Mohon tunggu...
Endiarto Wijaya
Endiarto Wijaya Mohon Tunggu... Lainnya - Padawan

Menulis dan memotret kehidupan nyata adalah kegemaran saya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Malang Kembali dan Stasiun Trem Jagalan

19 Desember 2009   14:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:52 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_40517" align="alignnone" width="300" caption="Stasiun Trem Jagalan yang Merana "][/caption] [caption id="attachment_40524" align="alignnone" width="199" caption="Tari Topeng Malangan pada Festival Tari "Malang Kembali" 2009"][/caption] [caption id="attachment_40525" align="alignnone" width="300" caption="Suasana Stasiun Trem Jagalan pada tahun 1919 (Copyright Prentenkabinet Leiden/ Jahn's Drukkerij, NV downloaded from www.geheugenvannederland.nl, on 16 August 2009) "][/caption] Acara tahunan “Malang Kembali”  yang berlangsung Mei 2009 lalu semestinya dijadikan suatu bahan perenungan dan referensi bagi pembangunan industri pariwisata di Kota Malang. Meskipun belum jelas berapa banyak wisatawan dari luar Malang yang sengaja datang untuk mengunjungi event tahunan tersebut, membludaknya pengunjung merupakan suatu bukti betapa antusiasnya masyarakat untuk tidak melewatkan “momentum nostalgia” ini. Oleh Karena itu, jika melihat antusiasme masyarakat seperti demikian, perlukah “Malang Kembali” dijadikan sebagai suatu kegiatan yang  tidak sekedar dilaksanakan sekali dalam setahun? Sebagaimana penulis amati secara langsung, Malang Kembali pada kenyataanya dipenuhi deretan penjual makanan, minuman maupun pernik-pernik perhiasan tradisional sehingga acara ini mengingatkan penulis pada keberadaan Pasar Senggol di sepanjang Jl. Majapahit pada tahun 1970 an hingga awal 1980 an dulu. Meskipun demikian, yang membedakan Pasar Senggol dengan “Malang Kembali” adalah keberadaan pentas-pentas seni dan festival kesenian tradisional ditambah dengan pakaian tradisional yang dikenakan para pedagang pada acara “Malang Kembali”. Patut diketahui bahwa Pasar Senggol lumayan terkenal di mancanegara. Terbukti, dalam berbagai edisi buku panduan pariwisata di Indonesia terbitan Lonely Planet, ajakan untuk mengunjungi pasar tersebut selalu dilontarkan oleh para pejalan (traveler).  Bahkan hingga edisi terbitan tahun 2007, nama Pasar Senggol masih dapat diketemukan di halaman 232 buku panduan pariwisata Indonesia terbitan Lonely Planet. Bedanya, dalam edisi 2007 tersebut yang dianggap sebagai Pasar Senggol adalah Pasar Burung di kawasan Splendid. Ini tentu merupakan suatu kesalahan informasi yang mesti diperbaiki karena Pasar Burung bukan Pasar Senggol. Pada sisi lain, satu hal yang kiranya patut direnungkan bersama adalah fakta bahwa meskipun Kota Malang telah lama mencanangkan pariwisata sebagai bagian dari Tribina Cita Kota Malang, kota ini belum memiliki suatu icon maupun landmark yang menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan lokal maupun mancanegara. Kecuali bagi para wistawan Belanda yang memiliki hubungan pribadi dengan masa lalu kota Malang, para wisatawan mancanegara kerap terdengar masih menjadikan kota Malang hanya sebagai tempat persinggahan sebelum melanjutkan perjalanan ke Bali atau Gunung Bromo. Sedangkan wisatawan lokal juga lebih nampak menjadikan kota Malang sebagai tempat persinggahan sebelum atau setelah melakukan wisata ke kawasan Batu maupun sejumlah obyek wisata yang tersebar di berbagai penjuru kabupaten Malang. Pertanyaannya kemudian adalah apa yang bisa dilakukan oleh kota Malang untuk menciptakan suatu landmark atau icon pariwisata? Selama ini penulis mengamati bahwa kota Malang kurang mendayagunakan potensinya sebagai suatu kota yang semestinya bisa mengembangkan model kawasan wisata kota tua. Kota Malang memang baru dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-20, namun bangunan-bangunan tua yang berpotensi untuk dikonservasi dan dikembangkan sebagai bagian dari Cagar Budaya sebenarnya cukup banyak. Satu bangunan tua di kota Malang yang terkesan dilupakan nilai sejarahnya adalah Stasiun Trem Jagalan yang terletak di Jl. Halmahera. Meskipun Stasiun Trem Jagalan sebenarnya relatif masih utuh, pemanfaatannya sebagai rumah tinggal serta keberadaan para pedagang buah di halaman depan stasiun telah membuat stasiun ini kehilangan pamornya sebagai bangunan bersejarah. Tercatat dalam sejarah bahwa Stasiun Jagalan mulai dioperasikan oleh NV Malang Stoomtram Maatschappij yang merupakan perusahaan trem swasta di era kolonial pada November 1897 (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997). Mengingat keberadaanya sebagai suatu bukti sejarah perkerataapian dan perkembangan transportasi di Malang Raya bahkan di Indonesia, tak dapat dipungkiri lagi nilai sejarah yang dikandung oleh stasiun ini. Oleh karena itu patut kiranya jika Stasiun Trem Jagalan dikonservasi dan dijadikan sebagai suatu museum trem atau museum transportasi. Selain itu, patut diingat pula bahwa sejak dulu keberadan suatu stasiun trem maupun KA selalu menjadi motor penggerak kegiatan masyarakat. Setidaknya kita dapat melihat bagimana keberadaan suatu stasiun menjadi pemicu masyarakat untuk menjalankan aktivitas perekonomian, misalnya berdagang buah-buahan, makanan dan minuman. Stasiun juga kerap menjadi magnet bagi seniman-seniman jalanan untuk mempertontonkan keahliannnya. Fenomena demikian tidak hanya bisa dilihat di Indonesia melainkan juga di luar negeri. Di Central Station Sydney, Australia terdapat banyak pedagang yang menempati kios-kios dan seniman-seniman jalanan yang mempertontonkan keahliannya di sepanjang terowongan penyeberangan George Street – Central Station. Fenomena demikian menunjukkan betapa suatu stasiun kereta api memiliki peran sosiokultural dan ekonomi. Pendek kata, jika melihat antusiasme masyarakat dalam mengunjungi acara “Malang Kembali”, barangkali perlu dipikirkan untuk menjadikan event ini sebagai suatu icon pariwisata yang tidak hanya dilangsungkan sekali setahun, melainkan diadakan setiap hari Sabtu dan Minggu sebagai suatu wahana kegiatan masyarakat bernuansa tempo dulu. Dalam hal ini, kawasan Stasiun Trem Jagalan dengan segala potensi sejarahnya bisa dikonservasi sebagai suatu kawasan wisata kota tua dan menjadi lokasi “Malang Kembali”. Bahkan tak ada salahnya jika “Malang Kembali” tak hanya diadakan mingguan melainkan harian atau tujuh hari dalam seminggu. Dengan demikian kota Malang akan memiliki suatu icon dan landmark pariwisata yang dapat membuat kota ini memiliki keunggulan komparatif  ketika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia atau bahkan kota-kota lain di luar negeri, seperti kota Ballarat di Australia yang terkenal dengan kawasan kota tua Sovereign Hill. Realisasi gagasan ini tentu memerlukan suatu kerjasama antara antara Pemerintah Kota Malang dan PT Kereta Api sebagai pemilik aset Stasiun Trem Jagalan dan sekitarnya. Barangkali tidak mudah untuk mewujudkan realisasi ide seperti ini, namun tidak mustahil bisa dilakukan demi Kota Malang tercinta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun