Apakah aku yang tidak terlalu menyukai kurma, susu kambing, atau bahan pangan asal Timur Tengah semisal Madinah nggak mencintai Nabi Muhammad? Apakah aku yang lebih menyukai pepaya, pisang raja sereh dan jambu klutuk dianggap tidak mengikuti sunnah Nabi Muhammad karena begitu jarangnya aku mengkonsumsi buah kurma dan buah ara?Â
Apakah aku yang sangat tidak menyukai susu kambing dan memilih susu kedelai tidak menjalankan sunnah Nabi Muhammad? Apakah menggemari sumber pangan yang tumbuh di negeriku sendiri dibandingkan pangan asal Madinah dianggap tidak menjalankan sunnah Nabi Muhammad?
Hal-hal sederhana semacam ini mungkin juga menjadi pertanyaan para Muslim di negeri-negeri yang tidak memiliki kebudayaan khas Timur Tengah. Misalnya, kehidupan ala Nabi Muhammad yang disebut sunnah apakah bisa dijalankan di negeri-negeri yang berdekatan dengan kutub utara atau kutub utara itu sendiri?Â
Misalnya, bagaimana mereka dipaksa melakukan sunnah menikmati buah kurma sementara negara-negara mereka dipenuhi buah berry aneka jenis? atau bagaimana mereka dipaksa mengkonsumsi susu kambing sementara kekayaan ternak mereka merupakan sapi-sapi berkualitas tinggi? Atau bagaimana mereka dipaksa menghidupkan sunnah dengan memakan daging kambing sementara mereka punya banyak jenis hewan sebagai sumber daging?Â
Atau bagaimana mereka dipaksa menggunakan pakaian khas Timur Tengah sementara suasana alam di negeri-negeri itu begitu ekstrem dan berbeda dengan alam gurun yang gersang, panas dan berdebu? Bagaimana ulama fikih menjawabnya?
Seringkali, aku lebih suka memalingkan wajahku dengan mencari tahu bagaimana lama fikih membangun sistem hukum bagi Muslim yang hidup di negeri-negeri dengan kondisi alam ekstrem; daripada melihat dan mendengar mereka yang berdakwah dipenuhi amarah dan penghinaan kepada orang-orang yang tidak sepaham dengannya.Â
Aku lebih suka mengumpulkan kekuatan untuk merasakan keberadaaan Tuhanku, alih-alih beribadah sampai leherku pegal-pegal namun ayat-ayat itu hanya mampir di tenggorokan. Aku lebih suka mempelajari bagaimana Nabi Muhammad memuliakan perempuan sebagai salah satu aspek revolusi di dunia feodal Timur Tengah, alih-alih mendengar dakwah mengerikan tentang sehelai rambut perempuan yang bisa menyeret ayah atau suaminya ke jahannam.Â
Satu hal yang kutahu: Muhammad adalah nama yang pertama kali diberikan di jazirah Arab kala itu, diberikan oleh sang kakek Abdul Muthalib kepada Nabi Akhir Zaman yang sangat diinginkan pendeta Yahudi untuk dibesarkan dalam lingkungan Yahudi. Sang Nabi Akhir Zaman adalah bayi yang pertama kali menyandang nama Muhammad dalam peradaban manusia, nama yang tidak biasa dalam masyarakat Timur Tengah kala itu.
Oleh karena itu, aku hanya ingin mencintai Nabi Muhammad dengan sederhana, agar ia mengenali aku sebagai ummatnya meski kedudukanku dihadapannya umpama debu di alas kakinya.
Bumi Manusia, Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H