Aku masih ingat ketika seorang aktivis lingkungan pernah bilang bahwa Indonesia adalah bangsa yang dikutuk oleh kekayaan alam yang melimpah ruah. Hal demikian ia ungkapkan setelah belasan tahun menjadi aktivis yang membela rakyat kecil yang banyak berkonflik dengan pengusaha-pengusaha yang merusak lingkungan mulai dari aktivitas pertambangan, permbukaan hutan untuk perkebunan skala besar hingga pencemaran. Tidak lain dan tidak bukan bahwa korban semua aktivitas tersebut adalah lingkungan dan rakyat miskin. Para pengusaha yang mengeruk keuntungan dibawah ketiak penguasa bejat lagi korup nyaris kebal hukum. Mereka tanpa berdosa menikmati kekayaan melimpah layaknya para raja dan ratu, hidup makmur dan dengan mudahnya lari ke luar negeri jika bencana terjadi.Â
Tragedi yang dialami Tosan dan Salim Kancil adalah peristiwa terbaru, sebagai pengulangan atas peristiwa-peristiwa serupa di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Pengulangan ini dikenal dengan spiral kekerasan. Sebut saja tragedi Indorayon di Sumatera Utara, DAM koto Panjang di Riau, tragedi Cinta Manis, tragedi Mesuji di Sumatera Selatan dan Lampung, korban-korban lubang tambang di Kalimantan, tragedi Buyat Pante di Sulawesi, tragedi di Papua dan tempat-tempat lainnya. Sayangnya, semua tragedi selalu menunjukkan kemesraan antara pemerintah-pengusaha dan mengorbankan rakyat kecil dan lingkungan. Banyak gugatan di pengadilan dimenangkan pengusaha-pengusaha jahat alih-alih masyarakat yang jelas-jelas menjadi korban. Langit biru Indonesia pastilah lelah menjadi saksi kekejaman antar saudara sebangsa dalam merebut hak kelola atas sumberdaya alam demi kantong-kantong pengusaha yang tak jarang dimiliki asing. Padahal, kasus-kasus lama belum selesai, belum sampai di meja hijau dan darah yang pernah tertumpah belum hilang baunya dari hidung kita.Â
Kekerasan bagaimanapun tidak dibenarkan dalam rekonsiliasi konflik, sehingga peran pemerintah, aparat penegak hukum dan organisasi pecinta lingkungan sangat penting. Sebagai bangsa yang dikenal dengan sifat ramah tamah, suka bermusyawarah mufakat dan gotong royong tentunya tragedi Salim Kancil sangat disayangkan terjadi. Apalagi jika mengacu pada berbagai peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat. Jika rakyat seharusnya menjadi penikmat semua kekayaan alam di Indonesia, mengapa justru mereka yang pertama-tama menjadi korban? Kemana para wakil rakyat sepanjang konflik terjadi sampai harus ada klimaks yang menyedihkan semacam ini?
Tulisan ini didedikasikan sebagai bagian dari gerakan tumbuhnya "Jutaan Kancil". Mati satu tumbuh seribu, patah tumbuh hilang berganti. Kita tak akan pernah berhenti menuntut keadilan saat ia dikebiri. Saat keadilan bagai pisau yang menusuk rakyat kecil dan menyenangkan mereka yang berkuasa. Semoga keluarga pak Tosan dan almarhum pak Salim Kancil diberi kekuatan dan ketabahan, sebab jika tragedi ini terjadi pada bapakku, aku mungkin tak lagi bisa bernafas.Â
Depok, 30 September 2015
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H