"Ending child marriage is not just responsibility of women and girls themselves. Everyone of us has a part to play."Â -Anonymous-
Entah bagaimana bisa, banyak orang dewasa terobsesi mengawinkan anak-anak mereka atas nama menghindari dosa. Hm, mungkin sebenarnya bukan menghindari dosa, melainkan melepaskan tanggung jawab sebagai orangtua. Sejatinya, setiap orangtua mencintai anak-anaknya saat si anak masih bertingkah lucu, menggemaskan dan membuat kangen. Namun, saat anak-anak tumbuh remaja dan memasuki masa pubertas, banyak orangtua yang gagal paham bagaimana caranya menjadi orangtua.Â
Pada fase ini banyak orangtua marah dan menyerah sebab tak lagi mampu mengkomunikasikan segala sesuatu antara dunia anak dan dunia orang dewasa. Sehingga, orangtua demikian suka mengambil jalan pintas dengan mengawinkan anak-anak remaja mereka. Yup, mereka lepas tanggung jawab!
MEMAHAMI ISU PERKAWINAN USIA ANAK (PUA)
Kukira, perkawinan usia anak sudah berlangsung sejak peradaban manusia dimulai. Zaman dahulu, anak-anak dinikahkan saat masih remaja, bahkan masih kecil. Tak jarang, orangtua juga mengikat bayi-bayi yang baru lahir dalam pertunangan. Memang tak asing jika kita mendengar bahwa zaman dahulu para perempuan menikah saat berusia belasan tahun, umumnya ketika sudah mendapat haid pertama.Â
Namun, tak jarang anak perempuan dinikahkan pada usia dibawah itu untuk memenuhi nafsu para pedofil. Anak-anak malang ini banyak yang dinikahkan dengan lelaki berumur puluhan tahun yang lebih cocok jadi ayah, paman atau kakeknya. Mengapa hal demikian bisa terjadi bahkan di banyak budaya?
Perkawinan usia anak terjadi sejak lama di seluruh dunia. Ini semacam praktek yang dilakukan dari warisan pemahaman peradaban manusia di masa lampau, yang menyelesaikan perkara seksual dan ekonomi keluarga dengan menikahkan anak-anak mereka. Ada yang menikahkan anak-anak atas tasir pada ajaran agama; pertukaran untuk barang bernilai ekonomis seperti sapi, kerbau atau tanah; untuk membayar utang keluarga kepada rentenir yang jahat; menjual anak untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga yang kekurangan; dan segudang alasan lainnya.Â
Di abad 21 ini, misalnya di Indonesia, praktek perkawinan anak masih banyak dilakukan dengan alasan menghindarkan anak-anak dari pacaran dan berzina. Astaga! Lha, orangtua pada ngapain aja kalau mendidik dan menjaga anak sendiri aja nggak becus? Padahal, perkawinan anak akan menjerat anak-anak yang belum memahami masalah kehidupan.Â
Bahkan sistem reproduksi dalam tubuhnya sendiri pada masalah sosial yang lebih pelik seperti angka kematian ibu dan bayi saat melahirkan, menigkatkan angka kemiskinan, pengangguran dan kekerasan dalam rumah tangga, hingga perceraian karena masalah ekonomi. Jadi kacau balau, bukan?
Di seluruh dunia, angka perkawinan anak masih sangat tinggi. Data yang dikumpulkan UNICEF menunjukkan bahwa 1 dari setiap 3 perempuan di dunia menikah sebelum berumur 18 tahun. Sehingga, saat ini sebanyak 700 juta perempuan sesungguhnya dinikahkan sebelum berusia 18 tahun. Jika praktek perkawinan anak ini tidak dihentikan, maka pada 2050 akan ada 1.2 miliar perempuan yang dinikahkan dibawah usia 18 tahun.Â