Nah, budaya memerkosa dalam masyarakat kita levelnya udah separah itu. Lama-lama memerkosa dianggap biasa dan bukan dosa. Bahkan lembaga pendidikan Islam semacam pesantren pun nggak aman dari pemerkosa. Serem nggak tuh pemerkosa berkedok ustadz atau guru ngaji atau ulama? Atau kalau di lembaga agama lain tuh ada juga pendeta yang memerkosa murid-murid sekolah Minggu.
RAPE CULTURE ALIAS BUDAYA MEMERKOSA
Kembali ke budaya memerkosa: bahwa ini nyata adanya dan setiap kita kemungkinan besar adalah pelaku sekaligus korban. Bahkan saat di kepala kita terlintas pikiran untuk menghukum seorang perempuan dengan memerkosanya, maka kita sudah menjadi pelanggeng budaya memerkosa di dalam diri kita sendiri.
Atau saat mengomentari pakaian perempuan seolah mengundang memerkosanya, maka kita telah melanggengkan budaya memerkosa. Jadi, ingat-ingat saja dan jujur pada diri sendiri apakah termasuk yang melanggengkan budaya memerkosa atau bukan. Kalau bukan ya alhamdulillah.
Jika kita berdiam diri atau menggampangkan atau menganggap kekerasan seksual yang dialami orang lain tidak menjadi masalah bagi diri kita, maka kita telah menjadi bagian yang menghidupkan budaya pemerkosaan (rape culture).
Nah, candaan soal kekerasan seksual seperti pemerkosaan dalam pembuka artikel ini merupakan bentuk paling ringan dari piramida rape culture. Nah, jika candaan soal pemerkosaan dianggap sebagai hal biasa, maka kita akan kena tulah peribahasa 'ala bisa karena biasa' dimana kita akan menganggap hal tersebut bukan sebagai ancaman.
Sehingga, semua pihak memang harus bersama-sama bertanggung jawab mulai dari pencegahan, advokasi terhadap korban hingga mengawal hukuman bagi pelaku. Mengapa kita semua harus bertanggung jawab meski saat ini hidup di zona nyaman?
Karena kita semua berkemungkinan menjadi korban dan pelaku kekerasan seksual. Sehingga, memerangi kekerasan seksual adalah kewajiban sebagaimana memerangi pembunuhan.
Setiap orang berhak atas rasa aman dari kejahatan dalam bentuk apapun, termasuk kekerasan seksual. Oleh karena itu, negara wajib memberikan perlindungan hukum. Selama ini, kebijakan terkait kasus kekerasan seksual masih sangat lemah dan seringkali menjadikan korban sebagai tersangka, hingga membebaskan pelaku karena lemahnya alat bukti.
Alat ukurnya sederhana saja, yaitu meningkatnya kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun. Korban kekerasan seksual adalah pihak yang lemah sehingga harus mendapatkan perlindungan hukum yang adil dari negara, dan pelaku harus diganjar sesuai perbuatannya. Setiap warga negara berhak atas rasa aman.