Sementara di daratan Eropa pada masa pagan, masyarakat Jerman biasa meninggalkan bayi-bayi mereka di hutan untuk menemui kematiannya, khususnya bayi-bayi yang lahir akibat hubungan diluar pernikahan. Masyarakat Kristen pada 318 M menyatakan bahwa infanticide merupakan tindakan kriminal.Â
Pada 347 M sang Valentinian memerintahkan rakyat harus merawat seluruh anak yang dilahirkan; dan peraturan ini dilanjutkan pada 589 M di mana Dewan Konstantinopel menyatakan bahwa pembunuhan terhadap bayi merupakan pembunuhan dan pada tahun itu Konsili Ketiga Toledo berusaha mengakhiri kebiasan orang-orang Spanyol membunuh anak-anak mereka.
Pembunuhan atas bayi dan anak-anak kecil sangat sulit dihentikan. Pada Abad Pertengahan, orang-orang Irlandia, Galia dan Celtic biasa melakukan pengorbanan dengan membunuh anak-anak malang mereka, dan menumpahkan darah mereka di Crom Cruaich, tempat persembahan dewa Irlandia pra-Kristen. Namun kemudian, praktek ini beralih di mana para orangtua meninggalkan bayi-bayi mereka di pintu gereja, dan inilah yang membuat panti asuhan dibangun untuk pertama kalinya.Â
Sementara pada masyarakat Timur Tengah, pembunuhan bayi laki-laki maupun perempuan dilakukan atas dasar kemiskinan, atau rasa malu para ayah karena memiliki anak perempuan. Sementara di Jepang, pembunuhan atas bayi perempuan disebut "Mabiki" yang bermakna menarik tanaman dari kebun yang penuh sesak, kayak nggak jauh beda dengan teknik memangkas tanaman yang tak diharapkan tubuh dari sebuah kebun.Â
Sementara di Afrika, bayi yang dibunuh biasanya karena dianggap sebagai pembawa hal buruk saat kelahirannya. Misalnya, bayi kembar akan langsung dibunuh, dan bayi yang lahir dengan membuat sang ibu mati akan dikubur hidup-hidup bersama mayat sang ibu.
Pada masa modern seperti sekarang, kita juga bisa mengenalnya sebagai sex-selected abortion berkaitan dengan isu tertentu seperti status sosial sang ibu hingga masalah sosial lain dalam masyarakat patriarki. Praktek ini masih banyak terjadi di China, India dan Pakistan. Female Infanticide di China sudah berlangsung selama 2000 tahun dan baru diketahui oleh misionaris Kristen bernama Mateo Ricci pada abad ke-17.Â
Ricci bahkan sempat mendokumentasikan praktek tersebut di sejumlah wilayah di China yang sebagian besarnya dikaitkan dengan kemiskinan. Pada abad ke-19 pembunuhan pada bayi perempuan makin meluas, sekitar 13 provinsi, dengan cara ditenggelamkan, dibuat sesak nafas hingga dibuat kelaparan. Cara yang lebih ekstrem misalnya, menaruh bayi perempuan dalam sebuah keranjang yang kemudian di taruh di atas pohon.Â
Pada masa itu, keluarga miskin memilih membunuh bayi perempuan mereka karena sadar bahwa membesarkan anak perempuan membutuhkan biaya jauh lebih besar dari anak lelaki. Terlebih jika anak tersebut akan menikah, harus membayar mas kawin yang sangat mahal dan hal tersebut sangat membebankan bagi keluarga.
Yup, mas kawin dalam masyarakat India diberikan oleh pengantin perempuan kepada pengantin lelaki dan tentu saja sangat mahal. Kondisi inilah yang membuat banyak orangtua memilih menghilangkan nyawa bayi perempuan mereka daripada menanggung beban menggunung saat anak perempuan mereka hendak menikah.Â
Pada tahun 1789 misalnya, pembunuhan pada bayi perempuan di Uttar Pradesh merupakan sesuatu yang biasa bagi masyarakat. Penjajah Inggris bahkan menerima surat dari hakim setempat yang menyatakan bahwa selama ratusan tahun tidak ada anak perempuan dibiarkan hidup di benteng Rajahs of Mynpoorie, wilayah Barat Laut India.