Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bank Benih Lokal Satu Jalan Kedaulatan Pangan

27 Agustus 2015   05:24 Diperbarui: 27 Agustus 2015   07:21 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekhawatiran itu membuat dua perempuan yang bangga menyebut diri mereka sebagai petani mulai mengembangkan usaha pemuliaan benih lokal bersama komunitas mereka. Sebut saja Dian Pratiwi Pribadi, seorang ibu muda dari Kediri mahasiswi Magister di Universitas Wageningen, Belanda ini mulai melakukan pemuliaan benih bersama komunitasnya dan organisasi KIBAR. Dian juga bekerjasama dengan seorang ibu dari Jawa Barat bernama Nissa Wargadipura yang melakukan pemuliaan benih lokal di pesantren yang didirikan dan dikelolanya bersama suaminya di Garut, Jawa Barat. Di pesantren bernama At-Thariq yang lebih dikenal sebagai Pesantren Ekologi Kebon Sawah inilah Nissa bersama kelurga dan santrinya melakukan upaya pemuliaan benih lokal dari kebun mereka sendiri yang disebut kebun 'acak kadut' yang berjarak sejengkal saja dari rumah. Selain menyediakan benih untuk mereka kepentingan pesantren sendiri, kini Nissa bahkan telah menyediakan benih dan teh herbal untuk dijual. Penjualan benih-benih dari pesantren ini dilakukan bersama sebuah organisasi Teras Mitra, sebuah organisasi yang membantu para komunitas lokal menjual komoditas mereka bahkan hingga level internasional.

Dian dan Nissa yang memiliki jaringan level nasional dan internasional untuk gerakan bank benih dan pangan organik kini akan belajar selama satu bulan lamanya di Earth University di Doon Valley, Uttarakand, India Utara dalam kegiatan bernama "A-Z of Agroecology and Organic Food System".Keberangkatan mereka juga didukung oleh MANTASA, sebuah lembaga penelitian multidisplin yang bergerak dalam penelitian tanaman liar untuk bahan pangan.

Mereka akan belajar selama 30 hari selama 1-30 September 2015 bersama Dr. Vandana Shiva dan komunitas-komunitas lokal yang mengembangkan bank benih lokal di India. Dr. Vandana Shiva yang pernah ke Kediri, Jawa Timur dalam kegiatan Pameran Pangan Organik dan tanaman organik ini merupakan seorang ekofeminis, penulis buku, peraih nobel perdamaian dan penggagas bank benih lokal di India. Vandana telah membantu lebih dari 45 komunitas petani di 18 negara bagian di India untuk mendirikan bank benih lokal dan menjadi petani mandiri dan berdaulat atas pangan. Sebanyak 500.000 orang petani telah dilatihnya. Sebagai aktivis yang melawan kepongahan perusahaan agroindustri yang merusak kehidupan petani, pangan adalah senjata Vandana. Ia mendidik petani agar melawan kepongahan itu dengan menanam pangan dari benih lokal yang mereka muliakan sendiri. Bagaimanapun, setiap lokasi memiliki pangan lokal sendiri-sendiri dan petani harus memiliki kekuatan untuk melindungi pangan lokal mereka dari perang pangan yang dilancarkan perusahaan agroindustri yang berorientasi bisnis.

Benih dan petani adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan dari kehendak nasional pemerintah untuk kedaulatan pangan (food sovereignity). Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan bahwa "Kedaulatan Pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga—yang berdasarkan pada prinsip solidaritas."

Kedaulatan pangan sendiri mengikuti prinsip-prinsip dasar dimana semuanya harus pendukung petani sebagai pihak pertama. Mulai dari alat produksi yaitu tanah, benih, model dan skala produkdi, distribusi, pasar, dan energi harus berpihak pada petani. Konsep ini berbeda dengan ketahanan pangan yang hanya berpatokan pada ketersedian bahan pangan, karena kedaulatan bermakna 'berdaulat' dimana petani sebagai penghasil pangan diberi kesempatan dan perlindungan hukum untuk menjadi terdidik dalam upaya memimpin gerakan kemandirian pangan sejak dari komunitas lokal sehingga mampu menjaga ketersediaan pangan lokal dan nasional.

Jika kita belajar dari petani Thailand yang produknya membanjiri pasar-pasar nasional bahkan hingga ke pelosok-pelosok negeri kita pertama-tama harus belajar pada visi Departemen Pertanian mereka sebagai "Thailand Kitchen of the World". Thailand misalnya tidak menjadikan sawit dan karet sebagai komoditas utama sebagaimana halnya Indonesia dan Malaysia karena akan mengorbankan lahan-lahan subur, melainkan menanamnya di lahan-lahan tidak subur sehingga tidak terjadi konversi besar-besaran lahan hutan. Thailand fokus pada pengembangan sayuran dan buah di lahan-lahan subur. Negara bahkan memberikan dukungan penuh untuk penelitian dan pelatihan sampai mendirikan Bank of Agriculture untuk membantu permodalan petani. Juga perbaikan infrastruktur dan pasar secara professional. Semuanya untuk membantu petani. Ibu dari Raja Bumibol bahkan mengembangkan program Doi Tung yang merubah komunitas-komunitas lokal yang dulunya merupakan petani opium menjadi petani bunga, kopi dan biji makademia. Kopi Doi Tung bahkan kini dikenal sebagai kopi yang kemahalannya melebihi kopi Starbuck. 

Kebijakan pro petani juga bisa kita lihat dari Vietnam dimana program Delta Mekong menjadikan Vietnam sebagai eksportir beras yang terkuat di Asia dan internasional selain Thailand, yang berasnya sampai juga ke dapur-dapur petani Indonesia. Sebagai bahan pangan sensitif bertaraf internasional, Vietnam menjadikan beras sebagai komoditas strategis dan memberikan beragam kemudahan pada petani seperti pembebasan pajak pengairan dan pajak lahan. Kalau petani gagal panen karena bencana misalnya, pemerintah akan mengganti biaya produksi benih dan pupuk sehingga petani tidak terpuruk dan bangkrut.

Nah, bagaimana dengan petani Indonesia yang selama 70 tahun merdeka dari penjajahn asing justru mengalami berbagai macam penggusuran seperti untuk konversi ke perkebunan sawit besar-besaran? atau untuk pendirian pabrik semen, perumahan dan peruntukan lainnya yang bukan untuk pertanian? Sedih kan? Tapi kita yakin harapan masih ada dan berharap Dian dan Nissa membawa pelajaran penting dari India. Nissa dan Dian hanyalah dua sosok dari ratusan sosok lainnya yang bergerak melalui komunitas mereka untuk kedaulatan pangan. Jika kebijakan pemerintah kita belum berpihak pada petani, maka kita berharap petani-petani terdidik seperti Dian dan Nissa akan menjadi ujung tombak upaya kedaulatan pangan di negeri ini sebagaimana halnya Dr. Vandana Shiva bersama petani-petani India. 

Depok, Agustus 2015

BACA JUGA

Teh Nissa dan Kedaulatan Pangan Ala Pesantren

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun