Perlunya Rencana Pengembangan SDM
Dalam beberapa podcast, baik Menteri maupun Wakil Menteri Kemenristek membuat berbagai pernyataan yang menjanjikan. Misal, dalam acara Kick Andy Metro TV, Wamen Stella Christie menyatakan bahwa negara, dengan dana yang ada, harus menentukan prioritas penelitian apa yang diperlukan negara. Wamen memberikan contoh tentang kebutuhan untuk 28 komoditas hilirisasi yang berarti negara memerlukan riset dan keahlian di bidang hilirisasi ke-28 komoditi tersebut.
Alangkah indahnya, jika apa yang dinyatakan baik oleh Menteri maupun Wamennya kemudian disusun dalam sebuah rencana strategis pengembangan sumber daya manusia di Indonesia. LPDP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam rencana strategis tersebut. Oleh karenanya selayaknyalah LPDP diserahkan pengelolaannya kepada Kemenristek. Inilah yang saya maksud dengan reposisi LPDP.
Rencana Responsif dan atau Antisipatif
Bertahun-tahun lamanya di Indonesia kita selalu mendiskusikan tentang link and match. Dalam pandangan saya link and match merupakan bagian dari strategi responsif. Artinya industrinya sudah ada dan industri memerlukan tenaga kerja, sehingga perguruan tinggi diharapkan mampu memasok kebutuhan tenaga kerja industri tersebut.
Namun, strategi responsif tidak cukup. Industri-industri baru akan tertinggal kemunculannya dan bisa saja industri baru akan menggilas industri yang sudah ada saat ini. Saat ini kita menyaksikan bagaimana Bukalapak harus mereposisi arah perusahaannya, Tokopedia melakukan PHK setelah merger dengan Tiktokshop, Alfamart menutup 400 gerainya, adalah bukti industri eksisting tergilas oleh salah satunya Tiktokshop dan para afiliatornya.
Diperlukan strategi yang merupakan antisipasi perkembangan sains dan teknologi dan industri. Apa yang akan terjadi setelah hampir semua industri saat ini sudah beralih ke basis kecerdasan buatan? Resistensi industri simtomatik seperti yang digambarkan oleh Prof. Junaidi adalah industri yang mungkin suatu saat akan menjadi sunset industry. Orang-orang seperti Prof. Junaidi bisa ada dan berkembang, hanya jika Kemenristek memiliki strategi antisipatif.
Lulusan penerima beasiswa LPDP hasil strategi antisipatif, tentunya tidak sepatutnya langsung harus kembali ke Indonesia ketika mereka lulus. Kepulangan mereka bisa berakibat rasa frustasi mereka karena dana riset tidak tersedia, laboratorium tidak memadai, hasil riset tidak dapat dikembangkan lebih lanjut atau tidak dapat diimplementasikan di industri. Mereka inilah yang tidak perlu diwajibkan pulang setelah lulus.
Lalu apa manfaatnya memberikan beasiswa kepada mereka, jika mereka tidak wajib kembali ke tanah air. Manfaatnya tentu banyak, seperti pembentukan jaringan, kemungkinan mereka memprioritaskan merekrut peneliti atau asisten peneliti atau mahasiswa dari Indonesia, selain tentunya menjadi dosen tamu atau menjadi nara sumber saat industri yang membutuhkan keahlian mereka tumbuh.
Penutup
Mari kita hentikan polemik lulusan penerima beasiswa LPDP harus kembali ke Indonesia atau tidak dengan (1) melakukan reposisi LPDP, (2) meminta Kemenristek untuk menyusun dan mempresentasikan rencana strategis pengembangan sumber daya manusia Indonesia kepada publik, dan (3) memasukkan strategi responsif dan antisipatif ke dalam rencana strategis mereka.