Tidak bisakah kita beragama sembari merasakan nikmatnya keindahan hidup bermasyarakat, alih-alih digiring untuk menikmati masji-masjid megah serupa istana di tengah kehidupan miskin masyarakat yang tidur dengan menahan lapar di perutnya atau stress dikejar-kejar utang yang tidak pernah selesai?
Suatu kali, saat kegalauan ini memuncak dan aku tidak tahu harus kutenangkan dengan cara apa hatiku yang dipenuhi tanda tanya: aku mendengar ceramah singkat seorang Ustadz di belahan bumi lain.Â
Dia berkata, "Anda boleh saja menolak keberadaan Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara kehidupan. Tapi, bagaimana Anda bisa menolak Muhammad, sedangkan ia pernah hidup, membawa firman Tuhan untuk manusia dan namanya ditulis dengan penuh penghormatan dalam banyak catatan? Bagaimana Anda menolak bahwa sosok seperti itu ada di dunia ini?"
Maka, terkait sang Nabi Akhir Zaman ini, aku memiliki sejumlah pertanyaan penting: siapakah yang paling mencintai Nabi Muhammad? Apa tolak ukur yang mampu memvalidasi bahwa seseorang lebih mencintai Nabi Muhammad dibandingkan orang lainnya termasuk orangtuanya, anak-akanya dan dirinya sendiri? Apakah mencintai Nabi Muhammad harus dijelaskan dengan lantang atau cukup dirasakan dalam diam?Â
Bagaimana memastikan bahwa Nabi Muhammad menerima cinta orang yang mencintainya, terlebih cinta ummatnya yang berpisah jarak nyaris 1.500 tahun? Apakah mimpi bertemu Nabi Muhammad merupakan pertanda cinta itu bersambut? Lantas, bagaimana kedudukan seorang perempuan akhir zaman sepertiku dalam memastikan cintanya diketahui Nabi Muhammad?
Mungkin, manusia yang paling mencintai Nabi Muhammad adalah mereka yang hidup sezaman dengan beliau mulai dari keluarganya, sahabatnya, juga murid-muridnya yang menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Lalu, bagaimana denganku yang terpisah jarak hampir 1.500 tahun dan lahir di negeri dengan budaya yang sama sekali berbeda dengan budaya di jazirah Arab kala itu?Â
Menjadi Muslim karena dilahirkan dari keluarga Muslim dan mendengar kisah Nabi Muhammad bagai dongeng nan indah, sebab yang ada di sekelilingku tak akan pernah bisa menggambarkan bagaimana kehidupan di gurun Saudi Arabia atau tanah Hijaz pada hampir 1.500 tahun silam.
Aku seringkali berpikir tentang hal-hal kecil seperti: bagaimana perasaan Nabi Muhammad jika dihidangkan kepada beliau buah rambutan, nangka, markisa, duku, cempedak, jambu air, nanas, manggis hingga pisang?Â
Bagaimana perasaan Nabi Muhammad jika dijamu makan malam dengan menu semur jengkol, gudeg, terong balado, sambal dabu-dabu, tempe mendoan, arsik ikan mas, pepes peda, tahu gejrot, tumis leunca dan oncom, asam pade, gulai kepala kakap, hingga teri sambal petai?Â
Bagaimana perasaan Nabi Muhammad jika disuguhi camilan getuk lindri, kue putu ayu, apem, lapis, singkong goreng, rengginang, opak, tape ketan, disertai minuman wedang uwuh, bajigur atau wedang ronde? Bagaimana tanggapan Nabi Muhammad jika dihidangkan kepadanya semur ayam, dendeng balado, ikan bakar sambal matah, sate lilit, bubur kacang hijau, pepes ikan hingga wedang uwuh?
Mengapa aku bisa berkhayal demikian? Sebab, setiap kali sekelompok orang yang mengaku paling menjalankan sunnah Nabi Muhammad berkampanye soal segala penyakit akan sembuh dengan makan kurma, buah zaitun, buah ara dan hal-hal yang banyak tumbuh di Timur Tengah: aku jadi merasa hina dengan bahan pangan di negeriku sendiri karena tidak disebutkan dalam menu harian Nabi Muhammad.Â