Siapakah kiranya sosok paling inspiratif di dunia ini? Apakah mereka para Nabi dan Rasul? Ataukah para pesohor kelas dunia dengan segala kehidupan mewah bergelimang harta dan popularitas? Atau para motivator di panggung-panggung seminar berbiaya mahal? Atau para pemuka agama yang setiap ceramahnya mengingatkan kita tentang keindahan Surga yang dijanjikan Tuhan bagi kaum beriman? Atau para penyanyi asal Korea Selatan yang bertubuh bening layaknya boneka dengan suara indah yang memabukkan bagai bidadari? Ataukah justru para sosok sederhana di sekitar kita, yang bahkan namanya saja tidak kita kenal?
Karena kita memerlukan energi baik untuk menjalankan kehidupan, maka akan kuceritakan padamu para motivator dari kalangan rakyat biasa. Siapapun kita dan apapun latar belakang sosial kita, kukira hati dan pikiran kita dapat menerima energi baik kehidupan dari mana saja dan dari siapa saja. Karenanya, mari dengarkan ceritaku:
Aku tinggal di kos-kosan tepat di belakang stasiun Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Di sekitar kosanku sedang dibangun 3 unit apartemen untuk pelajar, mahasiswa dan karyawan. Bangunan belasan lantai tersebut dikerjakan siang malam untuk mengejar target. Karenanya tak heran jika suasana ribut dan sibuk terus terdengar sepanjang 24 jam. Mulai dari suara besi dipukul, suara mesin las, atau suara kendaraan pengangkut bahan bangunan yang hilir mudik dan sebagainya.Â
Para buruh yang mengerjakan bangunan-bangunan tersebut tinggal di sejumlah kos-kosan tak jauh dari tempat tinggalku. Mereka biasanya tinggal berkelompok agar bisa berbagi biaya kontrakan dan berhemat. Mungkin yang terpenting bagi mereka bukan lagi tempat tinggal nyaman seperti rumah, melainkan sekadar tempat melepas penat dan istirahat.
Saat waktu makan tiba, mereka memenuhi sejumlah warteg yang harga makanannya murah meriah, berkisar Rp. 7.000-Rp.15.000 per porsi, untuk menu sederhana yang kupikir kurang memenuhi standar gizi jika melihat beban pekerjaan mereka yang sangat berat.Â
"Nyarap dulu lah kita, sama telur dadar dan sayur bayam," ujar seorang yang kuketahui bekerja sebagai buruh di apartemen paling dekat dengan kosanku, saat memasuki warteg tempatku sedang sarapan pagi. Ia meminta sepiring nasi dengan menu telur dadar, sayur bayam, sambal dan bakwan sayuran. Kupikir-pikir, apa cukup ya sarapan sederhana begitu untuk menyambut pekerjaan berat dan kasar selama 4 jam kedepan?
Jika waktu istirahat siang tiba, mereka bergerombol di sebuah warung kopi. Mereka biasanya melepas penat dengan berkelakar satu sama lain, menikmati segelas kopi dingin atau es teh, atau minuman dingin lain yang dalam kemasan plastik.Â
Kadangkala kulihat juga mereka bergerombol di sekitar gerobak penjual buah untuk membeli rujak yang harganya antara Rp. 5.000-Rp.10.000 per porsi. "Seger nih panas-panas gini makan rujak!" ujar seorang diantara mereka kepada rekan-rekannya dengan wajah gembira. Sementara aku yang menunggu giliran rujak pesananku dibuat si penjual buah hanya tersenyum dalam diam.
Atau kadangkala kudengar obrolan mereka saat menikmati makan siang di sebuah warteg yang lain. "Kopi dingin ya, Teh. Biar seger dan semangat kerja lagi nih!" ujar seseorang. "Kalau saya es teh aja dibungkus ya buat dibawa ke atas," ujar yang lainnya.Â
Ya, seringkali kulihat beberapa orang buruh dengan pakaian kerja yang lusuh dan wajah terbakar matahari membawa sekantong es teh saat kembali ke bangunan apartemen tempat mereka bekerja. Mungkin, satu plastik 0,5 kg es teh seharga Rp. 5.000 dapat menjadi semacam moodbuster saat lelah melanda. Terlebih panas di musim kemarau ini benar-benar mematikan!
Lalu kulihat seorang lelaki dengan senyum sumringah menghitung uang kembalian dari pemilik warteg. "Dihitung terus uangnya, kurang ya kembalian si Teteh?" tanya seorang lelaki bertubuh mungil namun bertotot.Â
Si lelaki yang menghitung uang hanya tersenyum senang kemudian menarik nafas dan menghembuskannya pelan. "Istri saya akan lahiran anak kedua, Kang. Jadi saya harus hemat biar bisa beli keperluan bayi dan ibunya. Maklum lah sekarang semua serba mahal!" Jawabnya, dengan sepasang mata yang memancarkan sinar kebahagiaan dan harapan.
Sontak rekan-rekannya memberinya ucapan selamat. Beberapa diantara mereka ada yang menonjok bahunya pelan atau menepuk-nepuk pundaknya. Kebahagiaan terpancar dari mata mereka yang lelah oleh beban pekerjaan, sekaligus rindu tertahan pada keluarga. Kulihat sepasang mata si lelaki berkaca-kaca, entah karena bahagia atau uang tabungannya yang belum cukup.
"Saya juga nih, anak saya mau masuk SD. Dia bilang mau dibelikan tas princess biar semangat sekolah. Saya bilang nunggu bapak gajian ya, dan gajian bulan ini akan saya belikan tas princess untuk si Eneng," ujar lelaki lain yang tampak lebih muda. Ia pun bercerita bahwa meski sangat rindu pada anak istrinya di rumah, ia harus menahannya. Bahkan ia harus berhemat berkali-kali lipat karena anak pertamanya akan masuk sekolah.
"Meski harus kerja jauh dan rendahan gini, alhamdulillah masih bisa kerja halal. Insya Allah berkah buat saya dan keluarga," katanya lagi yang diaminkan rekan-rekannya. Kemudian kulihat mereka tertawa-tawa saat menyaksikan sesuatu di ponsel si pemuda, mungkin  video anak yang diceritakan. Dari tempatku duduk, aku hanya bisa mengaminkan doa mereka semua karena hanya itu yang mampu kulakukan. Â
***
Kita seringkali terkagum-kagum dengan bangunan pencakar langit yang berdiri kokoh, jumawa dan menantang langit dengan gagahnya. Seakan-akan ia serupa pepohonan keramat berusia ribuan tahun yang akar-akarnya jauh menghujam bumi, sementara tubuhnya dengan gagah mencapai langit yang tinggi, seperti hendak menghadiri perjamuan dengan Tuhan.
Bangunan-bangunan tinggi nan jumawa tersebut bukanlah semacam Candi Prambanan yang konon dibangun hanya dalam semalam saja. Melainkan merupakan hasil peluh ribuan pekerja kasar yang sering kita sebut buruh atau kuli.Â
Mereka bekerja menantang maut, terbakar matahari, bahkan kadang sembari menahan dingin dan kantuk jika kebagian shift malam. Upah mereka tak seberapa, mungkin tak cukup untuk sekedar membeli sepatu  bermerak ala anak millenial.
Tetapi, pancaran mata dan senyum mereka sungguh penuh energi. Lembar-lembar rupiah yang mereka kumpulkan dengan mempertaruhkan nyawa bisa jadi merupakan penyambung hidup keluarga di kampung halaman.Â
Tiga apartemen yang dibangun di sekitar tempat tinggalku itu merupakan bangunan mahal yang hanya mampu diakses mereka yang berduit. Mungkin para mahasiswa dari luar daerah yang akan kuliah di kampus bergengsi seperti Universitas Indonesia, tempat anak-anak muda berotak cemerlang ditempa sebagai calon pemimpin bangsa masa depan.
Saat bangunan selesai, para buruh bangunan itu akan kembali ke kampung halaman atau mengerjakan bangunan pencakar langit yang lain. Mereka tak akan pernah sekalipun memiliki kesempatan bermalam di didalamnya, menikmati hasil karya mereka sendiri.Â
Mungkin, mereka hanya akan berdiri mematung memandangi bangunan indah itu dengan perasaan syukur kepada Tuhan, bahwa tangan mereka bagian dari keajaiban arsitektur modern itu. Kemudian dengan semangat baru, mereka mencari pekerjaan lain, membangun bangunan pencakar langit yang lain, yang lagi-lagi tidak akan pernah mereka tempati barang sejenak.Â
![Buruh bangunan saat bekerja di siang terik (sumber: kompas.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/15/buruh-banguan-2-5b73f55f677ffb5b27078272.jpg?t=o&v=770)
Para buruh itu sedang menahan panas musim kemarau demi menyelesaikan pekerjaan, agar segera gajian lalu pulang menengok anak istri di kampung halaman. Atau bisa jadi ada sebagian dari mereka yang menahan lapar agar dapat membawa uang lebih banyak ke kampung halaman.
Saat berkesempatan menyaksikan mereka dalam keseharianku, sering terbersit rasa malu. Aku memiliki pekerjaan yang jauh lebih baik dari mereka, dengan bayaran lumayan dan kesempatan yang terbuka lebar untuk sukses.Â
Karenanya, setiap kali aku merasa lelah dan tertekan dengan pekerjaanku, kemudian mengeluh karena harus bekerja keras, aku ingat semangat mereka. Semangat bekerja dan senyum bahagia mereka adalah #EnergiBaik bagiku. Energi yang membuatku kembali menemukan alasan menyelesaikan pekerjaan dan tanggung jawabku.Â
Kupejamkan mata dan kuingat-ingat energi baik yang mereka pancarkan. Energi sederhana pekerja kelas rendahan yang cahayanya justru terang benderang karena bersumber pada keikhlasan mencari rezeki untuk keluarga. Kuingat senyum bahagia mereka saat menyeruput segelas es teh sebelum lenajutkan pekerjaan atau ketika berkelakar sesama mereka sembari berbagi satu porsi rujak beuah seharga Rp. 5.000
Kepada mereka aku belajar tentang kerja keras dan tanggung jawab atas kehidupan. Juga cara sederhana dalam mensyukuri berkah hidup berupa pekerjaan dan kesehatan. Hal yang paling tidak bisa aku lupakan adalah senyum sederhana mereka disela-sela beban pekerjaan yang berat. Kepada Tuhan aku berdoa agar menyayangi mereka dan memberikan mereka rezeki yang melimpah.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI