Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Ilmuwan Tidak Perlu Bergelar Profesor Doktor

7 Januari 2025   08:51 Diperbarui: 7 Januari 2025   10:04 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada dua hal yang menarik yang terjadi belakangan ini yaitu, pertama, berkembangnya tiktok sebagai media yang banyak digunakan masyarakat Indonesia. Kedua, media ini digunakan oleh masyarakat sebagai media untuk meng-counter pandangan-pandangan ahli yang dikemukakan di media-media mainstream, khususnya televisi. Kedua fenomena ini menghangat saat awal-awal Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 dan makin masif terjadi sampai saat ini.

Tiktok banyak dipilih karena kemudahan-kemudahan yang ditawarkan di dalam menyampaikan pendapat secara verbal. Juga proses merekam, meng-edit dan mengunggahnya tidaklah rumit. Jangkauannya juga sangat luas. Kompas.com (28/10/2024) menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara pengguna tiktok terbesar di dunia, mengalahkan Amerika Serikat. Angkanya menembus 157,6 juta per Juli 2024.

Tidak mengherankan, jika anggota masyarakat yang tidak sepakat dengan pandangan ahli yang mereka lihat di acara diskusi atau bincang-bincang di televisi, langsung merekam pendapatnya dan mengunggahnya di tiktok. Memang kesempatan mereka untuk diundang ke acara di televisi dan menyampaikan pendapat dan argumennya barangkali tidak ada. Tiktok-lah yang kemudian menjadi ajang bagi mereka untuk 'menandingi' acara televisi dan pandangan ahlinya.

Yang menarik adalah pendapat yang mereka counter di tiktok seringkali dikemukakan oleh para akademisi ahli yang bergelar profesor doktor. Dan, yang lebih menarik lagi adalah jika para profesor doktor tidak mengutip atau melampirkan data atau riset yang mendukung pendapat mereka, para 'ahli' di tiktok bahkan mampu menunjukkan artikel ilmiah atau data-data yang mendasari keberatan mereka terhadap pandangan para profesor doktor.

Contohnya, perdebatan tentang greenflation di Pilpres 2024: apa sebenarnya yang dimaksud dengan greenflation, penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya. Dalam beberapa kasus, para 'ahli' di tiktok bahkan bisa lebih diyakini kebenarannya dibanding pandangan para profesor doktor di acara bincang televisi, karena para 'ahli' di tiktok mencantumkan sumber kutipan artikel ilmiahnya, sementara para profesor doktor di televisi hanya beropini saja.

Selain berisikan pandangan mereka sendiri, banyak pengguna tiktok juga sering memadankan pandangan yang berbeda yang mereka temukan di media mainstream. Yang menariknya lagi sering kita tonton di tiktok cukilan acara televisi, dimana pendapat seorang profesor doktor dipatahkan argumennya oleh orang 'biasa' yang tidak menonjolkan gelar akademiknya.

Contohnya seorang profesor doktor yang belajar ilmu politik sejak tahun 1978, argumennya dengan mudah dipatahkan oleh seorang yang 'hanya' mengaku sebagai dalang. Seorang ahli filsafat, argumennya juga dengan mudah dipatahkan oleh politisi yang tidak menonjolkan gelar atau keahlian akademiknya. Contoh lainnya bisa diperpanjang layaknya litani. Dan, semuanya itu dengan mudah kita dapatkan dan tonton di tiktok.

Ilmuwan 'Kampus' versus 'Ilmuwan Tiktok'

Untuk mengkontraskan mereka yang berpendapat di televisi dan menonjolkan gelar akademiknya, saya menyebutnya sebagai ilmuwan 'kampus', karena mereka memang berasal dari kampus atau universitas, bahkan dari universitas ternama. Sementara, mereka yang meng-counter pendapat para profesor doktor, saya sebut sebagai 'ilmuwan tiktok'.

'Perdebatan' terakhir yang sangat heboh adalah terkait dengan nama mantan presiden Indonesia yang dimasukkan ke dalam daftar nominasi finalis tokoh kejahatan terorganisasi dan terkorup 2024 OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) (hukumonline.com 6/1/2025). Beberapa tokoh yang bergelar profesor, kandidat doktor dan master mengamini pencalonan tersebut, dan menyatakan kelayakannya bagi yang bersangkutan untuk memperoleh award terkorup dari OCCRP. Sementara 'ilmuwan tiktok' mencoba meng-counter-nya. 'Ilmuwan tiktok' berpendapat bahwa untuk menobatkan seseorang sebagai pemimpin terkorup oleh OCCRP diperlukan bukti, bukan hanya persepsi.

Menariknya, OCCRP kemudian seolah mengamini para 'ilmuwan tiktok' yang dalam rilisnya mengatakan: 'OCCRP has no evidence that xxx engaged in corruption for personal financial gain during his presidency'. Yang menariknya lagi, keputusan akhir sebagai tokoh yang diberi award oleh OCCRP justru bukan datang dari kandidat yang dinominasikan oleh warga. Daftar nominasi tentu tidak dihapus, tetapi orang Indonesia yang ada dalam daftar nominasi dianggap tidak ada bukti konkrit oleh OCCRP, sehingga tidak dipilih oleh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun