Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dongeng Pernikahan yang Menjebak Perempuan Memasuki Lingkaran Setan Kemiskinan Kronis

21 Desember 2019   07:54 Diperbarui: 23 Desember 2019   09:21 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pernikahan dini yang berdampak ganda bagi tercerabutnya hak anak. Sumber: snf-febui.com

Data dari BPS pada 2008-2015 menunjukkan bahwa 1 dari 4 anak di Indonesia menjalani pernikahan dibawah umur kurang dari 18 tahun. Pernikahan dini menyebabkan kehamilan pada saat tubuh perempuan belum siap sehingga rentan mengalami freeklamsia (hipertensi dalam kehamilan), eklamsia (kejang dalam kehamilan), pendarahan pasca persalinan, persalinan macet dan keguguran. Bahkan tak sedikit kehamilan pada perempuan muda berdampak signifikan pada kematian ibu saat melahirkan.

Data bahkan menunjukkan bahwa pernikahan dini berkorelasi pada tingginya angka perceraian. Sepanjang tahun 2013-2015, angka perceraian terus meningkat dan didominasi perempuan berusia 20-24 tahun yang pernah menikah dibawah usia 18 tahun. Sialnya, para perempuan ini tidak lagi bersekolah sehingga semakin memperparah akses pada pekerjaan dengan upah tinggi. 

Sayangnya, meski data akibat pernikahan dini begitu menyedihkan pada 2017 persentase pernikahan dini menjadi meningkat 22,91% dari sebelumnya 22,35%. Angka yang bikin frustasi ini membuat banyak pihak semakin giat mendorong perubahan usia pernikahan dalam UU Perkawinan menjadi 19 tahun.

Upaya pencegahan pernikahan anak melalui Peraturan Desa. Sumber: jaring.id
Upaya pencegahan pernikahan anak melalui Peraturan Desa. Sumber: jaring.id
Upaya lain banyak dilakukan, termasuk mengusahakan Peraturan Desa (Perdes) Pencegahan Pernikahan Anak seperti yang dilakukan di Desa Mallari, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Kebijakan perlindungan pada anak-anak ini diikuti oleh Desa Bialo, Kabupaten Bulukumba. Perdes tersebut dibuat untuk melawan praktek pernikahan anak, karena di lapangan banyak terjadi dispensasi usia untuk meloloskan pasangan muda menjalani pernikahan, seperti dari usia 12-16 tahun untuk perempuan dan 16-17 tahun bagi lelaki. 

Permintaan dispensasi usia ini selalu mengalami peningkatan sehingga membuat resah sehingga harus ada kebijakan perlindungan hukum bagi anak-anak untuk terhindar dari pernikahan dini, termasuk upaya pendampingan untuk pengembangan keterampilan dan bakat, sehingga anak-anak terbantu untuk memiliki mimpi membangun kehidupan yang lebih baik sebelum menikah pada usia ideal dan tepat.

KAPAN WAKTU YANG TEPAT BAGI PEREMPUAN UNTUK MENIKAH? 

Perjuangan melawan pernikahan dini dianggap menghambat rezeki orang lain, meski sebenarnya bertujuan mengantarkan seseorang pada rezeki yang lebih besar jika seorang perempuan memiliki akses pada pendidikan, kesehatan dan kesempatan kerja dengan upah tinggi. Jika pernikahan anak dan usia awal 20-an ternyata berkontribusi pada tingginya angka perceraian, lantas pada usia berapakah seorang perempuan sebaiknya menikah?

Data dari BKKBN menyebutkan bahwa usia untuk menikah adalah minimal 21 tahun, dan usia terbaik adalah 28-32 tahun. Sementara menikah di usia diatas 30 atau 40 tahun memiliki resiko paling rendah terjadi perceraian. Meski di beberapa budaya terkesan terlambat, namun pernikahan pasangan antara usia 40-45 tahun dinilai paling rendah dari resiko perceraian karena keduanya telah memiliki pengalaman hidup yang cukup, karir dan pekerjaan yang bagus, merdeka finansial serta kematangan emosi. Selain itu, kesiapan pasangan sangat diperlukan dalam membangun pernikahan.

Terlebih bagi perempuan, jangan lupa berinvestasi pada diri sendiri sebelum memasuki pernikahan. Misalnya dengan sekolah tinggi; memiliki keterampilan tertentu; memiliki penghasilan, tabungan dan investasi; dan sehat lahir dan batin sehingga menikah tidak dijadikan semacam pelarian atau untuk mendapatkan perlindungan finansial. Sebab, perempuan yang mampu menolong dirinya sendiri tidak akan menjadi beban bagi pasangannya dan terhindar dari dampak buruk relasi kuasa dalam pernikahan. 

Bahkan, jika kondisi terburuk terjadi seperti KDRT, perempuan bisa keluar dari pernikahan tanpa takut tidak memiliki biaya untuk melanjutkan hidup. Kesiapan semacam ini akan menghindarkan perempuan dari pernikahan yang memenjara dan menyiksa, karena kukira setiap orang menikah untuk berbahagia, bukan menderita apalagi tersiksa.

Wahai kamu, para perempuan muda yang membaca tulisan ini: pernikahan bukan dongeng, melainkan kenyataan yang harus dijalani setiap hari. Oleh karena itu, jangan pernah jadikan pernikahan sebagai tujuan utama hidupmu, sehingga kamu melepaskan mimpi-mimpimu dan kesempatan mengembangkan diri demi menikah. Lelaki yang ingin menikahi kamu adalah manusia biasa yang memiliki kekurangan sepertimu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun