Tenun bukan hanya sehelai kain,
Tenun mewakili kekayaan alam,
Tenun pengalaman dan pengetahuan perempuan,Â
Tenun adalah narasi sosial ekologi politik perempuan.
"Wah cantiknya! Tenun dari mana ini? Berapa harganya?"
Mungkin, pertanyaan ini yang paling banyak kita dengar dan temui ketika karya eksotik berupa tenun dipamerkan dalam berbagai ajang bergengsi, misalnya Inacraft. Karena sebagian besar kita berharap mendapatkan harga murah dengan barang berkualitas, dengan mengikuti teori ekonomi "modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya" maka kita akan kecewa saat mengetahui harga sehelai sarung atau selendang tenun nilainya bisa mencapai Rp. 1 - 10 juta.Â
Pupuslah sudah memiliki karya handmade nan indah tapi murah meriah buat ke di pakai ke pesta atau acara bergengsi lainnya. Ya mau gimana lagi. Kan kita sudah tahu sama tahu rumusnya: ada harga ada rupa.
Trus kenapa tenun harus mahal, barang mahal mana bisa merakyat? Kalau tenun mahal yang bisa beli ya para perempuan sosialita atau kolektor tenun doang dong? Kan banyak benang pabrikan yang bisa membantu menurunkan angka belanja modal untuk membuat sehelai sarung atau selendang tenun?Â
Ngapain repot-repot menggunakan benang dari kapas liar atau pewarna alami dari kulit kayu atau tumbuhan kalau bisa beli barang pabrikan? Ngapain repot-repot pakai alat tradisional kalau ada mesin canggih yang bisa membantu mempercepat produksi?
Tapi, apa hanya sebatas itu pengetahuan dan penghargaan kita pada tenun? Bagaimana kalau kita menyelam lebih jauh dan belajar lebih banyak? Misalnya pada buku berjudul "Tenun dan Penjaga Identitas" karya Siti Maemunah, di mana penulisan buku ini sendiri berlangsung selama 5 tahun setelah melalui berbagai proses melelahkan dan perjalanan panjang khas buku-buku etnografis.Â