Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melawan Patriarki Bukan Memerangi Lelaki, Lalu Apa?

28 September 2020   06:00 Diperbarui: 28 September 2020   06:33 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Throughout history, women have been publicly shamed for any number of reasons, from adultery, witchcraft, smiling, walking, existing." -Sreemoyee Mukherjee-

Patriarki. Sering kan kita mendengar kata ini? Apa yang terlintas di pikiran saat mendengar kata 'patriarki' ini? Mengapa banyak orang merasa bahwa 'patriarki' harus dilawan? Mengapa banyak juga orang yang beranggapan bahwa 'patriarki' sebaiknya dilanggengkan dan nggak perlu dilawan?

Mengapa kata 'patriarki' sering disangkut pautkan dengan pemikiran 'feminis' dan 'liberal' yang 'katanya' merupakan produk negara-negara barat? Jika merupakan produk negara barat, negara mana? Apakah negara-negara di Eropa atau Amerika?

Benarkah melawan 'patriarki' sama dengan memusuhi lelaki?

PATRIARKI ITU APA SIH? 

Patriarki (patriarchy) berasal dari kata Yunani yaitu (patriarkhs), gabungan dari kata 'patria' alias 'garis keturunan, keturunan' dari 'pater' atau ayah dan (arkhy) alias 'dominasi, otoritas, kedaulatan.'

Secara harfiah patriarki bernama 'dominasi ayah atau aturan ayah' atau 'ayah yang memimpin suatu ras' sebab selama berabad-abad, kepemimpinan dan kekuasaan memang dipegang lelaki, baik sebagai kepala keluarga, pimpinan komunitas maupun kepala negara.

Sehingga secara historis, patriarki ini merujuk pada kepemimpinan otokratis yang dipimpin oleh lelaki/ayah.

Dalam dunia modern yang dimulai sejak akhir abad ke-20, patriarki digunakan untuk merujuk sistem sosial di mana lelaki memegang/mengendalikan kekuasaan utama dan mendominasi peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak istimewa dalam kehidupan sosial dan kontrol atas properti (termasuk kepemilikan properti seperti tanah, rumah, dan kekayaan dalam bentuk lain).

Dalam masyarakat dengan sistem patriarki ini juga menggunakan prinsip patrilineal, di mana properti dan gelar dibelakang nama anak-anak menggunakan garis keturunan lelaki alias ayah. Ini menunjukkan bahwa segala sesuatu baik keturunan maupun harta benda merupakan milik dan atas nama lelaki.

Patriarki bukan kodrat alias bawaan lahir, melainkan sistem yang dibangun serta dikembangkan oleh manusia. Patriarki adalah sistem dalam dunia sosial, bukan biologis.

Sistem patriarki ini memusatkan pada perbedaan kekuasaan, peran, kepemilikan dan pengambilan keputusan antara lelaki dan perempuan. Meski sistem ini memiliki perbedaan di masing-masing budaya, namun pada masyarakat modern, sistem ini juga termuat dalam undang-undang dasar hukum negara sehingga nyaris semua negara di dunia adalah patriarkal.

Sederhananya: dunia dan segala isinya ada dalam kekuasaan lelaki, dan segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi juga ditentukan oleh keputusan lelaki. Silakan cek sendiri, sebagian besar pemimpin dunia dari level negara hingga RT hampir semuanya lelaki, sehingga dunia dilihat, direncanakan dan dikendalikan berdasar sudut pandang lelaki.

PATRIARKI DARI MASA KE MASA
Karena patriarki bukan kodrat bawaan lahir (biologis), melainkan sistem sosial yang dibangun seiring perkembangan peradaban masyarakat manusia. Maka kita perlu juga melongok bukti sejarah mengenai sejak kapan patriarki tumbuh, berkembang, menguat, menjadi hukum dan kebiasaan seperti sekarang.

Pembahasan ini mengacu kepada empat masa, yaitu: prasejarah, sejarah klasik, pasca klasik dan peradaban modern.

Masa prasejarah: bukti-bukti psikologis-antropologis, arkeologis dan evolusioner menunjukkan bahwa masyarakat zaman prasejarah cenderung egaliter. Patriarki baru berkembang di penghujung era Pleistosen, mengikuti perkembangan pertanian dan domestikasi. Beberapa pakar menyebutkan bahwa, patriarki baru muncul 4000 tahun Sebelum Masehi ketika konsep ayah berakar dalam keluarga dan masyarakat.

Namun, disebutkan juga bahwa patriarki muncul 3100 tahun SM di Timur Dekat Kuno yang ditandai oleh dominasi lelaki atas perempuan, termasuk didalamnya dominasi atas pembatasan reproduksi. Sejumlah Arkeolog menyatakan bahwa pelembagaan patriarki dimulai adanya kolonisasi di stepa Ukraina pada awal Eropa Lama di Aegean, Balkan dan Italia yang kemudian berkembang menuju pelembagaan patriarki di masyarakat Barat.

Pelembagaan patriarki juga disebabkan oleh munculnya politik hirarki dalam sistem sosial, kekerasan yang dilembagakan dan ego individual.

Masa sejarah klasik: di Yunani kuno ada pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan. Seorang filsuf, Aristoteles saja berpikir dalam kerangka patriarki. Menurutnya, seorang lelaki bijaksana itu yang mampu memimpin kaumnya dan mengurus kotanya, sementara perempuan bijak itu yang mampu mengurus rumah, menjaga keluarga dan mentaati suaminya.

Begini tulisnya: "First of all, if you take the virtue of a man, it is easily stated that a man's virtue is this---that he be competent to manage the affairs of his city, and to manage them so as to benefit his friends and harm his enemies, and to take care to avoid suffering harm himself. Or take a woman's virtue: there is no difficulty in describing it as the duty of ordering the house well, looking after the property indoors, and obeying her husband." (Meno, Plato in Twelve Volumes)

Karya-karya Aristoteles menggambarkan perempuan secara moral, intelektual, dan fisik lebih rendah daripada laki-laki; melihat wanita sebagai milik pria; mengklaim bahwa peran perempuan dalam masyarakat adalah untuk mereproduksi dan melayani laki-laki dalam rumah tangga; dan melihat dominasi pria atas wanita sebagai hal yang alami dan bajik.

Sehingga, pada akhirnya kita memahami bahwa sejak lama memang lelaki diberikan peran mengurus masyarakat yang kompleks, sementara perempuan diberikan peran mengurus keluarga saja. Gerda Lerner, penulis The Creation of Patriarchy, menyatakan bahwa Aristoteles percaya bahwa wanita memiliki darah yang lebih dingin daripada pria, yang membuat wanita tidak berevolusi menjadi pria, jenis kelamin yang diyakini Aristoteles sempurna dan superior.

Pengaruh Aristoteles semakin menguat, kemudian meluas dan menyebar berkat Aleksander Agung melalui berbagai penaklukan.

Pada periode yang sama di Tiongkok, peran gender dan pelembagaan patriarki dipengaruhi dan dibentuk oleh Konfusianisme. Sebagai agama resmi Dinasti Han, ajaran ini memiliki aturan ketat terhadap perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat. Perempuan harus patuh dan setia kepada ayahnya sebelum menikah, kepada suaminya setelah menikah, dan kepada anak lelakinya apabila telah menjadi janda.

Bahkan segala hal tentang cara bicara, berperilaku, berpikir, urusan seksual, hingga urusan sosial perempuan diatur sedemikian rupa. Keutamaan perempuan ditentukan oleh kesetiaan dan kepatuhannya kepada lelaki, dan mengabaikan bahkan nggak perlu menyibukkan diri untuk pengembangan kecerdasan dan bakat. Paham ini diwariskan dari generasi ke generasi dan dipraktekkan secara luas selama berabad-abad.

Masa pasca klasik: di Tiongkok pada era Dinasti Ming ada sebuah ajaran di mana perempuan yang belum menikah haruslah suci sampai ia menikah. Sementera perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak boleh menikah lagi sehingga sisa hidupnya mengabdi di keluarga mendiang suaminya. Pada saat yang sama di Jepang, keadaan lebih egaliter sebab memang ajaran Shinto memuja Dewi Amaterasu.

Namun, saat paham Konstantin berkembang di Barat, maka Kaisar Jepang mengubah cara beribadah di mana ibadah didominasi untuk memuja dewa lelaki sehingga terjadi tekanan terhadap kekuatan perempuan. Dimulailah era revolusi patriarki masyarakat Jepang.

Masa modern: menjelang 1653, seorang filsuf Inggris bernama Robert Filmer menyelesaikan sebuah buku berjudul 'Patriarcha' atau 'The Natural Power of Kings' yang didalamnya memuat pernyataan bahwa ia membela hak ilahi para raja yang mewarisi gelar dari Adam, manusia pertama dari spesies Homo Sapiens (manusia) yang dia ambil dari tradisi Yahudi-Kristen.

Namun, pada pertengahan abad ke 18, patriarki mendapat sentimen sebab muncul pemahaman bahwa kelahiran manusia ke dunia tersebab kerjasama ayah dan ibu, sehingga keduanya memiliki derajat yang sama dalam masyarakat. Pada awal abad ke 19, kritik atas patriarki mulai muncul.

Teks sejarah yang menceritakan dunia perempuan mulai dibedah dan terdapat usul penerjemahan alternatif, sebab teks sejarah bercerita tentang suatu masyarakat pada suatu masa, yang tidak berlaku universal. Sementara itu, Dinasti Qing sebagai monarki terakhir di Tiongkok masih berpegangan pada Konfusianisme.

Paham ini bahkan kembali dikembangkan oleh Republik Rakyat China yang dikendalikan Partai Komunis China, di mana terdapat aturan moral khusus untuk lelaki. Misalnya, adanya kebijakan yang mengizinkan pembunuhan pada bayi perempuan (female infanticide) dan praktek serupa sangat terlarang bagi bayi lelaki.

Pembahasan tentang patriarki juga bisa dilihat dari berbagai teori, seperti teori feminis, biologi, sosial dan psikoanalitik. Kalau mau baca lebih jelas bisa main ke-SINI. Sementara model-model patriarki bisa mengacu pada gambaran besar nilai-nilai yang dianut warga dunia hingga saat ini yaitu: Biblical (Yahudi-Kristen), patriarki Tiongkok, pater familia (keluarga Romawi) dan perempuan dalam Islam.

Jika kita bersedia meluangkan waktu membaca bagaimana patriarki tumbuh, berkembang, dan dilembagakan oleh negara, aku yakin bahwa kita akan mudah memahami persoalan sosial yang terjadi saat ini. Sebab, seluruh nilai, kebiasaan, adat, budaya, bahkan kepercayaan yang kita gunakan saat ini merupakan warisan pendahulu kita, termasuk segala sesuatu dalam sistem patriarki yang mungkin eksis di keluarga kita masing-masing.

MENGAPA REPOT-REPOT MELAWAN PATRIARKI?
Kukira, di era digital seperti sekarang mudah sekali menemukan ajakan untuk melawan patriarki. Juga respon sinis dari sejumlah pihak yang menganggap melawan patriarki sama saja dengan memusuhi lelaki. Informasi dalam bentuk kalimat pendek, meme, status di timeline Facebook, Twitter dan Instagram tentang patriarki bisa jadi bikin kita bingung.

Terutama, kalau kita MALAS mencari bahan bacaan untuk menyelamatkan kita dari kebingungan akibat informasi yang tidak lengkap. Bahkan, seringkali ada anggapan bahwa melawan patriarki sama dengan melawan supremasi Tuhan yang memang menciptakan lelaki dan perempuan sebagai dua jenis yang berbeda.

Banyak pihak yang masih belum bersedia dan belum mampu membedakan apa kodrat (biologis) dan peran dalam masyarakat. Kesalahpahaman ini harus diluruskan, agar kita secara terbuka mengerti apa tujuan baik melawan patriarki bagi masyarakat manusia.

Dalam memahami bagaimana patriarki telah mendarah daging dalam kehidupan kita bisa dilihat melalui sejumlah hal. Misalnya, saat lelaki disunat/khitan sebagai tanda menuju dewasa, maka dibuat perayaan untuknya.

Sementara saat perempuan mengalami haid pertamanya, tak ada perayaan sebagai penanda menuju kedewasaan. Patriarki juga tergambar jelas jika sebuah keluarga bergembira atas kelahiran bayi lelaki, tetapi sedih hingga merasa sial saat yang lahir adalah bayi perempuan. Bahkan, dalam konteks ekonomi banyak keluarga menjadikan anak perempuan sebagai beban sehingga si orangtua terburu-buru menikahkan anak perempuannya saat masih berusia dibawah sepuluh tahun atau belasan tahun.

Maraknya kasus perkawinan usia anak (terlebih anak perempuan) merupakan pertanda bahwa masyarakat kita adalah patriarki dan menganggap merawat anak perempuan sebagai beban, sehingga si anak harus secepat mungkin diserahkan kepada lelaki yang menjadi suaminya agar lepas beban ekonomi di keluarga perempuan.

Contoh patriarki yang paling kontroversial adalah terkait pelacuran alias bisnis lendir. Diakui atau nggak, seluruh mata masyarakat akan menghina dan menelanjangi perempuan yang melacur, namun tak menghina atau menelanjangi lelaki yang membeli jasa seksual sang pelacur.

Masyarakat akan menyalahkan korban pemerkosaan, tapi biasa saja pada pelaku pemerkosaan. Masyarakat akan menghabisi perempuan yang jadi selingkuhan, tapi bersikap biasa saja pada lelaki beristri yang punya banyak selingkuhan.

Bahkan, dalam konteks kehidupan bernegara semua bertepuk tangan jika lelaki naik jadi pemimpin, sementara itu pandangan curiga akan mengemuka jika seorang perempuan menjadi pemimpin. Patriarki selalu menginginkan perempuan ada dibawah kekuasaan lelaki dalam bentuk apapun, entah urusan tubuhnya, seksualnya, kecerdasannya, harta bendanya, hingga hidup dan matinya.

Bahkan, ketika agama Islam melakukan revolusi sosial dengan mengatakan bahwa surga ada dibawah telapak kaki ibu sebagai unjuk kemuliaan seorang perempuan diatas lelaki, tetap saja perempuan diharuskan patuh kepada ayah dan suaminya, dan terlarang bagi perempuan menyeret ayah atau suaminya ke neraka.

Dalam patriarki, perempuan selalu dipaksa bodoh, salah, kalah dan rendah.

Melawan patriarki bukan melawan lelaki. Bukan juga melawan kodrat penciptaan. Coba perhatikan bayi yang baru lahir, apakah tertulis di keningnya bahwa dia harus menjadi apa dan melakukan apa hanya karena si bayi itu lelaki atau perempuan?

Dalam kitab suci agama pun tidak dijelaskan bahwa perempuan harus 'menghamba' kepada lelaki tanpa bertanya, berdebat, berdiskusi, dan bekerjasama. Bahkan dalam agama Islam, Allah sang Pencipta menyebutkan bahwa perempuan dan lelaki memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai ciptaanNya, baik dalam beribadah maupun berkehidupan sosial.

Perempuan dan lelaki yang mengerjakan amal saleh sama-sama berhak masuk surga, dan sebaliknya yang mengerjakan kejahatan dan larangan sama-sama diancam masuk neraka. Jika misal kita percaya rambut perempuan bisa menyeret lelaki ke neraka, lantas mengapa Allah menciptakan rambut di kepala? Kita berhak bertanya, mengapa surga dan nerakanya lelaki bahkan ditentukan oleh tutur kata, cara berpakaian, dan perbuatan seorang perempuan.

Patriarki telah berlangsung berabad-abad dna itu kreasi manusia, yang tentu saja paling dinikmati oleh lelaki. Dalam patriarki, para raja dan kaisar bisa punya satu hingga puluhan ribu istri, sementara perempuan hanya boleh punya satu suami.

Dalam patriarki juga, para raja berhak meniduri perempuan manapun yang dia inginkan, sebab menurutnya raja adalah gelar pemberian Tuhan; sementara perempuan dilarang berhubungan seksual kecuali dengan suaminya seorang seumur hidupnya. Dalam patriarki, lelaki boleh memiliki kekayaan sebanyak apapun yang dia inginkan, sementara perempuan hanya boleh memiliki harta pemberian lelaki.

Dalam patriarki, lelaki boleh bepergian kemanapun di dunia ini dan mengerjakan apapun yang dia inginkan; sementara perempuan selalu dibatasi dengan alasan keselamatan. Dalam patriarki, lelaki boleh melakukan apapun, perempuan tidak. Dalam banyak masyarakat, nilai-nilai patriarki ada dalam adat istiadat.

Melawan patriarki adalah tentang kembali kepada hakikat penciptaan manusia. Ya, sepasang manusia yang bekerja sama untuk tumbuh dan berkembang, beranak-pinak, mengelola harta benda dan segala yang ada dalam jangkauan keduanya untuk dinikmati bersama.

Melawan patriarki adalah menerima perintah Tuhan tentang kesamaan kedudukan derajat lelaki dan perempuan di hadapanNya. Jika di hadapanNya saja kedudukan lelaki dan perempuan adalah setara, lantas mengapa dalam kehidupan sosial kita memposisikan lelaki lebih tinggi dan perempuan lebih rendah? Mari berpikir dan bertanya.

Melawan patriarki bukan melawan lelaki. Justru patriarki sendiri merupakan sistem yang memaksa lelaki untuk menjadi sempurna dan ideal sebagaimana gambaran para raja yang memiliki segalanya. Ayo kita lihat, apakah lelaki-lelaki di sekitar kita semuanya memiliki kualitas seorang raja mulai dari perawakan, kecerdasan, kekayaan, hingga kekuasaan?

Patriarki juga kejam terhadap lelaki. Dalam patriarki, lelaki dituntut kaya raya, bertubuh kekar, memiliki segalanya sebagai bukti bahwa dia pejantan tangguh di mata kaum lelaki dan perempuan. Lalu, bagaimana dengan lelaki mandul yang tak bisa memiliki keturunan? Bagaimana dengan lelaki dengan disabilitas? Bagaimana dengan lelaki yang sekeras dan secerdas apapun dia bekerja tidak pernah kaya raya?

Bagaimana dengan lelaki yang tidak memiliki kehendak melakukan hubungan seksual? Bagaimana dengan lelaki yang memilih hidup selibat dan mengabdikan dirinya untuk Tuhan? Bagaimana dengan lelaki yang kecerdasannya ada dibawah kecerdasan perempuan? Bagaimana dengan lelaki yang segala hal dalam dirinya ada di bawah perempuan?

Bukankah kita nggak bisa memaksa mereka untuk menjadi lelaki 'sempurna' sebagai klaim sistem patriarki bahwa kekuasaan dan kepemimpinan lelaki merupakan warisan Adam sebagai manusia pertama?

Melawan patriarki adalah melawan sistem jahat yang telah mendarah daging dan mengakar kuat dalam kehidupan manusia. Patriarki bukan firman Tuhan, sehingga ia sangat boleh dilawan dan dihancurkan demi kebaikan lelaki dan perempuan.

Tidak ada kitab yang menjelaskan bahwa hidup haruslah patriarki. Melawan patriarki seperti meruntuhkan tembok tebal yang merusak keharmonisan dunia lelaki dan perempuan.

Tiada patriarki, maka runtuh pula permusuhan mendarah daging lelaki dan perempuan, dan hidup harmonis akan menjadi milik masyarakat manusia.

NB: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog pribadi: www. wijatnikaika.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun