Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

It's a Girl, Tiga Kata Paling Mematikan di Dunia

26 Oktober 2020   10:52 Diperbarui: 26 Oktober 2020   14:50 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fetus. Sumber: desiblitz.com

"Every man in our society needs a mother, a wife, a sister then why don't they need a daughter?" -Anonymous-

Pertama kalinya aku ngeh bahwa ada anak perempuan dikubur hidup-hidup adalah ketika mendengar kisah Umar bin Khathab, salah satu sahabat Nabi Muhammad sebelum ia memeluk Islam. Kala itu, di tanah Arab, banyak keluarga merasa malu memiliki anak perempuan dan memilih mengubur mereka hidup-hidup selagi baru dilahirkan atau saat berusia kanak/remaja. 

Konon, Umar bin Khathab mengubur anak perempuannya. Tapi aku lupa usia anak itu, entah masih bayi atau balita atau bahkan remaja. Yup, agama Islam lahir ditengah-tengah sebuah masyarakat yang bahkan begitu membenci kelahiran perempuan karena dianggap sebagai beban ekonomi dan memicu rasa malu ayahnya sendiri. 

Sampai kemudian Islam sebagai agama menjadi nilai bagi sebuah revolusi sosial dan budaya, di mana Nabi Muhammad sendiri memiliki 4 anak perempuan yang sangat disayanginya. Fatimah az Zahra, salah satu putri yang paling disayanginya, bahkan disebut-sebut akan menyandang gelar sebagai Ratu Bidadari di surga kelak. Penghormatan Islam pada perempuan bahkan ditunjukkan dengan menjadikan Fatimah az Zahra sebagai penanda garis keturunan Nabi Muhammad hingga akhir zaman, melalui cucunya yaitu Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Kekaguman manusia pada perempuan, seiring sejalan dengan kebencian dan sikap mengutuk yang kelewat batas. Sedihnya, itu terjadi di hampir semua peradaban yang pernah ada di bumi ini, bahkan hingga saat ini pada zaman yang disebut post-modern. 

Salah satu negara-bangsa yang masih begitu merendahkan perempuan, dan bahkan bersedih saat bayi perempuan lahir adalah India. Pada 10 Oktober 2019 misalnya, ada bayi perempuan dikubur hidup-hidup di Uttar Pradesh oleh orangtuanya sendiri yang mengaku bayinya meninggal sejak di rumah sakit. 

Bayi perempuan seberat 1.5 kg tersebut berhasil diselamatkan setelah penjaga makam mendengar tangisan bayi dari dalam kuburan. Kasus ini hanya satu dari jutaan kasus yang menghantui India di mana banyak sekali bayi perempuan tak diinginkan oleh orangtuanya sendiri dibiarkan dikubur hidup-hidup. Bahkan, menurut Invisible Girl Project, sekira 10 ribu janin perempuan digugurkan setiap tahunnya di India. 

Bayangkan, ketidakadilan dan ketidaksetaraan pada perempuan bahkan diterima sejak masih dalam kandungan. Kondisi ketidaksetaraan dalam menerima kelahiran bayi lelaki dan perempuan membuat India menjadi salah satu negara dengan indeks kesetaraan gender terbawah, yaitu peringkat 130 dari 151 negara.

FEMALE INFANTICIDE DARI MASA KE MASA

Female Infanticide merupakan kesengajaan menghilangkan nyawa bayi perempuan (berusia baru dilahirkan-dibawah satu tahun). Hmm, kapan pembunuhan sistematis ini pertama kali dilakukan oleh manusia? Rasanya sulit melacaknya kecuali pada sumber sejarah yang telah dipelajari para ilmuwan. Untuk menjawab rasa penasaran, mari kuajak melacak praktek mengerikan ini ke masa lampau, sejauh yang terekam dokumen sejarah atau hasil penggalian para arkeolog.

Pada masa Romawi dan Yunani kuno, praktek pembunuhan sistematis pada bayi lelaki dan perempuan banyak terjadi. Bayi-bayi itu nggak dibunuh sih, tapi dibiarin aja di pinggir jalan. Keluarga menyerahkan nasib si bayi pada sang penolong baik itu Tuhan maupun manusia. Meski pada tahun 374 M infanticide ini merupakan tindakan ilegal, tetap saja banyak dilakukan, khususnya pada bayi-bayi perempuan. 

Sementara di daratan Eropa pada masa pagan, masyarakat Jerman biasa meninggalkan bayi-bayi mereka di hutan untuk menemui kematiannya, khususnya bayi-bayi yang lahir akibat hubungan diluar pernikahan. Masyarakat Kristen pada 318 M menyatakan bahwa infanticide merupakan tindakan kriminal. 

Pada 347 M sang Valentinian memerintahkan rakyat harus merawat seluruh anak yang dilahirkan; dan peraturan ini dilanjutkan pada 589 M di mana Dewan Konstantinopel menyatakan bahwa pembunuhan terhadap bayi merupakan pembunuhan dan pada tahun itu Konsili Ketiga Toledo berusaha mengakhiri kebiasan orang-orang Spanyol membunuh anak-anak mereka.

Pembunuhan atas bayi dan anak-anak kecil sangat sulit dihentikan. Pada Abad Pertengahan, orang-orang Irlandia, Galia dan Celtic biasa melakukan pengorbanan dengan membunuh anak-anak malang mereka, dan menumpahkan darah mereka di Crom Cruaich, tempat persembahan dewa Irlandia pra-Kristen. Namun kemudian, praktek ini beralih di mana para orangtua meninggalkan bayi-bayi mereka di pintu gereja, dan inilah yang membuat panti asuhan dibangun untuk pertama kalinya. 

Sementara pada masyarakat Timur Tengah, pembunuhan bayi laki-laki maupun perempuan dilakukan atas dasar kemiskinan, atau rasa malu para ayah karena memiliki anak perempuan. Sementara di Jepang, pembunuhan atas bayi perempuan disebut "Mabiki" yang bermakna menarik tanaman dari kebun yang penuh sesak, kayak nggak jauh beda dengan teknik memangkas tanaman yang tak diharapkan tubuh dari sebuah kebun. 

Sementara di Afrika, bayi yang dibunuh biasanya karena dianggap sebagai pembawa hal buruk saat kelahirannya. Misalnya, bayi kembar akan langsung dibunuh, dan bayi yang lahir dengan membuat sang ibu mati akan dikubur hidup-hidup bersama mayat sang ibu.

Pada masa modern seperti sekarang, kita juga bisa mengenalnya sebagai sex-selected abortion berkaitan dengan isu tertentu seperti status sosial sang ibu hingga masalah sosial lain dalam masyarakat patriarki. Praktek ini masih banyak terjadi di China, India dan Pakistan. Female Infanticide di China sudah berlangsung selama 2000 tahun dan baru diketahui oleh misionaris Kristen bernama Mateo Ricci pada abad ke-17. 

Ricci bahkan sempat mendokumentasikan praktek tersebut di sejumlah wilayah di China yang sebagian besarnya dikaitkan dengan kemiskinan. Pada abad ke-19 pembunuhan pada bayi perempuan makin meluas, sekitar 13 provinsi, dengan cara ditenggelamkan, dibuat sesak nafas hingga dibuat kelaparan. Cara yang lebih ekstrem misalnya, menaruh bayi perempuan dalam sebuah keranjang yang kemudian di taruh di atas pohon. 

Pada masa itu, keluarga miskin memilih membunuh bayi perempuan mereka karena sadar bahwa membesarkan anak perempuan membutuhkan biaya jauh lebih besar dari anak lelaki. Terlebih jika anak tersebut akan menikah, harus membayar mas kawin yang sangat mahal dan hal tersebut sangat membebankan bagi keluarga.

Female infanticide di China masa lampau. Sumber: wikiwand.com
Female infanticide di China masa lampau. Sumber: wikiwand.com
Kasus female infanticide di India lebih mengerikan, mengingat India juga merupakan bangsa yang menganut sistem kasta tertutup. Lahir dari keluarga miskin dan kasta rendah merupakan siksaan bagi bayi perempuan. Saat sang bayi perempuan lahir, orangtua dan keluarga besarnya akan bersedih karena mereka paham bahwa beban berat sudah mereka tanggung seketika itu juga, yaitu berupa dowry atau mas kawin. 

Yup, mas kawin dalam masyarakat India diberikan oleh pengantin perempuan kepada pengantin lelaki dan tentu saja sangat mahal. Kondisi inilah yang membuat banyak orangtua memilih menghilangkan nyawa bayi perempuan mereka daripada menanggung beban menggunung saat anak perempuan mereka hendak menikah. 

Pada tahun 1789 misalnya, pembunuhan pada bayi perempuan di Uttar Pradesh merupakan sesuatu yang biasa bagi masyarakat. Penjajah Inggris bahkan menerima surat dari hakim setempat yang menyatakan bahwa selama ratusan tahun tidak ada anak perempuan dibiarkan hidup di benteng Rajahs of Mynpoorie, wilayah Barat Laut India.

Pada 1870, setelah penjajah Inggris melakukan investigasi mengenai female infanticide ini, maka praktek ini dinyatakan sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum. Larangan pembunuhan bayi perempuan dituangkan dalam Undang-Undang Pencegahan Female Infanticide tahun 1870 (Female Infanticide Prevention Act, 1870) di mana produk hukum ini mengacu kepada ajaran Kristen yang dibawa penjajah Inggris. 

Namun, menjalankan UU ini lumayan sulit bagi masyarakat dengan sistem sosial tertutup seperti India. Para aktivis hak-hak perempuan bahkan menyatakan bahwa female infanticide di India yang sangat parah nyaris menyerupai dengan female genocide (gendercide), di mana pembunuhan secara sistematis dilakukan untuk gender tertentu. 

Jika genocide merupakan pembunuhan massal kepada sekelompok orang yang dianggap pantas mati, maka gendercide merupakan pembunuhan sistematis kepada gender tertentu yang tidak disukai. Berdasarkan sensus pada 2010 di India dan China, praktek ini telah memperlihatkan rasio kehidupan 120 lelaki bagi 100 perempuan. 

Angka ini tidak saja sesederhana tentang jumlah perempuan yang kesempatan hidupnya dihilangkan secara paksa, juga berpengaruh kepada hak-hak hidup lain di setiap aspek di mana perempuan lebih sulit mengaksesnya daripada lelaki.

Para ibu di India bisa punya pengalaman membunuh 1-8 bayi perempuan, demi mendapatkan anak lelaki. Pembunuhan ini bukan semata-mata dilakukan karena mereka tidak mampu menyiapkan biaya mas kawin saat di bayi perempuan dewasa. Melainkan mereka berusaha menyelamatkan nasib keluarga dengan membiarkan bayi perempuan menemui kematian seketika setelah dilahirkan, daripada menyaksikan si anak perempuan tumbuh dengan beban yang menumpuk dari waktu ke waktu dalam masa pertumbuhan mereka. 

Para ibu berpandangan bahwa anak lelaki merupakan investasi yang bisa membantu keluarga dengan tenaga dan pekerjaannya; sementara anak perempuan cenderung menjadi beban sehingga layak disingkirkan. Ini pandangan mengerikan: sebuah keluarga menginginkan menantu perempuan bagi anak lelaki kesayangan mereka, tetapi membunuh anak perempuan mereka sendiri.

Berbagai usaha menyelamatkan kehidupan bagi perempuan di India telah dilakukan. Pada 1991, ada sebuah skema di mana insentif jangka panjang yang diberikan kepada keluarga dengan anak perempuan. Dalam insentif itu, negara menyisihkan sebagian dana untuk diberikan langsung pada si anak perempuan saat berusia 20 tahun yang bisa digunakan untuk biaya menikah atau melanjutkan pendidikan tinggi. 

Pada 1992, pemerintah India juga membuat skema lain di mana para keluarga secara anonim membiarkan bayi perempuan mereka diadopsi orang lain tanpa prosedur formal. Skema ini dianggap dapat menyelamatkan ribuan nyawa bayi perempuan, namun dikritik karena dianggap sebagai legaliasi pengabaian atas bayi perempuan yang sekaligus status di bayi perempuan akan menjadi sangat rendah secara sosial. 

Skema ini diterapkan si wilayah Tamil Madu dan berhasil menyelamatkan sebanyak 136 bayi perempuan pada 4 tahun pertama berjalannya skema ini. Namun sayangnya, pada tahun 2000 terdapat 1. 218 laporan bayi perempuan yang dihilangkan nyawanya sehingga skema ini dianggap gagal, kemudian ditinggalkan meski kemudian diperbaiki tahun 2001.

Berdasarkan hasil riset, setiap tahunnya terdapat 629.000 anak perempuan hilang di India baik karena dibunuh dengan sengaja tak lama setelah dilahirkan, hingga dibuang agar mereka menemui kematiannya hanya karena mereka perempuan. Angka itu adalah 26 kematian bayi perempuan per 100 bayi lelaki yang lahir. Akar masalah ini adalah kuatnya sistem patriarki yang diterjemahkan secara berlebihan, dan mungkin obsesi di mana anak lelaki lebih diharapkan dari anak perempuan. 

Angka ini jika dipecah adalah: terdapat bayi perempuan yang dibunuh keluarganya sendiri per 50 detik. Mereka dibunuh dengan cara digugurkan, diabaikan, dikubur hidup-hidup, diracun, ditimpuk batu, dibuat kelaparan, dibiarkan meninggal karena infeksi tanpa pengobatan dokter, atau dibuat kesulitan bernafas dengan ditimpa bantal.

Rata-rata keluarga akan membiarkan anak perempuan pertama hidup, untuk menolong sang ibu mengurus rumah. Tetapi anak perempuan kedua dan seterusnya harus dibunuh, sebab anak seterusnya haruslah lelaki. Nah, para bayi perempuan ini dibunuh dengan 4 alasan utama, yaitu:

  • Anak perempuan dianggap tidak mampu menolong orangtua dalam pekerjaan
  • Anak perempuan tidak akan meneruskan nama/nasab keluarga
  • Anak perempuan membutuhkan mas kawin yang mahal saat menikah
  • Anak perempuan saat menikah akan pindah ke rumah mertua dan melupakan orangtua kandung mereka.

Pada Januari 2015, Perdana Menteri Narendra Modi meluncurkan program 5 tahun bernama "Beti Bachao, Beti Padhao" (Save the Daughter, Educate the Daughter) untuk menurunkan angka pembunuhan terhadap bayi perempuan. Skema ini diterapkan di 100 distrik dengan sex ratio rendah antara anak lelaki dan perempuan. Namun, program ini nampaknya perlu ditinjau ulang sebab pembunuhan pada bayi perempuan masih berlangsung hingga 2019.

Hal serupa terjadi di Pakistan dan praktek female infanticide di negara ini berkaitan dengan kemiskinan. Anak-anak lelaki biasanya diberi pelayanan yang jauh lebih baik dari anak-anak perempuan, seperti pengistimewaan pengasuhan; makanan dan akses kepada layanan kesehatan. Terlelbih jika di bayi perempuan lahir dari hubungan di luar pernikahan, akan langsung dibunuh beserta ibu yang mengandungnya dengan tujuan menjaga kehormatan keluarga. 

Sayangnya, praktek ini hanya terjadi pada bayi perempuan dan tidak untuk bayi lelaki. Perempuan yang hamil di luar pernikahan dan memiliki bayi lelaki akan bebas dari kematian mengerikan, dan si bayi akan diperlakukan dengan istimewa sebagaimana bayi-bayi yang lahir dari pernikahan sah. 

Meskipun secara hukum negara pembunuhan pada bayi perempuan merupakan tindakan ilegal, warga tetap saja melakukannya dan hanya sedikit kasus yang dilaporkan. Ratusan bayi perempuan terbukti dibunuh.

Selain female infanticide, ada praktek lain yang tak kalah menyedihkan. Yaitu bayi-bayi perempuan dibuang atau dijual kepada orang asing tanpa persetujuan ibu yang melahirkan mereka. Banyak praktek perdagangan orang ini dilakukan oleh ibu mertua atas izin ayah si bayi. 

Para suami atau ibu mertua kemudian berbohong pada ibu sang bayi bahwa bayinya meninggal tak lama setelah dilahirkan untuk menutupi kebusukan mereka tanpa menimbulkan kecurigaan sang ibu. Atau ada juga para lelaki yang memilih memberikan bayi perempuan mereka kepada temannya daripada sang bayi dibunuh oleh keluarganya. 

Pada 2016 misalnya, Pengadilan Tinggi Madrash melakukan identifikasi pada 83 orang perempuan yang dibuang atau dijual orangtuanya selagi bayi pada periode 1996-1998. Perempuan ini ingin kembali kepada keluarga asli mereka dan sebagian orangtua juga ingin kembali berkumpul dengan anak-anak perempuan mereka.

MARI MERAYAKAN KELAHIRAN BAYI PEREMPUAN

Pembunuhan secara sengaja dan sistematis berbasis gender di India tentu saja menyisakan penyesalan bagi banyak orangtua. Karenanya tak sedikit puisi ditulis untuk menggambarkan kesedihan dan hancurnya hati para orangtua karena telah membunuh anak mereka sendiri hanya karena lahir sebagai perempuan. Pembunuhan sistematis pada bayi perempuan India mendapatkan perhatian dunia. 

Dalam laporan The Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces yang berjudul "Women in an Insecure World" pada 2005 menyebutkan bahwa bayi perempuan yang menjadi korban genosida berbasis gender mencapai 191 juta, yang jumlahnya hampir mirip dengan korban semua konflik sosial dan peperangan sepanjang abad 20. 

Merespon kengerian ini, pada 2012 sebuah flm dokumenter berjudul "It's a Girl: the Three Deadliest Words in the World" yang mengisahkan pembunuhan sistematis bayi-bayi perempuan di China dan India dirilis. Film ini bukan saja hendak menunjukkan kepada dunia betapa ketidakadilan telah dialami perempuan sejak dalam kandungan, juga pemujaan masyarakat kepada bayi lelaki secara berlebihan menimbulkan dampak sosial yang parah.


Tingginya angka kematian bayi perempuan yang dibunuh oleh keluarganya sendiri belum bisa diselesaikan oleh pemerintah India. Hal ini menginspirasi Raj Khaira, perempuan India yang tinggal di London, Inggris memulai gerakan sosial untuk mempromosikan kegembiraan saat menyambut kelahiran bayi perempuan. Gerakan ini bernama Pink Ladoo. 

Nah, ladoo merupakan sejenis camilan manis khas India yang biasa dibuat masyarakat India untuk menyambut kelahiran bayi lelaki. Ladoo ini berbentuk bulat dengan warna kuning keemasan. Namun, kegembiraan serupa tidak dirayakan untuk bayi perempuan. 

Silakan main ke website gerakan Pink Ladoo di pinklado.org
Silakan main ke website gerakan Pink Ladoo di pinklado.org
Raj Khaira melihat ini sebagai bentuk penindasan awal atas kehadiran anak perempuan, sehingga kampanye yang dilakukannya menggunakan ladoo berwarna pink sebagai representasi warna perempuan.

Raj Khaira dengan gerakan sosial Pink Ladoo hendak menunjukkan bahwa equality rasanya semanis ladoo, yang harus dirayakan pada setiap kelahiran bayi. Dalam gerakan ini, setiap kali satu kotak pink ladoo dipesan oleh sebuah keluarga menjadi semacam justifikasi bahwa kelahiran si bayi perempuan disambut gembira oleh keluarganya. 

Hal ini juga untuk menunjukkan kepada masyarakat India dan dunia bahwa kelahiran bayi perempuan yang disambut gembira keluarganya juga agar diketahui masyarakat di lingkungan keluarga si bayi perempuan.

 "We thought about using normal ladoo. But it felt dishonest. Campaigning for "normal ladoo for all" would have glossed over the fact that it is women who have been systematically targeted and undermined through sexist customs. For us, the Pink Ladoo is the symbol of a protest against sexist customs and norms. Our aim is to open conversations about women's rights in South Asian homes across the world; a normal ladoo doesn't open the conversation as instantly and potently as a Pink Ladoo and wouldn't have the same impact," begitulah statement Raj Khaira mengapa memilih warna pink untuk ladoo saat merayakan kelahiran bayi perempuan dalam gerakan sosialnya.

Warna pink digunakan sebagai simbol untuk menunjukkan bahwa gerakan Pink Ladoo bukan hanya tentang berbahagia menyambut kelahiran bagi perempuan, namun agar rumah-rumah warga di wilayah Asia Selatan mulai memahami bahwa selama ini perempuan dirusak hak-hak hidupnya secara besar-besaran oleh keluarga dan masyarakat tempat ia dilahirkan. 

Warna ladoo yang kuning keemasan yang biasa digunakan untuk menyambut bayi lelaki dianggap tidak bisa membawa pesan apapun atas upaya menyelamatkan hidup bayi perempuan. 

Sehingga dengan warna tertentu, pesan untuk mengakhiri pembunuhan sistematis atas bayi perempuan tersampaikan, tepat pada sasaran: keluarga si bayi perempuan.

Menggunakan warna pink secara spesifik bukankah semakin memperdalam kesenjangan sambutan kelahiran bayi lelaki versus perempuan? Raj Khaira beranggapan bahwa setiap warna memiliki makna berbeda dalam setiap budaya. Dalam masyarakat Barat misalnya, pink identik dengan sifat yang lemah, rapuh dan mudah ditaklukkan. 

Sementara dalam budaya masyarakat Asia Selatan, warna pink dan merah merupakan simbol dari kekuatan, keberanian, keberuntungan dan perayaan; warna ini kerap digunakan masyarakat Asia Selatan baik lelaki maupun perempuan. Warna untuk gerakan Pink Ladoo diadaptasi dari kedua warna yang telah menjadi jiwa masyarakat Asia Selatan, sebagai simbol atas anak perempuan, perempuan dewasa, kemakmuran dan sukacita.

Memasuki tahun kelima gerakan Pink Ladoo telah menoreh sejumlah keberhasilan. Kotak-kotak camilan pink ladoo semakin massif didistribusikan pada keluarga-keluarga di Asia Selatan yang mengumumkan kelahiran bayi perempuan. 

Ribuan kotak pink ladoo juga telah diberikan kepada keluarga yang merayakan kelahiran anak perempuan, di mana toko-toko permen di Inggris, Kanada dan Australia memasukkan pink ladoo ke dalam menu toko mereka dalam upaya memenuhi permintaan yang tinggi sebagai hasil kampanye Pink Ladoo. Gerakan ini telah diliput banyak media mainstream internasional dan memiliki 65.000 pengikut di media sosial. 

Pada 2018, pendiri Pink Ladoo juga berkesempatan bicara dengan pemerintah Kanada dan memberikan masukan terkait upaya menurunkan gap dalam isu gender dalam masyarakat Indo-Kanada di Kanada. Dan tentu saja gerakan ini diakui oleh pemerintah Kanada dan India sebagai sebuah gerakan sosial yang berhasil menciptakan perubahan lintas komunitas dan lintas negara. 

Yup, gerakan sederhana ini telah berhasil menurunkan angka kematian bayi perempuan dalam jumlah ribuan sejak 2015. Sebuah gerakan sederhana, tapi sangat menyentuh hati.

NB: Tulisan ini pertama kali diterbitkan di blog pribadi di www.wijatnikaika.id

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun