Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bangsa Besar Menghadapi Teroris dengan Kompak, bukan Denial dan Nyinyir

16 Mei 2018   22:47 Diperbarui: 16 Mei 2018   22:52 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Jawa Pos.

Pagi  yang tenang di Surabaya mendadak berdarah dan berbau aroma kematian.  Bom meledak di tiga Gereja, merenggut nyawa dan melukai sejumlah orang,  juga menciptakan ketakutan. Kemudian diketahui bahwa pelakunya adalah  satu keluarga: Ayah, Ibu dan empat orang anak mereka yang masih belia.  Berdasarkan data yang berseliweran di media sosial, tersebutlah bahwa  mereka adalah satu keluarga Muslim yang terdidik, berkecukupan secara  ekonomi, ramah pada tetangga dan baik hati. 

Fakta bahwa mereka memiliki  kehidupan yang baik tapi berakhir sebagai pelaku teror bom sungguh  menohok. Bahkan pelaku teror bom lain, yaitu di Sidoarjo merupakan satu  keluarga yang terdiri dari 6 orang dan di Mapolrestabes Surabaya juga  satu keluarga dengan jumlah 5 orang. Ini edan betul! Saya jadi  beprasangka buruk dan menengok tetangga kanan-kiri, jangan-jangan di  sekitar kita ada banyak sekali keluarga dengan profil sempurna tapi  sedang menunggu 'perintah' menjadi pelaku teror bom selanjutnya. 

Sebagai  Muslim, saya ngeri dengan kenyataan ini. Saya membayangkan bahwa  teman-teman saya yang non-Muslim bisa jadi sedang ketakutan.

Tidak  seorang pun yang dapat menapikan ketakutan ini karena tempat ibadah  mereka memang kerap menjadi sasaran teror bom, meski menimpa Masjid  juga. Tagar #kamitidaktakut muncul lagi seakan-akan memang publik tidak  takut dengan teror bom. Tapi benarkah tidak takut? Profil pelaku teror  bom Surabaya dan Sidoarjo justru membuat saya takut. Mengapa? Karena  teror kali ini telah mencoreng nilai-nilai suci keluarga dengan  melibatkan anak-anak. Tindakan ini jelas melawan UU Perlindungan Anak  dan Kovenan PBB tentang Hak Anak. 

Ini semacam bahaya yang muncul dari  danau yang tenang lagi airnya bening lagi bersih. Orang-orang dengan  kehidupan serba baik lagi terdidik tapi menyimpan rencana busuk dalam  kepala mereka, jauh lebih berbahaya dibandingkan tukang protes yang  tidak sekolah tapi tidak melakukan kejahatan apapun yang melukai orang  lain. 

Kengerian saya bertambah ketika di media sosial berseliweran status dan tweet yang menyatakan bahwa teror bom Surabaya dan Sidarjo adalah konspirasi  dan pengalihan isu. Pernyataan itu bahkan berasal dari beberapa politisi  yang memiliki jabatan tinggi di Senayan. 

Meski kita sedang menghadapi  situasi yang serba tidak pasti secara politik, pernyataan-pernyataan itu  sangat tidak manusiwasi karena menyangkal fakta tentang korban yang  terluka hingga kehilangan nyawa. Manusia yang terbunuh dalam keadaan  perang saja membuat kita sedih, lantas bagaimana sebagian dari kita  sanggup bersikap denial bahkan nyinyir atas hilangnya nyawa orang bukan  dalam keadaan perang? Apakah kita harus menunggu teror bom menghancurkan  rumah dan merenggut nyawa keluarga kita untuk mampu mengakui bahwa  teror ini jahat dan berbahaya? 

Bagaimanapun  juga pelaku adalah keluarga Muslim. Dan sebagai umat mayoritas dengan  berbagai keistimewaan dalam menjalankan agama dibanding umat agama lain,  umat Islam harus legowo menerima fakta bahwa pelaku adalah saudara  seiman kita. Fakta ini tidak bisa disangkal. Semakin kita menyangkal,  semakin jelas bahwa sebagai mayoritas di negeri ini kita belum mampu  menjadi pelindung bagi umat agama lain, belum mampu hidup dalam  perbedaan dan belum mampu mengayomi. 

Para  teroris itu ingin membangun sebuah negara impian mereka tapi tidak  memiliki wilayah, makanya mereka menyebar virus berbahaya di tanah  bangsa-bangsa damai lagi makmur. Mereka ingin merebut kekuasaan, bukan  menciptakan negara ideal apalagi surga dunia.

Jika mereka benar ingin  membangun sebuah peradaban makmur, seharusnya mereka bergabung dengan  tim ilmuwan untuk menciptakan negara ideal mereka di planet lain atau  menjadi pasukan hijau yang khusus menangani kerusakan lingkungan penyebab perubahan iklim. Bukan dengan membunuh atau menebar teror bom.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun