menggunakan bus penumpang terasa mengasyikkan. François yang biasa melihat lalu lintas lancar di Kanada merasa heran melihat kemacetan Jakarta dan jalur Pantura. Ketika melihat lalat beterbangan di sekitar warung tempat kami istirahat sejenak di Pantura, kawan-kawan dari Kanada sempat menunjukkan rasa heran bercampur rasa jijik karena situasi semacam ini tak dapat mereka temui di Kanada.

Kegiatan di Yogyakarta terasa lebih ringan bagi kami yang berasal dari Indonesia, terutama bagi yang bisa berbahasa Jawa. Ini dikarenakan hambatan bahasa seperti yang kami temui pada awal-awal program di Québec tidak kami temukan di Yogyakarta. Apalagi rata-rata orang Yogyakarta bisa berbahasa Indonesia. Berbeda dengan Québecois yang tidak semuanya bisa berbahasa Inggris. Saya beserta rekan-rekan satu grup ditempatkan di Desa Purwosari yang berada di wilayah Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo.

Seperti ketika kami berada di Québec, kami menemukan banyak pengalaman dan mempelajari hal-hal baru ketika berada di Yogyakarta. Di Québec, masing-masing peserta dari Indonesia maupun Kanada mendapatkan pengalaman untuk bekerja sebagai relawan di berbagai sektor, seperti sekolah, dinas pariwisata, rumah jompo, maupun stasiun televisi dan  kantor surat kabar. Namun menu utama kami di Purwosari adalah kerja bakti atau sambatan. Setiap hari kami mesti pergi untuk membangun MCK, meratakan jalan maupun membetulkan tanggul di sawah. Mengangkut batu bata, pasir serta memegang cangkul adalah hal biasa bagi kami selama berada di Purwosari.

Selama berada di sana satu hal yang sulit untuk dilupakan adalah keramahan khas Yogya di desa tersebut. Setiap kali kami lewat di depan sebuah rumah, tuan rumah selalu mengundang kami untuk mampir dan mengajak makan. Selesai makan di satu rumah dan lewat rumah lainpun, tuan rumahnya mengundang kami untuk mampir dan makan dulu. Satu pengalaman unik menimpa Marc Eber yang berasal dari Ontario, Kanada. Ketika mampir di satu rumah warga, dia makan  satu kue yang disajikan dan ternyata berisi laron goreng. Dia tertawa senang ketika saya mengatakan bahwa makan kue berisi laron goreng itu serasa  bertualang bersama Indiana Jones. Kami menjalani segala kegiatan PPIK di Purwosari selama kurang lebih tiga setengah bulan. Selama itu pula banyak pengalaman baru yang diperoleh selama berada di sana. Kawan-kawan dari Kanada pun semakin lancar berbahasa Indonesia. Setelah program resmi ditutup, semua peserta pulang ke kota asal masing-masing. Kawan-kawan dari Kanada juga pulang ke negara mereka. Ada yang melanjutkan pekerjaannya dan ada pula yang meneruskan kuliahnya.

Program pertukaran pemuda itu telah lama berlalu, namun satu hal yang tetap berkesan bagi saya adalah pola hidup masyarakat pedalaman Québec yang masih dipengaruhi oleh nilai-nilai agraris. Suatu ketika saya dan rekan-rekan Indonesia maupun Kanada diundang pesta dalam rangka menikmati panen jagung. Dalam pesta yang diadakan di tepi suatu danau itu, kami disuguhi jagung rebus sebagai menu makanan utama. Pesta semacam itu barangkali sulit ditemui di negara Barat lainnya. Dengan kata lain, baik Québecois maupun orang Yogyakarta masing-masing memiliki keramahan yang khas.  Jadi ketika kita ingin membandingkan apa perbedaan Québec dan Yogyakarta sebagai daerah yang sama-sama berkategori istimewa, kedua-duanya memiliki keistimewaan masing-masing.

Bahasa Perancis merupakan bahasa resmi untuk  kegiatan pemerintahan sehari-hari serta bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan di Québec. Nama-nama lembaga-lembaga pemerintah, toko maupun nama lembaga pendidikan juga ditulis dalam Bahasa Perancis. Itu yang membedakannya dengan daerah lain di Kanada yang berbahasa Inggris (anglophone).

Sedangkan di Yogya yang merupakan satu Daerah Istimewa berlatar belakang budaya dan bahasa Jawa tetap mempergunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi untuk kegiatan pemerintahan sehari-hari maupun bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. Nama-nama lembaga pemerintah, toko-toko maupun nama lembaga pendidikan juga ditulis dalam Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, dari segi bahasa sebenarnya status Yogya sama halnya dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia yang memiliki bahasa daerah masing-masing, namun mempergunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam segala kegiatan pemerintahan maupun pendidikan. Lantas apa keistimewaan Yogyakarta sebagai satu Daerah Istimewa di Indonesia?

Jika dibandingkan dengan Québec,  penetapan Bahasa Perancis di sana sebagai bahasa resmi terkait dengan satu fakta historis yakni kontribusi orang-orang keturunan Perancis dalam pendirian Kanada. Apalagi mayoritas penduduk Québec adalah keturunan Perancis. Inilah mengapa nama keluarga berbau francophone seperti Moisan dan Plamondon lazim ditemui. Penetapan Bahasa Perancis sebagai bahasa resmi juga meyebabkan lagu kebangsaan Kanada (O Canada) dibuat juga dalam versi Bahasa Perancis.

12928156611109631110
12928156611109631110

Pada sisi lain, ketika kita berbicara tentang keistimewaan Yogyakarta, kita tidak dapat memungkiri fakta sejarah bahwa wilayah itu sejak dulu memiliki status khusus sebagai daerah Swapraja atau memiliki pemerintahan sendiri dan diatur melalui Indische Staatsregelling. Pada masa kemerdekaan, Maklumat Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, tertanggal 5 September 1945 dan Piagam Kedudukan Yogya yang diberikan oleh Presiden Sokarno pada 19 Agustus 1945 kiranya merupakan tonggak socio history dan socio legal yang melatarbelakangi status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa.

Sepengetahuan saya, orang-orang Kanada yang berasal dari latar belakang anglophone  tidak pernah memprotes mengapa Québec tetap menomorsatukan Bahasa Perancis dibanding Bahasa Inggris karena mereka memahami latar belakang socio history Kanada. Sebaliknya latar belakang socio history Yogyakarta serta kontribusi vitalnya dalam perjuangan kemerdekaan RI cenderung mulai diingkari dengan mengungkit-ungkit status keistimewaannya dengan alasan demokrasi. Jika demokrasi berarti mendengarkan suara rakyat, biarkanlah rakyat Yogyakarta merasa nyaman dengan apa yang mereka miliki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun