Sebuah artikel di situs WHO bahkan menjelaskan bahwa kekerasan seksual memiliki dampak hebat terhadap kesehatan reproduksi, kesehatan mental, perubahan perilaku hingga dampak fatal seperti komplikasi kehamilan, bunuh diri, aborsi, HIV/AIDS, pembunuhan oleh keluarga (honor killing) hingga bullying pada anak yang lahir sebagai hasil pemerkosaan.
MEDIA DAN PARA JURNALIS TURUT MELANGGENGKAN KEKERASAN SEKSUAL
Selama ini kita mendapat informasi mengenai kasus kekerasan seksual dari media massa, baik cetak maupun online. Nyaris setiap hari ada saja berita tentang kasus kekerasan seksual di pelosok negeri. Bahkan, kini beritanya gampang sekali tersebar di media sosial. Bagus sih, sebab jadinya mudah sekali kita mengakses informasi dan tahu apa yang terjadi di negeri ini terkait isu kekerasan seksual yang sebelumnya mungkin biasa dianggap kabar burung belaka.Â
Namun demikian, banyak sekali pemberitaan kasus kekerasan seksual di media massa yang justru melanggengkan budaya memerkosa alias rape culture. Bahkan, tak jarang judul tulisan dalam kasus pemerkosaan cenderung memberatkan, merendahkan dan menyalahkan korban: khas patriarki, di mana korban sudah jatuh ditimpa tangga (menyalahkan korban sebagai pelaku).
Banyak sekali jurnalis yang menuliskan judul berita dengan merendahkan korban atau bahkan mengolok-olok, sebagaimana gambar diatas (sebagai contoh). Misalnya, ada kasus perempuan sedang menstruasi diperkosa 4 lelaki secara bergiliran alias gang rape, tapi media menyebut pemerkosaan sebagai 'mengobok-obok' (sinting nggak sih ini?).Â
Ada seorang siswa SMA yang sudah menolak berhubungan seksual dengan pacarnya, tapi kemudian diperkosa, eh beritanya malah disebut 'ditusuk' seakan-akan pemerkosaan dalam pacaran merupakan seks suka sama suka. Atau sebuah berita tentang sebuah tindakan kekerasan seksual yang berhasil digagalkan oleh korban, namun pemberitaan justru seakan-akan pemerkosaan gagal karena kelemahan si pelaku.Â
Atau kasus seorang lelaki tua yang memerkosa remaja demi pesugihan, malah disebut 'disetubuhi' atau seorang istri pejabat yang menyalahkan vagian para perempuan (berstatus istri) sebagai penyebab para suami mereka menjadi gay (homoseksual). Ini kelewat sinting! Mengapa media massa ikutan sinting kayak predator seks?
Sejak kapan media massa dan para jurnalisnya berhak menyatakan bahwa kekerasan seksual sama dengan aktivitas seksual suka sama suka (berbasis consent)? Sejak kapan media dan para jurnalisnya berhak melepaskan etika jurnalisme dengan mudahnya dalam meliput kasus kekerasan seksual? Apakah karena korbannya perempuan makanya media dan para jurnalisnya bisa seenaknya menganggap kekerasan seksual sebagai olok-olok dan bahan tertawaan?
LALU, PERAN PEMERINTAH SAMPAI DI MANA?
Terkait peran pemerintah, kita tahu sama tahu bahwa sampai saat ini pemerintah 'lelet' alias 'lamban' alias 'nggak memprioritaskan' terciptanya produk hukum atau kebijakan yang adil dalam kasus kekerasan seksual. Jika selama ini pemerintah Indonesia mampu melindungi warganya melalui berbagai kebijakan yang adil, tentulah angka kekerasan seksual di Indonesia nggak akan naik setiap tahun, bahkan kasus-kasus yang terjadi semakin mengerikan (hampir di luar nalar).Â
Mungkin, pemerintah beranggapan bahwa urusan ini nggak prioritas bagi pembangunan mental, ekonomi dan sosial bangsa karena nggak masuk dalam hitungan GDP dll. Namun, pemerintah lupa bahwa sebuah bangsa yang besar, maju dan bermartabat harus terlebih dahulu mengutamakan kualitas sumber daya manusia (SDM), termasuk memberikan perlindungan kepada seluruh warga untuk mendapat rasa aman dari kekerasan seksual.Â
Bagaimana bangsa kita mau maju kalau sebagian warga yang powerful sibuk melakukan kekerasan seksual dimana-mana sampai korbannya ratusan orang, sementara sebagian warga yang lemah selalu ketakutan dan sibuk berhitung agar tidak jadi korban kekerasan seksual.