Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

5 Alasan Mendesaknya Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

17 Juli 2019   05:23 Diperbarui: 17 Juli 2019   06:12 1831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hubungi sejumlah kontak darurat diatas jika Anda membutuhkan bantuan.

"Let's imagine a day without sexual violence" -Unknown-

Bulan Februari 2019 lalu kita dikejutkan oleh sebuah berita dari Pringsewu, Lampung. Seorang ayah bersama dua anak lelakinya berkomplot memerkosa satu-satunya anggota keluarga perempuan mereka, alias anak kandungnya sendiri. 

Perkosaan kepada gadis berusia 18 tahun tersebut terjadi selama bertahun-tahun dan sebanyak lebih dari 120 kali. 

Pada awal Juli 2019 kita kembali dikejutkan oleh berita dari Garut, Jawa Barat di mana seorang ayah memerkosa anak perempuannya sendiri sejak 2015. Saat itu sang anak perempuan masih berusia 12 tahun. 

Bahkan, pada 2017 si anak hamil dam melahirkan anak hasil dari perkosaan tersebut. Kepada polisi, pelaku mengaku khilaf dan berniat bertanggung jawab dengan menikahi anaknya sekaligus korban pemerkosaan tersebut. 

Kita mungkin bertanya demikian: kok bisa sih pemerkosaan terjadi di dalam rumah dan dilakukan anggota keluarga sendiri? Bukankah seharusnya rumah menjadi tempat yang paling aman bagi seorang manusia, terlebih perempuan? 

Ternyata berdasarkan keterangan para pelaku menyebutkan bahwa mereka mengancam korban yang notebene lebih muda, lebih lemah dan tidak memiliki kekuatan finansial untuk melarikan diri. 

Selain itu, kurangnya kontrol sosial menyebabkan orang enggan mencampuri masalah rumah tangga orang lain karena merupakan privasi. 

Jadi, kejahatan berupa kekerasan seksual dalam keluarga ini terjadi karena adanya kesempatan bagi pelaku melancarkan kejahatannya dan ketidakberdayaan korban untuk membela dirinya sendiri. 

Kedua kasus pemerkosaan tersebut kemudian di sanksi oleh pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun. 

Membayangkan kondisi kesehatan fisik dan mental korban serta masa depannya yang babak belur, rasanya sangat tidak adik jika para pelaku hanya diganjar dengan hukuman 15 tahun penjara. Mengapa? Sebab para pelaku bukanlah orang asing, melainkan anggota keluarga. 

Mereka berbagi darah dan garis keturunan. Mereka, baik ayah maupun saudara laki-laki seharusnya merupakan pengayom dan pelindung korban dari kejahatan orang asing. Bukan sebaliknya menjadi penjahat yang menggasak rasa aman seorang perempuan di rumah ayahnya sendiri. 

Kedua kasus diatas hanyalah sedikit dari bom waktu fenomena kekerasan seksual di Indonesia. Setiap tahun, kita seringkali disuguhkan berita-berita mengenaskan mengenai korban kekerasan seksual. 

Bahkan, sejumlah kekerasan seksual dilakukan dengan cara yang sangat kejam seperti disertai pembunuhan sadis seperti yang terjadi pada Yuyun di Bengkulu dan Eno di Tangerang. 

Seumur hidupku, aku akan mengingat nama-nama korban kekerasan seksual tersebut sebagai pembelajaran berharga. 

Aku juga tak akan pernah lupa nama-nama para pelaku kekerasan seksual tersebut, sehingga aku memiliki daftar manusia pemerkosa di negeri ini yang wajib dijauhi dan dianggap sebagai ancaman sekaligus teror bagi kemanusiaan. 

KEKERASAN SEKSUAL 

Kekerasan seksual banyak sekali ragamnya berdasarkan pengalaman korban dan keterangan para pelaku yang telah dijerat hukum. Namun demikian, kita perlu mengetahui definisi kekerasan seksual dengan benar. Berikut adalah terminologi Kekerasan Seksual menurut Komnas Perempuan: 

"Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik." 

Sementara menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kekerasan seksual adalah: 

"Sexual violence is a serious public heatlh and human rights problem with both short-and-long term consequences on women's physical, mental and sexual and reproductiove health. Shether sexual violence occurs in the context of an intimate partnership, within the larger family or community structure, or during times of conflict, it is deeply violating and painful experience for the survivor" 

Artinya, kekerasan seksual (sexual violence) merupakan masalah serius baik di lingkup kesehatan publik dan Hak Asasi Manusia, yang dalam jangka pendek atau jangka panjang berpengaruh pada kesehatan fisik, mental, seksual, dan reproduksi. 

Kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi intim (misal pacaran atau pernikahan), atau dalam struktur keluarga besar atau komunitas, atau dalam keadaan konflik sekalipun tetap merupakan pengalaman yang menyiksa dan menyakitkan bagi korban. 

Pelecehan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan seksual. Sumber: CNN
Pelecehan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan seksual. Sumber: CNN
Dalam Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Kompas Perempuan 2016 disebutkan bahwa sepanjang 2015 terdapat 321,752 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Sebanyak 305.535 kasus bersumber dari kasus yang ditangani Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama, dan sebanyak 16.217 kasus yang ditangani layanan mitra Komnas Perempuan. 

Sebanyak 11.207 atau 69% kasus terjadi di ranah personal atau disebut KDRT di mana pelakunya memiliki hubungan darah dengan korban, kekerabatan, atau hubungan pernikahan dan hubungan pacaran.   

Sedangkan sebanyak 5.002 atau 31% terjadi di ranah komunitas di mana pelaku tidak memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan korban, seperti majikan, guru, teman kerja, tokoh masyarakat, atau bahkan orang yang tidak dikenal. Dan kasus lainnya yaitu 8 kasus berkaitan dengan kekerasan seksual yang dilakukan atas nama negara. Kasus terakhir seringkali paling sedikit atau tidak dilaporkan. 

Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. Sumber: Tempo
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. Sumber: Tempo
Dalam sumber lain bahkan disebutkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak yaitu pedophilia di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia. Sedangkan untuk kasus kekerasan seksual berupa pernikahan paksa terhadap anak di bawah umur (antara 10-18 tahun) Indonesia menempati posisi tertinggi kedua di kawasan ASEAN setelah Kamboja. 

Kemiskinan, rendahnya pendidikan orangtua, rendahnya akses terhadap hak reproduksi seksual, dan meningkatnya fundamentalisme agama menjadi faktor pemicu masalah ini.

HUKUMAN BAGI PELAKU KEKERASAN SEKSUAL

Mengapa kekerasan seksual selalu terjadi dan seakan tidak pernah bisa dihentikan? Mengapa kasus-kasusnya semakin mengerikan? Mengapa kasus-kasusnya bahkan semakin sering terjadi di ranah rumah tangga dengan korban dan pelaku merupakan anggota keluarga dan memiliki hubungan darah? 

Apa mungkin hukuman bagi pelaku kekerasan seksual belum cukup dan memberi efek jera? Atau mungkin karena kurangnya kontrol sosial dan kepedulian antar masyarakat sehingga selama bertahun-tahun korban memilih bungkam dalam ancaman dan tidak tahu hendak meminta pertolongan pada siapa. 

Mengapa bahkan tokoh agama dan tokoh masyarakat tidak menjadi tempat para korban untuk mengadu dan mendapatkan perlindungan atas masalah yang menimpa mereka? Mungkinkah masyarakat kita telah benar-benar kehilangan kepercayaan dalam dalam kondisi distrust pada satu kepada yang lain? 

Lantas, apakah hukuman maksimal 15 tahun penjara bagi para pelaku adil bagi korban yang hidupnya porak poranda? Mengapa kita tidak bisa menghukum mereka dengan lebih berat seperti kebiri atau bahkan hukuman pancung? Mengapa kita selalu menggunakan HAM dalam membela hidup pelaku kekerasan seksual sementara hidup korban sudah hancur berantakan dan tak bisa dikembalikan? 

Bayangkanlah wahai Pembaca, bahwa setelah menjalani 15 tahun hukuman penjara, para pelaku pemerkosaan itu bebas dan kembali ke masyarakat. 

Mereka bisa menjadi residivis atau mungkin bertobat. Saat bertobat mereka bisa kembali berkeluarga dan membangun kehidupan yang baik. Lantas bagaimana dengan korban yang dianggap kotor, hina dan hancur di mata masyarakat? Sungguh tidak adil, bukan? 

Pihak berwenang bisa saja beralasan bahwa di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini belum ada payung hukum khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual. 

Ya, kita bisa beralasan demikian karena sebenarnya sejak 2016 Komnas Perempuan dan sejumlah lembaga telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) agar disahkan DPR-RI. 

Harapannya RUU PKS ini menjadi payung hukum khusus bagi kasus-kasus kekerasan seksual. Sehingga para pelaku kekerasan seksual bisa dihukum seberat mungkin dan korban bisa mendapatkan pendampingan untuk melanjutkan hidupnya baik soal pendidikan, ekonomi hingga keterampilan. 

RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL

Oke, memang RUU PKS ini sempat menjadi kontroversi karena perbedaan cara pandang sejumlah pihak. 

Terutama yang 'menganggap' bahwa kerangka pikir RUU PKS ini berasal dari negara-negara barat seperti Eropa atau Amerika. 

Bahkan, tanpa mempelajari lebih lanjut, sejumlah pihak terang-terangan menyatakan bahwa RUU PKS ini pro perzinahan dan LGBT. Duh, malas belajar kok gampang aja main tuduh nggak jelas. 

RUU PKS ini hadir bukan tanpa kerangka pikir logis apalagi mengacu pola pikir negara-negara Barat yang disebut anti Islam dan budaya timur. Masalahnya adalah kekerasan seksual ini terjadi di seluruh dunia dan menyasar lebih banyak perempuan dan remaja perempuan, meskipun banyak juga korbannya laki-laki. 

Berikut adalah 5 alasan krusial mendesaknya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: 

1| Indonesia darurat kekerasan seksual

Dalam Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Kompas Perempuan 2016 disebutkan bahwa sepanjang 2015 terdapat 321,752 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

Sebanyak 305.535 kasus bersumber dari kasus yang ditangani Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama, dan sebanyak 16.217 kasus yang ditangani layanan mitra Komnas Perempuan. 

Sebanyak 11.207 atau 69% kasus terjadi di ranah personal atau disebut KDRT di mana pelakunya memiliki hubungan darah dengan korban, kekerabatan, atau hubungan pernikahan dan hubungan pacaran. 

Sedangkan sebanyak 5.002 atau 31% terjadi di ranah komunitas di mana pelaku tidak memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan korban, seperti majikan, guru, teman kerja, tokoh masyarakat, atau bahkan orang yang tidak dikenal

. Dan kasus lainnya yaitu 8 kasus berkaitan dengan kekerasan seksual yang dilakukan atas nama negara. Kasus terakhir seringkali paling sedikit atau tidak dilaporkan.

Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Pasifik dengan angka kekerasan seksual tertinggi tentu harus memiliki payung hukum khusus. 

Kita nggak bisa terus-terusan menghukum pelaku kekerasan seksual dengan UU Perlindungan Anak atau UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 

Kita memerlukan payung hukum khusus untuk kejahatan tertentu sehingga keadilan bisa tercipta demi kehidupan yang lebih baik. 

2| Hambatan bagi korban dalam proses hukum

Selama ini banyak sekali hambatan yang dialami korban kekerasan seksual saat kasusnya masuk ke ranah hukum, diantaranya: 

  1. Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) menetapkan hanya 5 alat bukti yang menyulitkan korban dalam memenuhi syarat pembuktian. 
  2. Korban seringkali disalahkan dan di stigma Aparat Penegak Hukum atas kasus yang dialaminya
  3. Korban seringkali menghadapi trauma berulang saat menghadapi proses pengadilan
  4. Korban seringkali dilaporkan kembali sebagai pelaku
  5. Korban seringkali tidak mendapatkan pendampingan karena tidak diatur dalam KUHAP

Kita tentu masih mengikuti perkembangan kasus kekerasan seksual yang menimpa Baiq Nuril, bukan? Baiq Nuril yang mengalami pelecehan seksual malah didakwa 6 bulan penjara dan denda Rp. 500 juta karena dianggap mencemarkan nama baik pelaku dan dianggap melawan hukum terutama UU ITE. 

3| RUU PKS sebagai payung hukum khusus atau lex specialist

Selama ini, kasus-kasus kekerasan seksual selalu didakwa berdasarkan pasal-pasal dalam KUHAP, atau UU Perlindungan Anak atau UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sehingga hukuman bagi pelaku kurang berat dan pemulihan bagi korban tidak diatur dalam hukum. 

Nah, RUU PKS mengatur mulai dari alat bukti, di mana korban diberikan peluang untuk bisa memenuhi syarat pembuktian termasuk dari rekam medis, informasi elektronik, keterangan psikolog dan sebagainya; larangan bagi aparat penegak hukum untuk merendahkan korban; pemulihan kehidupan korban; larangan mengkriminalisasi korban; dan penyediaan pendampingan bagi korban secara sah dan legal. 

Aturan pemulihan korban kekerasan seksual dalam RUU PKS
Aturan pemulihan korban kekerasan seksual dalam RUU PKS
Keunggulan PUU PKS juga terdapatnya bentuk-bentuk pencegahan terjadinya kekerasan seksual yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. 

Hal ini dimulai dari infrastruktur, pelayanan dan tata ruang yang aman dan nyaman; memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual dalam bahan ajar di sekolah-sekolah; tata kelola pemerintahan yang dengan kebijakan anti kekerasan seksual serta tersedianya anggaran bagi pencegahan kekerasan seksual; menetapkan kebijakan anti kekerasan seksual di lingkungan kerja; dan menciptakan kehidupan yang aman dan nyaman dalam bermasyarakat, serta kepedulian sosial yang tinggi dalam upaya pencegahan kekerasan seksual. 

Sebagai lex spesialist, RUU PKS juga mengatur tentang pemulihan korban sejak sebelum proses peradilan, selama proses peradilan dan pasca proses peradilan. 

Hal ini penting mengingat dalam masyarakat kita, korban kekerasan seksual seringkali mengalami victim blaming di mana ia justru dipersalahkan dan dianggap sebagai sampah masyarakat. 

4| Pidana bagi pelaku kekerasan seksual yang tidak memberi efek jera 

Para pelaku kekerasan seksual harus diganjar dengan hukuman berat karena perbuatannya sangat merugikan korban. 

Jika selama ini hukuman diberikan dalam bentuk kurungan penjara dan hukuman mati bagi kasus-kasus sangat berat. Maka RUU PKS memberikan hukuman tambahan agar menjadi efek jerat bagi pelaku dan juga publik. 

Hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terbagi menjadi pidana pokok berupa pidana penjara, kerja sosial dan rehabilitasi khusus. serta pidana tambahan yang terdiri dari: restitusi; perampasan keuntungan dari tindak pidana; pembinaan khusus; pencabutan hak asuh anak, hak politik dan hak menjalankan pekerjaan; pencabutan jabatan atau profesi; dan pencabutan izin usaha. 

Jika RUU PKS ini disahkan dan mengikat setiap warga negara secara hukum, maka kita berharap bahwa para pelaku kekerasan seksual bisa diganjar dengan hukuman berlipat atas perbuatannya. 

Juga, agar hukum bagi pelaku kekerasan seksual tidak tumpul pada pihak-pihak tertentu yang memiliki jabatan publik, kekuasaan dan finansial melimpah dibandingkan korban. Jika negara ini merupakan negara hukum, maka hukum harus dijalankan dengan adil demi kehidupan yang lebih baik seluruh warga negara tanpa kecuali. 

5| Kita semua membutuhkan rasa aman

Sebagai perempuan, sejak kecil aku selalu diwanti-wanti bahwa perempuan itu tempatnya di rumah dan tidak boleh keluar malam. 

Katanya dunia sangat berbahaya. Namun sayangnya, dunia ini tidak berbahaya dari alam itu sendiri dan hewan-hewan yang berkeliaran di siang terik atau malam buta. Dunia kita justru berbahaya di tangan mereka yang hendak berbuat jahat. 

Mengapa lantas dunia lebih berbahaya di tangan dan masyarakat manusia? 

Ya, karena sebagian dari kita yang merasa manusia baik dan suci membiarkan kejahatan tersebut terjadi. Kita tidak bisa menghentikan kejahatan hanya dengan cara melarang seseorang melakukan aktivitas tertentu pada waktu tertentu, karena toh kejahatan seperti kekerasan seksual justru semakin banyak terjadi di dalam rumah yang katanya tempat paling aman di dunia. 

Jika rumah yang seharusnya menyediakan rasa aman dan nyaman ternyata menjadi neraka sesungguhnya, lantas tempat seperti apa yang sanggup menyediakan rasa aman tersebut? 

BACA JUGA: Benarkah RUU PKS Pro Zina dan LGBT? 

Kekerasan seksual dianggap sebagai masalah yang tidak bisa dihentikan. Namun, aku percaya jika kita semua mau bergandeng tangan, terutama dalam upaya pencegahan, kita bisa menurunkan angka kejadian kekerasan seksual atau prevalensi kekerasan seksual dengan signifikan. 

Kekerasan seksual adalah masalah dan kita harus bahu membahu menanganinya. Dan aku rasa setiap warga negara harus saling peduli pada masalah sosial di sekitar tempat tinggalnya masing-masing. Pelaku dan korban kekerasan seksual bisa siapa saja. Maka dari itu, tajamkan pandangan dan telinga kita untuk mau peduli pada lingkungan sekitar. Dan bukalah pintu rumah kita dan kebaikan hati kita agar korban bisa melarikan diri dari situasi berbahaya dan mendapatkan perlindungan. 

Aku percaya, masih banyak sekali orang baik dan peduli di negeri ini. Aku juga percaya bahwa masih banyak orang waras yang menganggap RUU PKS ini sebagai sebuah kebijakan yang bisa membantu memberikan rasa aman bagi warga negara Indonesia dari tindak kekerasan seksual. 

Kejahatan terjadi karena kesempatan, dan mari dukung pengesahan RUU PKS menjadi Undang-Undang sebagai upaya menutup kesempatan bagi pelaku kekerasan seksual untuk melancarkan kejahatannya yang melawan UUD 1945 dan Pancasila, serta cita-cita berdirinya NKRI. Jika NKRI harga mati, maka negara harus memastikan rasa aman bagi rakyatnya tanpa kecuali, bukan? 

BACA JUGA: Selayang Pandang Kelebihan RUU PKS

Salam hangat dan semoga harimu menyenangkan. 

Jakarta, 17 Juli 2019

Hubungi sejumlah kontak darurat diatas jika Anda membutuhkan bantuan.
Hubungi sejumlah kontak darurat diatas jika Anda membutuhkan bantuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun