Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Reposisi LPDP: Strategi Responsif dan Antisipatif

11 Januari 2025   12:17 Diperbarui: 11 Januari 2025   12:44 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Posisi LPDP unik, karena saat ini pengelolaannya ada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tetapi berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia yang ada di Kementerian Pendidikan Tinggi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (selanjutnya disebut Kemenristek).

Kontroversi untuk mereka yang sudah menerima beasiswa LPDP perlu kembali dan bekerja di Indonesia ataukah tidak, sebenarnya tidak diperlukan. Karena secara aturan dan komitmen penerima beasiswa sudah sangat jelas, bahwa mereka harus kembali ke Indonesia sesuai dengan peraturan yang berlaku dan sesuai dengan pernyataan yang mereka tanda tangani di atas meterai.

Juga bukan kewenangan Menteri Pendidikan Tinggi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memutuskan penerima beasiswa perlu kembali ke Indonesia atau tidak, kecuali LPDP diserahkan kewenangannya kepada Kemenristek. Jika pun kewenangan diserahkan kepada Kemenristek, sebaiknya aturan baru tidak berlaku surut, karena keputusan penerima beasiswa LPDP harus kembali ke Indonesia, tentunya sudah dipertimbangkan dengan masak oleh Kemenkeu.

Diskusi tentang hal tersebut relevan untuk penerima beasiswa LPDP di masa yang akan datang. Sudah saatnya Pemerintah melakukan reposisi LPDP, menyusun strategi pembangunan sumber daya manusia yang terintegrasi antar departemen, termasuk mempertimbangkan strategi responsif dan/atau antisipatif yang diperlukan untuk pembangunan sumber daya manusia.

Fakta yang Perlu Dipertimbangkan

Fakta pertama yang harus dipertimbangkan apakah penerima beasiswa perlu kembali ke tanah air ataukah tidak, adalah bahwa tidak banyak industri domestik mampu me-lead pengembangan Sumber Daya Manusia untuk suatu industri baru yang belum jelas ujungnya akan kemana dalam jangka panjang. Yang ujungnya jelas pun dan pengetahuan serta sumber daya manusianya sudah ada belum tentu industri mau mengembangkannya.

Kutipan keluhan peneliti Universitas Airlangga, Profesor Junaidi Khotib, bisa menjadi ilustrasi yang baik untuk fakta tersebut di atas (lihat https://unair.ac.id/peneliti-unair-raih-hak-paten-berkat-proses-ekstraksi-tropomyosin-udang-penyebab-alergi/ dan https://unair.ac.id/potensi-ekstrak-alergen-udang-sebagai-agen-imunoterapi-food-allergy/). Menurut dua berita dari Unair tersebut di atas, Prof. Junaidi ini menemukan ekstrak alergen udang. Ekstrak ini dapat digunakan sebagai terapi alergi untuk pengobatan jangka panjang yang dapat mengubah landskap industri obat dari yang bersifat simtomatik (pereda gejala) menjadi industri kausatif (penghilang penyebab penyakit).

Menurut Prof. Junaidi, kerja sama dengan industri merupakan salah satu kendala terberat yang harus dihadapi. Ketika industri yang bersifat kausatif dikembangkan, maka produk simtomatik yang ada di pasar akan mengalami penurunan penjualan dan hal ini menyebabkan kerugian bagi pelaku industri simtomatik. Dengan alasan inilah temuan Prof. Junaidi sulit dikembangkan oleh industri obat yang ada di Indonesia.

Kendala berat lainnya adalah terkait peralatan laboratorium yang diperlukan untuk pengembangan ekstrak tersebut. Beruntungnya, setelah proses pendanaan dari Kemenristekdikti dan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat terhenti akibat Covid-19, Unair mampu membiayainya melalui Badan Pengembangan Bisnis Rintisan dan Inkubasi. Tidak banyak perguruan tinggi yang punya perhatian dan memiliki dana seperti ini. 

Keterbatasan laboratorium merupakan kendala besar yang merupakan faktor lain yang perlu dipertimbangkan, apakah penerima beasiswa LPDP harus kembali ke tanah air atau tidak. Bayangkan saja, betapa frustasi anda, jika anda peneliti lulusan dari luar negeri dengan pengetahuan terdepan (state of the art) kembali ke tanah air, lalu di Indonesia tidak tersedia dana untuk pengembangan penelitiannya, tidak tersedia laboratorium yang diperlukan, dan hasil risetnya tidak dapat dimanfaatkan atau dikembangkan lebih lanjut.

Dana riset, ketersediaan laboratorium dan pemanfaatan hasil riset adalah faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan apakah penerima beasiswa LPDP harus kembali ke tanah air ataukah tidak.

Perlunya Rencana Pengembangan SDM

Dalam beberapa podcast, baik Menteri maupun Wakil Menteri Kemenristek membuat berbagai pernyataan yang menjanjikan. Misal, dalam acara Kick Andy Metro TV, Wamen Stella Christie menyatakan bahwa negara, dengan dana yang ada, harus menentukan prioritas penelitian apa yang diperlukan negara. Wamen memberikan contoh tentang kebutuhan untuk 28 komoditas hilirisasi yang berarti negara memerlukan riset dan keahlian di bidang hilirisasi ke-28 komoditi tersebut.

Alangkah indahnya, jika apa yang dinyatakan baik oleh Menteri maupun Wamennya kemudian disusun dalam sebuah rencana strategis pengembangan sumber daya manusia di Indonesia. LPDP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam rencana strategis tersebut. Oleh karenanya selayaknyalah LPDP diserahkan pengelolaannya kepada Kemenristek. Inilah yang saya maksud dengan reposisi LPDP.

Rencana Responsif dan atau Antisipatif

Bertahun-tahun lamanya di Indonesia kita selalu mendiskusikan tentang link and match. Dalam pandangan saya link and match merupakan bagian dari strategi responsif. Artinya industrinya sudah ada dan industri memerlukan tenaga kerja, sehingga perguruan tinggi diharapkan mampu memasok kebutuhan tenaga kerja industri tersebut.

Namun, strategi responsif tidak cukup. Industri-industri baru akan tertinggal kemunculannya dan bisa saja industri baru akan menggilas industri yang sudah ada saat ini. Saat ini kita menyaksikan bagaimana Bukalapak harus mereposisi arah perusahaannya, Tokopedia melakukan PHK setelah merger dengan Tiktokshop, Alfamart menutup 400 gerainya, adalah bukti industri eksisting tergilas oleh salah satunya Tiktokshop dan para afiliatornya.

Diperlukan strategi yang merupakan antisipasi perkembangan sains dan teknologi dan industri. Apa yang akan terjadi setelah hampir semua industri saat ini sudah beralih ke basis kecerdasan buatan? Resistensi industri simtomatik seperti yang digambarkan oleh Prof. Junaidi adalah industri yang mungkin suatu saat akan menjadi sunset industry. Orang-orang seperti Prof. Junaidi bisa ada dan berkembang, hanya jika Kemenristek memiliki strategi antisipatif.

Lulusan penerima beasiswa LPDP hasil strategi antisipatif, tentunya tidak sepatutnya langsung harus kembali ke Indonesia ketika mereka lulus. Kepulangan mereka bisa berakibat rasa frustasi mereka karena dana riset tidak tersedia, laboratorium tidak memadai, hasil riset tidak dapat dikembangkan lebih lanjut atau tidak dapat diimplementasikan di industri. Mereka inilah yang tidak perlu diwajibkan pulang setelah lulus.

Lalu apa manfaatnya memberikan beasiswa kepada mereka, jika mereka tidak wajib kembali ke tanah air. Manfaatnya tentu banyak, seperti pembentukan jaringan, kemungkinan mereka memprioritaskan merekrut peneliti atau asisten peneliti atau mahasiswa dari Indonesia, selain tentunya menjadi dosen tamu atau menjadi nara sumber saat industri yang membutuhkan keahlian mereka tumbuh.

Penutup

Mari kita hentikan polemik lulusan penerima beasiswa LPDP harus kembali ke Indonesia atau tidak dengan (1) melakukan reposisi LPDP, (2) meminta Kemenristek untuk menyusun dan mempresentasikan rencana strategis pengembangan sumber daya manusia Indonesia kepada publik, dan (3) memasukkan strategi responsif dan antisipatif ke dalam rencana strategis mereka.

Mampukah Kemenristek? Harus mampu. Kemenristek dipimpin oleh para profesor. Saatnya para profesor ini menjadi contoh bagaimana seharusnya profesor berperan. Profesor bukan cuma berperan untuk akreditasi perguruan tinggi, menerima tunjangan kehormatan atau menghasilkan publikasi abal-abal. Saatnya profesor mampu memberikan alternatif konkrit untuk masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun