Meski sebenarnya mereka tidak tahu bahwa di kepala para petani terjadi pertempuran tentang utang pupuk yang menumpuk, kalkulasi hasil panen yang jauh dari harapan, harga komoditas yang turun drastis akibat kelebihan panen atau kebijakan impor pangan, kerugian fatal akibat serangan hama hingga bencana alam, dan sebagainya.
Petani adalah salah satu profesi yang tidak dijamin asuransi baik dirinya secara individu maupun lahan pertaniannya. Menjadi petani bagai berjudi dengan alam semesta yang selalu menyediakan kejutan tentang iklim, cuaca dan musim diluar perhitungan manusia.
Oleh karena itu, kujamin bahwa tidak satupun keluarga petani yang mengharapkan anak-anak mereka menjadi petani. Sebagaimana yang diinginkan keluargaku atasku, agar aku naik derajat dengan menjadi pekerja kantoran atau pegawai negeri sipil. Menjadi petani merupakan profesi bukan pilihan bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan pendidikan tinggi dan meraih mimpi melalui profesi lain.
Bahkan, diakui atau tidak, profesi petani seringkali direndahkan dalam pergaulan sosial. Telah lama sekali dan bisa dibilang turun temurun, mereka yang berprofesi sebagai petani dan anak dari keluarga petani 'dibuat' malu untuk menegakkan kepalanya dengan bangga sebagaimana profesi lain seperti dokter, arsitek, pegawai negeri sipil, hingga pilot.
Lihatlah di sekeliling kita, siapa petani yang dengan bangga membusungkan dadanya dan menegakkan kepalanya dengan mengatakan kepada dunia bahwa ia seorang petani? Jarang sekali, bukan?Â
"Jangan jadi seperti Bapak yang bodoh ini, Nak! Kamu harus sekolah tinggi dan kerja yang bagus. Nasib petani memang selalu begini," ujar Ayahku lebih dari 15 tahun silam. Ayahku ingin aku sukses dan hidup makmur.
Tetapi kemudian gamang menyelimuti kalbu. Haruskah aku terus di kota dan menjadi satu dari lautan manusia desa yang membanjiri kota demi meraih kata "sukses" yang sebelumnya kupuja?
Atau, haruskah aku kembali ke desa dengan menangggung resiko dicibir karena lulusan universitas nomor wahid di tanah air malah menjadi petani? Terlebih kini desa 'kekurangan' pemuda-pemuda cerdas karena semua telah disedot kota dan mengurungnya disana dengan janji kesuksesan.
BERTANI ASYIK ALA PESANTREN EKOLOGI
Di tengah kegamangan yang tak berkesudahan itu aku bertemu dengan teh Nissa Wargadipura, pemilik dan pengasuh Pesantren Ekologi Ath-Thaariq. Pesantren yang berdiri di lahan kurang dari 1 ha di kaki gunung Guntur, Garut, Jawa Barat ini dikenal juga sebagai Green Pesantren karena konsep pengelolaan yang mengaji kitab Allah dalam teks dan hamparan alam semesta.
Teh Nissa dan suaminya Ustadz Ibang, memulai pesantren ini 10 tahun silam setelah perempuan yang merupakan aktivis Serikat Petani Pasundan itu mengalami masalah hebat saat melahirkan puteri ketiganya.