Mohon tunggu...
Endiarto Wijaya
Endiarto Wijaya Mohon Tunggu... Lainnya - Padawan

Menulis dan memotret kehidupan nyata adalah kegemaran saya

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Sang Penyamar": Satu Kisah Kehidupan Pada Masa Penjajahan Jepang

20 Desember 2009   08:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:51 6069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_40504" align="alignleft" width="192" caption="Sang Penyamar"][/caption] Data Buku: Judul: Sang Penyamar (Memoar Masa Perang) Judul Asli: Disguised Penulis: Rita la Fontaine de Clerq Zubli Alih Bahasa: Vina Damayanti Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Cetakan: I, 2007 Tebal: 384 halaman; 20 cm ISBN-10: 979-22-4583-9 ISBN-13: 978-979-22-4583-7 Jalan hidup seseorang sering dipengaruhi oleh momentum peristiwa yang terjadi. Namun suatu momentum peristiwa menciptakan suatu efek yang tidak sama terhadap setiap orang. Fenomena demikian menimpa seorang gadis Indo-Belanda yang beranjak memasuki usia remaja ketika tentara kolonial Jepang mendarat di Sumatera pada tahun 1942. Rita la Fontaine, demikian nama gadis kecil yang dilahirkan pada 17 Desember 1929 itu, benar-benar memasuki suatu fase kehidupan baru pada saat tatanan sosial masyarakat Hindia Belanda berubah akibat peralihan kekuasaan dari Pemerintah Kolonial Belanda kepada Pemerintah Kolonial Jepang. Dengan status sosial sebagai anak seorang Kepala Bagian Post Telegraaf en Telefoondienst kota Jambi, Rita tentu menikmati kehidupan sebagai anak seorang pejabat penting pada “masa-masa aman”. Akan tetapi keistimewaan tersebut berangsur lenyap ketika ayahnya, Victor la Fontaine, diperintahkan atasannya untuk menghentikan segala kegiatan perkantoran menjelang kedatangan Jepang. Apalagi keluarga la Fontaine mengambil satu keputusan penting yang kelak mewarnai kehidupan Rita serta menciptakan suatu kenangan tak terlupakan bagi dirinya. Keputusan yang diambil beberapa saat sebelum tentara Jepang menguasai secara penuh kota Jambi itu diambil atas saran sahabat keluarga la Fontaine, yakni Pastor Koevets. Demi keselamatan agar tidak dipaksa menjadi wanita penghibur oleh tentara kolonial Jepang, Rita disamarkan sebagai seorang anak lelaki dengan nama Richard (Rick). Penyamaran sebagai lelaki mengharuskan Rita untuk merelakan rambut panjangnya yang berwarna coklat dipotong serta kedua adik laki-lakinya, yakni Ronald dan René mesti membiasakan untuk memanggil sang kakak dengan nama barunya. Ronald yang pada waktu itu masih berusia 9 tahun nampak tak terlalu sulit terhadap perubahan status sang kakak, sedangkan Rene yang masih berusia 5 tahun seolah tidak begitu peduli (Hal. 43-44). Akhirnya tibalah saat-saat yang memang sudah diperkirakan oleh keluarga La Fontaine akibat kedatangan tentara kolonial Jepang. Seluruh keluarga orang-orang Belanda, Indo-Belanda maupun campuran Eurasia lainnya mesti masuk dalam kamp tawanan tentara Jepang. Kamp tawanan bagi lelaki dewasa dipisahkan dengan kamp tawanan untuk perempuan dan anak-anak. Karena masih berusia dua belas tahun, Rick alias Rita otomatis dianggap sebagai anak-anak dan diperkenankan bergabung bersama ibunya, Paula, bibinya serta kedua adik laki-lakinya. Ketika mengetahui bahwa kepala kamp ternyata adalah orang Jepang yang dulu dikenal sebagai pemilik toko langganan keluarga, Paula dan Tante Suus (bibi Rita) terkejut. Ternyata orang Jepang bernama Matoba tersebut adalah seorang Kapten dalam dinas intelijen Jepang. Dia ditugaskan untuk mengumpulkan data intelijen menjelang kedatangan Jepang dengan menyamar sebagai pedagang. Setelah Jepang menguasai Sumatera, Kapten Matoba ditugasi sebagai kepala kamp tawanan. Layaknya kehidupan sebagai tawanan, segala sesuatunya benar-benar dibatasi. Rita menjalani semua itu dengan status barunya sebagai Rick. Tak ada lagi kenyamanan dan kemewahan yang bisa dinikmati. Untungnya, Kapten Matoba mengetahui bahwa Rick memiliki keahlian memainkan akordeon. Sang Kapten yang menyukai permainan musik Rick mulai memberi perhatian dan keistimewaan padanya. Hari demi hari berlalu sampai akhirnya tibalah suatu saat di mana keluarga La Fontaine beserta keluarga Indo-Belanda lainnya diperbolehkan tinggal di luar kamp tawanan. Ini berarti ayah Rick bisa kembali bersatu dengan keluarga. Meskipun demikian, mereka tak lagi dapat menghuni rumah mewah seperti dulu. Mereka sekeluarga tinggal di sebuah pondok sederhana di tepi hutan. Pada fase ini, sang Ayah diperbolehkan bekerja mencari nafkah, begitupula Rick yang mendapat pekerjaan sebagai petugas administrasi di suatu kantor pemerintah. Ini suatu pengalaman yang tak biasa bagi seorang anak berusia sangat muda. Masa kebebasan tersebut juga tak bisa mereka nikmati lama-lama. Jepang kembali memutuskan bahwa semua keluarga Indo-Belanda mesti kembali masuk kamp tawanan, namun kali ini mereka dipindahkan ke suatu kamp di tempat lain di luar kota Jambi. Rick juga mesti meninggalkan pekerjaan administrasi yang mulai disukainya. Namun dia meninggalkan pekerjaan dengan berbekal suatu surat referensi yang kelak memberi dia kedudukan cukup istimewa dibanding tawanan-tawanan lain. Surat referensi ini diberikan atas dasar prestasi Rick sebagai seorang pekerja keras dan bakatnya dalam penguasaan bahasa Jepang. Akhirnya Rick memang diberi pekerjaan sebagai seorang penerjemah bahasa yang bertugas menerjemahkan komunikasi antara kepala kamp dengan para tawanan. Sebelum kedatangan Jepang, Rick hanya bisa berbahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Setelah kedatangan Jepang, dia menjadi mahir berbahasa Jepang dan Inggris. Kecakapan berbahasa Inggris Rick dibentuk oleh interaksinya dengan para tawanan berkebangsaan Inggris. Bakat dalam berbagai bahasa inilah yang dapat dianggap sebagai penyelamat Rick pada masa-masa sulit dalam kamp tawanan Jepang. Status sosial dan kehidupan Rick alias Rita sebagai seorang anak berusia belasan tahun memang seolah tak penting dicatat dalam sejarah. Namun dalam perspektif kajian sejarah aliran “nouvelle histoire” (sejarah baru) yang dipelopori oleh Fernand Braudel, sejarah dikaji tidak hanya dari kisah orang besar tetapi kisah rakyat bawah mestinya juga dianggap penting (Asvi Warman Adam, 2009: X). Dengan demikian, memoar yang ditulis oleh Rita la Fontaine ini merupakan suatu sumber sejarah penting bagi pengkajian sejarah periode penjajahan Jepang di Indonesia. Terlebih lagi, tak banyak sumber tertulis yang menguraikan bagaimana kondisi yang dialami oleh para tawanan ketika berada dalam kamp di bawah pengawasan tentara Jepang. Meskipun merupakan suatu memoar, buku ini enak dibaca karena tak dibumbui oleh pesan-pesan ideologis utopis yang lazim ditemukan dalam memoar para tokoh penting. Warna-warni kehidupan Rita bahkan terdeskripsikan layaknya sebuah petualangan anak remaja seperti dalam novel Huckleberry Finn maupun Tom Sawyer karya Mark Twain. Dengan kata lain, pola alur cerita berupa prolog, eskalasi konflik hingga epilog dapat ditemukan dalam memoar ini. Pada sisi lain, memoar ini juga menjadi menarik sebagai suatu bahan perenungan dan pembelajaran karena perang telah benar-benar mempengaruhi tiga dimensi penting dalam kehidupan manusia yang menurut Rosihan Anwar (2009:47) terdiri dari dimensi fisiologi, sosiologi dan psikologi. Kedatangan Jepang telah menuntut Rita untuk berpenampilan sebagai lelaki remaja bernama Rick dengan konsekwensi bahwa dia mesti membawa diri secara tepat dalam pergaulan dengan sesama tawanan maupun ketika berinteraksi dengan para tentara Jepang penjaga kamp yang kesemuanya lelaki. Satu hal lain yang juga sangat menarik dalam memoar ini, menjadi tawanan perang tidak selalu meruntuhkan mental seorang gadis belia. Status sebagai tawanan pada masa perang ternyata malah menempa Rita la Fontaine yang belia untuk menjadi seorang perempuan yang matang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun