Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dongeng Pernikahan yang Menjebak Perempuan Memasuki Lingkaran Setan Kemiskinan Kronis

21 Desember 2019   07:54 Diperbarui: 23 Desember 2019   09:21 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upaya pencegahan pernikahan anak melalui Peraturan Desa. Sumber: jaring.id


"Early marriage is the most prevalent in communities suffering deep, chronic poverty. " -Helena D. Gayle-

Menikah adalah mimpi yang dibangun nyaris setiap manusia di bumi ini. Sejak kecil anak-anak mendapat doa dan harapan keluarga besar agar saat dewasa mendapatkan cinta sejati, jodoh yang baik dan pernikahan yang indah. Dengan menikah dan membangun keluarga, manusia berkembang biak dalam perlindungan hukum agama, masyarakat dan negara; dan menikah masih dipercaya sebagai cita-cita ideal dalam meraih kebahagiaan sempurna dalam kehidupan. 

Banyak orang percaya bahwa dengan menikah dan memiliki pasangan manusia tidak akan pernah kesepian, memiliki seseorang yang bisa diandalkan, memiliki tempat bersandar sekaligus berlindung dan masa tua tidak akan dijalani dengan menyakitkan. Menikah dan memiliki keturunan juga dianggap sebagai investasi jangka panjang hingga ke kehidupan setelah kematian.

Dalam membangun mimpi indah menikah, setiap orang diajarkan untuk menginginkan kekasih yang tampan/cantik, baik hati, penyayang, tidak mandul, taat beragama, berkarakter mulia, menyayangi keluarga, berasal dari keluarga baik-baik, memiliki pekerjaan keren dengan penghasilan tinggi, saat menikah bisa membangun rumah mewah lengkap dengan kendaraan mahal, memiliki anak-anak imut nan menggemaskan, lalu menjalani kehidupan dengan bahagia hingga maut memisahkan. 

Oh, ideal sekali semua orang akan ngiler dengan manisnya pernikahan demikian layaknya ngiler melihat es krim.

Tapi, berapa persen manusia di bumi yang mampu menggenapi mimpi manis pernikahan semacam itu? Aku tidak percaya jika pernikahan zaman sekarang lebih hancur dari pernikahan zaman dulu, atau sebaliknya. Karena kupikir apa yang terjadi dalam masyarakat sekarang merupakan warisan manusia-manusia yang telah hidup sebelumnya. 

Misalnya: bagaimana memilih calon pasangan, penyelenggaraan pernikahan hingga bagaimana rumah tangga dijalankan tidak serta merta terjadi sebagaimana yang kita saksikan sekarang, melainkan hasil dari proses panjang dalam peradaban manusia. Sehingga konsep pernikahan ala orang Jepang berbeda dengan India, orang Afrika selatan beda dengan orang Mongolia, orang Bugis beda dengan orang Minang, dan perbedaan unik ini terhampar nyata di seluruh dunia.

Sebagai jomblo yang memiliki rencana menikah, aku terus menerus mempelajari banyak hal seputar apa sih pentingnya menikah bagi diriku dan masa depanku. Terlebih karena aku anak dari pasangan yang gagal mempertahankan pernikahannya, aku menjadi sangat hati-hati menjalin hubungan cinta dengan lelaki. 

Aku tidak ingin menikah dengan terpaksa, dipaksa atau melakukan kesalahan menikah dengan sosok yang salah. Kata orang-orang, kecerobohan dalam memilih pasangan bisa berakibat fatal bagi pernikahan. Bahkan bisa menyebabkan luka batin seumur hidup.

"Umur udah segitu, apalagi yang dicari? Udah nikah aja," begitu seloroh sejumlah orang terhadap kondisiku yang masih single yang dianggap terlambat memasuki pernikahan. 

Seakan-akan aku perempuan yang 'tidak laku' alias 'leftover' yang akan semakin sulit mencari pasangan. Karena manusia di bumi masih menganggap usia ideal menikah bagi perempuan dibawah 30 tahun dan setelahnya adalah masa-masa kritis yang harus ditangani dengan bantuan pakar percintaan.

"Aku hanya akan menikah dengan lelaki yang tidak berniat menjadikan aku babu dalam pernikahan kami. Jika tidak ada lelaki yang sanggup menyayangiku dengan tingkat penghormatan yang setara dia menghormati ibunya, mungkin aku tidak akan menikah," jawabku ringan. Aku memang cukup sering ditertawakan karena memegang teguh konsep demikian seakan-akan sudah tidak waras. 

Justru, aku berinvetasi pada diriku sendiri sejak lama agar tidak terjebak dalam pernikahan yang menjadikan aku babu bagi lelaki yang menjadi suamiku. Lagipula, dari miliaran lelaki di bumi, aku hanya akan menikahi seorang saja. Rasanya sah-sah saja jika aku punya mimpi berbeda dan unik untuk pernikahanku kelak.

Sejak lama aku menolak pandangan bahwa nilai seorang perempuan diukur melalui pencapaian berupa pernikahan. Bagiku, menikah adalah fase hidup dari sendiri menjadi bersama pasangan, kemudian memiliki tanggung jawab baru yaitu menghidupi anak-anak yang dilahirkan. Sehingga menikah tidak pernah menjadi mimpi tertinggi dari perjalanan hidupku. 

Sebab, jika kelak aku menikah aku akan melakukan banyak hal demi karirku dalam dunia menulis, seni, pemberdayaan masyarakat dan mungkin bidang lain yang justru baru akan kurambah setelah menikah. Maka, aku nggak boleh ceroboh memilih pasangan karena aku membutuhkan seseorang yang mau menggenggam tanganku untuk menggenapi mimpi-mimpiku, dan bukan menjalani hidup dengan mengekor mimpi-mimpi lelaki yang menjadi suamiku kelak.

PEREMPUAN MUDA: TIDAK SEKOLAH, MENIKAH DINI LALU BERCERAI

Beberapa tahun belakangan ini kencang sekali anjuran menikah dini bagi manusia Indonesia, dengan alasan menghindari zina. Menurutku, itu sebuah alasan yang mengada-ada. Karena cara paling tepat menghindari zina ya tidak berzina, sebagaimana cara paling tepat tidak mencuri ya tidak mencuri. Bagaimana mungkin menikah dini (bahkan remaja) dianggap obat mujarab menghindari zina sementara pernikahan itu tidak 24 jam melulu urusan seksual, melainkan lebih banyak urusan ekonomi. 

Jika pernikahan dini dianggap ideal menghindari zina, apakah juga sanggup membebaskan pasangan muda dari kemiskinan, kekurangan gizi bagi bayi yang dilahirkan dan kemungkinan bercerai?

Data dari UNICEF menyebutkan bahwa 25% anak Indonesia menikah dini dibawah usia 18 tahun. Bahkan, jika dibandingkan dengan total pernikahan yang terjadi di Indonesia, sebanyak 45% atau 2.5 juta pernikahan per tahun, mempelai perempuan masih berusia 15-19 tahun. Hasil riset menunjukkan bahwa pernikahan anak perempuan antara 15-19 tahun dipengaruhi faktor kemiskinan, adat dan budaya lokal, serta rendahnya akses pada pendidikan. Para orangtua memberi iming-iming bahwa pernikahan akan lekat dengan cinta, romansa, rasa aman dan perlindungan finansial. 

Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pernikahan ini merenggut banyak hak dalam hidup di anak seperti hak atas pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan seksual, hak atas kesehatan, dan hak untuk dilindungi dari eksploitasi serta dipisahkan paksa dari orangtua. Terlebih lagi, pernikahan dini berkontribusi pada tingginya angka bayi stunting yang dalam jangka panjang berakibat fatal pada kualitas sumber daya manusia dan perekonomian nasional Indonesia.

Pernikahan dini yang berdampak ganda bagi tercerabutnya hak anak. Sumber: snf-febui.com
Pernikahan dini yang berdampak ganda bagi tercerabutnya hak anak. Sumber: snf-febui.com
Iming-iming kebahagiaan pernikahan dini jauh panggang dari api. Pasangan muda 'disandera' oleh imajinasi tentang indahnya hari pernikahan, dan cenderung nggak berpikir tentang kehidupan dalam pernikahan. Mereka cenderung pasangan yang membangun rumah tangga tanpa perencanaan alias relationship goals, tapi mengikuti saran orang-orang dewasa yang kehidupan pernikahannya juga tidak bahagia. Banyak pernikahan dini juga melanggar UU Perkawinan tahun 1974 yang membatasi usia nikah minimal perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. 

Data dari BPS pada 2008-2015 menunjukkan bahwa 1 dari 4 anak di Indonesia menjalani pernikahan dibawah umur kurang dari 18 tahun. Pernikahan dini menyebabkan kehamilan pada saat tubuh perempuan belum siap sehingga rentan mengalami freeklamsia (hipertensi dalam kehamilan), eklamsia (kejang dalam kehamilan), pendarahan pasca persalinan, persalinan macet dan keguguran. Bahkan tak sedikit kehamilan pada perempuan muda berdampak signifikan pada kematian ibu saat melahirkan.

Data bahkan menunjukkan bahwa pernikahan dini berkorelasi pada tingginya angka perceraian. Sepanjang tahun 2013-2015, angka perceraian terus meningkat dan didominasi perempuan berusia 20-24 tahun yang pernah menikah dibawah usia 18 tahun. Sialnya, para perempuan ini tidak lagi bersekolah sehingga semakin memperparah akses pada pekerjaan dengan upah tinggi. 

Sayangnya, meski data akibat pernikahan dini begitu menyedihkan pada 2017 persentase pernikahan dini menjadi meningkat 22,91% dari sebelumnya 22,35%. Angka yang bikin frustasi ini membuat banyak pihak semakin giat mendorong perubahan usia pernikahan dalam UU Perkawinan menjadi 19 tahun.

Upaya pencegahan pernikahan anak melalui Peraturan Desa. Sumber: jaring.id
Upaya pencegahan pernikahan anak melalui Peraturan Desa. Sumber: jaring.id
Upaya lain banyak dilakukan, termasuk mengusahakan Peraturan Desa (Perdes) Pencegahan Pernikahan Anak seperti yang dilakukan di Desa Mallari, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Kebijakan perlindungan pada anak-anak ini diikuti oleh Desa Bialo, Kabupaten Bulukumba. Perdes tersebut dibuat untuk melawan praktek pernikahan anak, karena di lapangan banyak terjadi dispensasi usia untuk meloloskan pasangan muda menjalani pernikahan, seperti dari usia 12-16 tahun untuk perempuan dan 16-17 tahun bagi lelaki. 

Permintaan dispensasi usia ini selalu mengalami peningkatan sehingga membuat resah sehingga harus ada kebijakan perlindungan hukum bagi anak-anak untuk terhindar dari pernikahan dini, termasuk upaya pendampingan untuk pengembangan keterampilan dan bakat, sehingga anak-anak terbantu untuk memiliki mimpi membangun kehidupan yang lebih baik sebelum menikah pada usia ideal dan tepat.

KAPAN WAKTU YANG TEPAT BAGI PEREMPUAN UNTUK MENIKAH? 

Perjuangan melawan pernikahan dini dianggap menghambat rezeki orang lain, meski sebenarnya bertujuan mengantarkan seseorang pada rezeki yang lebih besar jika seorang perempuan memiliki akses pada pendidikan, kesehatan dan kesempatan kerja dengan upah tinggi. Jika pernikahan anak dan usia awal 20-an ternyata berkontribusi pada tingginya angka perceraian, lantas pada usia berapakah seorang perempuan sebaiknya menikah?

Data dari BKKBN menyebutkan bahwa usia untuk menikah adalah minimal 21 tahun, dan usia terbaik adalah 28-32 tahun. Sementara menikah di usia diatas 30 atau 40 tahun memiliki resiko paling rendah terjadi perceraian. Meski di beberapa budaya terkesan terlambat, namun pernikahan pasangan antara usia 40-45 tahun dinilai paling rendah dari resiko perceraian karena keduanya telah memiliki pengalaman hidup yang cukup, karir dan pekerjaan yang bagus, merdeka finansial serta kematangan emosi. Selain itu, kesiapan pasangan sangat diperlukan dalam membangun pernikahan.

Terlebih bagi perempuan, jangan lupa berinvestasi pada diri sendiri sebelum memasuki pernikahan. Misalnya dengan sekolah tinggi; memiliki keterampilan tertentu; memiliki penghasilan, tabungan dan investasi; dan sehat lahir dan batin sehingga menikah tidak dijadikan semacam pelarian atau untuk mendapatkan perlindungan finansial. Sebab, perempuan yang mampu menolong dirinya sendiri tidak akan menjadi beban bagi pasangannya dan terhindar dari dampak buruk relasi kuasa dalam pernikahan. 

Bahkan, jika kondisi terburuk terjadi seperti KDRT, perempuan bisa keluar dari pernikahan tanpa takut tidak memiliki biaya untuk melanjutkan hidup. Kesiapan semacam ini akan menghindarkan perempuan dari pernikahan yang memenjara dan menyiksa, karena kukira setiap orang menikah untuk berbahagia, bukan menderita apalagi tersiksa.

Wahai kamu, para perempuan muda yang membaca tulisan ini: pernikahan bukan dongeng, melainkan kenyataan yang harus dijalani setiap hari. Oleh karena itu, jangan pernah jadikan pernikahan sebagai tujuan utama hidupmu, sehingga kamu melepaskan mimpi-mimpimu dan kesempatan mengembangkan diri demi menikah. Lelaki yang ingin menikahi kamu adalah manusia biasa yang memiliki kekurangan sepertimu. 

Buatlah rencana hidup, sekolah setinggi mungkin, miliki pekerjaan dan karir cemerlang, miliki tabungan, berinvestasilah, kembangkan hobi, buatlah kegiatan keren yang membuatmu bahagia, dan jika kamu mampu maka jadilah pemimpin perubahan sosial. Kamu perempuan dan berhak menjadi hebat sesuai kapasitasmu. Jika ingin menikah, maka menikahlah dengan lelaki yang bersedia tumbuh bersamamu dan tidak mengurungmu di rumah dengan alasan apapun.

Dunia punya banyak masalah, marilah kita menjadi bagian yang menyelesaikan masalah itu, khususnya di dunia perempuan. Jangan takut pada omongan orang pada piihanmu, sebab mereka semua tidak bertanggung jawab atas kebahagiaanmu, tidak memberimu makan atau menyelesaikan masalahmu. Kamu, jadilah perempuan hebat abad ini dan selamatkan kaummu dari penindasan! 

Baca juga: #LayanganPutus dan Kisah Hegemoni Lelaki Mengakses Seks

Jika kamu ingin meniru pasangan teladan, maka mari kita berkaca pada mendiang Ibu Ainun dan Pak Habibie. Mereka menikah saat Ibu Ainun telah lulus dari sekolah kedokteran dan Pak Habibie sedang kuliah S3. Pernikahan mereka membuktikan bahwa kematangan emosial, kesehatan prima, pendidikan tinggi dan kerja keras dapat membawa keduanya pada pernikahan ideal yang menjadi impian semua orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun