Seperti ketika kami berada di Québec, kami menemukan banyak pengalaman dan mempelajari hal-hal baru ketika berada di Yogyakarta. Di Québec, masing-masing peserta dari Indonesia maupun Kanada mendapatkan pengalaman untuk bekerja sebagai relawan di berbagai sektor, seperti sekolah, dinas pariwisata, rumah jompo, maupun stasiun televisi dan kantor surat kabar. Namun menu utama kami di Purwosari adalah kerja bakti atau sambatan. Setiap hari kami mesti pergi untuk membangun MCK, meratakan jalan maupun membetulkan tanggul di sawah. Mengangkut batu bata, pasir serta memegang cangkul adalah hal biasa bagi kami selama berada di Purwosari.
Selama berada di sana satu hal yang sulit untuk dilupakan adalah keramahan khas Yogya di desa tersebut. Setiap kali kami lewat di depan sebuah rumah, tuan rumah selalu mengundang kami untuk mampir dan mengajak makan. Selesai makan di satu rumah dan lewat rumah lainpun, tuan rumahnya mengundang kami untuk mampir dan makan dulu. Satu pengalaman unik menimpa Marc Eber yang berasal dari Ontario, Kanada. Ketika mampir di satu rumah warga, dia makan  satu kue yang disajikan dan ternyata berisi laron goreng. Dia tertawa senang ketika saya mengatakan bahwa makan kue berisi laron goreng itu serasa bertualang bersama Indiana Jones. Kami menjalani segala kegiatan PPIK di Purwosari selama kurang lebih tiga setengah bulan. Selama itu pula banyak pengalaman baru yang diperoleh selama berada di sana. Kawan-kawan dari Kanada pun semakin lancar berbahasa Indonesia. Setelah program resmi ditutup, semua peserta pulang ke kota asal masing-masing. Kawan-kawan dari Kanada juga pulang ke negara mereka. Ada yang melanjutkan pekerjaannya dan ada pula yang meneruskan kuliahnya.
Program pertukaran pemuda itu telah lama berlalu, namun satu hal yang tetap berkesan bagi saya adalah pola hidup masyarakat pedalaman Québec yang masih dipengaruhi oleh nilai-nilai agraris. Suatu ketika saya dan rekan-rekan Indonesia maupun Kanada diundang pesta dalam rangka menikmati panen jagung. Dalam pesta yang diadakan di tepi suatu danau itu, kami disuguhi jagung rebus sebagai menu makanan utama. Pesta semacam itu barangkali sulit ditemui di negara Barat lainnya. Dengan kata lain, baik Québecois maupun orang Yogyakarta masing-masing memiliki keramahan yang khas.  Jadi ketika kita ingin membandingkan apa perbedaan Québec dan Yogyakarta sebagai daerah yang sama-sama berkategori istimewa, kedua-duanya memiliki keistimewaan masing-masing.
Bahasa Perancis merupakan bahasa resmi untuk kegiatan pemerintahan sehari-hari serta bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan di Québec. Nama-nama lembaga-lembaga pemerintah, toko maupun nama lembaga pendidikan juga ditulis dalam Bahasa Perancis. Itu yang membedakannya dengan daerah lain di Kanada yang berbahasa Inggris (anglophone).
Sedangkan di Yogya yang merupakan satu Daerah Istimewa berlatar belakang budaya dan bahasa Jawa tetap mempergunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi untuk kegiatan pemerintahan sehari-hari maupun bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. Nama-nama lembaga pemerintah, toko-toko maupun nama lembaga pendidikan juga ditulis dalam Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, dari segi bahasa sebenarnya status Yogya sama halnya dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia yang memiliki bahasa daerah masing-masing, namun mempergunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam segala kegiatan pemerintahan maupun pendidikan. Lantas apa keistimewaan Yogyakarta sebagai satu Daerah Istimewa di Indonesia?
Jika dibandingkan dengan Québec,  penetapan Bahasa Perancis di sana sebagai bahasa resmi terkait dengan satu fakta historis yakni kontribusi orang-orang keturunan Perancis dalam pendirian Kanada. Apalagi mayoritas penduduk Québec adalah keturunan Perancis. Inilah mengapa nama keluarga berbau francophone seperti Moisan dan Plamondon lazim ditemui. Penetapan Bahasa Perancis sebagai bahasa resmi juga meyebabkan lagu kebangsaan Kanada (O Canada) dibuat juga dalam versi Bahasa Perancis.
Pada sisi lain, ketika kita berbicara tentang keistimewaan Yogyakarta, kita tidak dapat memungkiri fakta sejarah bahwa wilayah itu sejak dulu memiliki status khusus sebagai daerah Swapraja atau memiliki pemerintahan sendiri dan diatur melalui Indische Staatsregelling. Pada masa kemerdekaan, Maklumat Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, tertanggal 5 September 1945 dan Piagam Kedudukan Yogya yang diberikan oleh Presiden Sokarno pada 19 Agustus 1945 kiranya merupakan tonggak socio history dan socio legal yang melatarbelakangi status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa.
Sepengetahuan saya, orang-orang Kanada yang berasal dari latar belakang anglophone  tidak pernah memprotes mengapa Québec tetap menomorsatukan Bahasa Perancis dibanding Bahasa Inggris karena mereka memahami latar belakang socio history Kanada. Sebaliknya latar belakang socio history Yogyakarta serta kontribusi vitalnya dalam perjuangan kemerdekaan RI cenderung mulai diingkari dengan mengungkit-ungkit status keistimewaannya dengan alasan demokrasi. Jika demokrasi berarti mendengarkan suara rakyat, biarkanlah rakyat Yogyakarta merasa nyaman dengan apa yang mereka miliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H