Sumber Perdebatan: Ilmu Bebas Nilai?
Saya termasuk yang berpandangan bahwa ilmu, khususnya ilmu sosial, tidaklah bebas nilai. Berbeda dengan ilmu eksakta yang hanya ada one best solution, ilmu sosial mengakui ada banyak 'kebenaran' atau ada banyak solusi, tergantung pada asumsi dan konteksnya.
Kembali ke nominator tokoh OCCRP. Istilah tokoh terkorup harus didefinisi-operasionalkan: apakah dilihat pada pelemahan insitusi hukum saat dia berkuasa, atau dilihat dari usaha untuk memperkaya diri sendiri. Jika definisi operasionalnya yang pertama, maka mungkin layak yang bersangkutan dinominasikan, sementara jika definisi operasionalnya yang kedua, maka seperti yang disampaikan OCCRP yang bersangkutan tidak layak disebut melakukan korupsi karena tidak ada bukti yang bersangkutan memperkaya diri sendiri. Definisi operasional penting dalam ilmu sosial agar kebenaran yang diyakini sesuai dengan asumsi atau konteksnya.
Saya teringat diskusi saya dengan Christian Lund, profesor dari Universitas Kopenhagen. Christian berpendapat benar bahwa penelitian kualitatif bersifat subjektif, karena peneliti berperan penting sebagai instrumen utama dalam pengumpulan dan intepretasi data. Tetapi harus diingat, kata Christian, semua langkah dalam penelitian harus objektif. Sebagai contoh, tidak dibenarkan peneliti hanya memilih sampel yang sepakat dengan pandangannya atau hipotesisnya dan mengabaikan atau bahkan 'membuang' sampel yang bertentangan dengan hipotesisnya.
Problem utama bagi beberapa 'ilmuwan kampus' di acara televisi adalah keberpihakan mereka. Mereka memilih satu nilai tertentu, sehingga tidak bebas nilai. Namun, dalam beberapa kasus argumen mereka mudah dipatahkan oleh 'ilmuwan tiktok' karena mereka hanya memilih fakta yang sesuai dengan pandangan mereka dan mengabaikan fakta objektif yang bertentangan dengan pandangan mereka. Tentu hal ini patut disayangkan, karena 'ilmuwan kampus'-lah yang selama ini belajar tentang keilmiahan sebuah tulisan, paling tidak saat mereka menulis skripsi, tesis atau disertasi.
Kembali ke kasus OCCRP. 'Ilmuwan kampus' benar bahwa ada jurnalisme investigatif dan penggunaan polling untuk mengetahui pendapat atau persepsi yang berkembang dalam masyarakat. Namun, beberapa dari mereka mengabaikan, baik secara sengaja ataupun tidak, kriteria yang digunakan oleh OCCRP dalam menentukan tokoh yang akan diberi gelar oleh OCCRP.
Pengabaian kriteria ini bisa saja disebabkan karena keberpihakan, dan mereka secara sengaja melupakan definisi operasional korupsi yang digunakan oleh OCCRP. Atau, karena mereka tidak melakukan kajian sebelumnya tentang kriteria yang digunakan OCCRP. Kedua alasan tersebut merupakan cacat yang fatal bagi seorang ilmuwan dalam berpendapat secara lisan atau melalui tulisan.
Ciri Ilmuwan
Salah satu ciri seseorang disebut ilmuwan adalah meneliti. Saat yang bersangkutan berpendapat atau menulis, maka pendapat dan tulisannya harus berdasarkan penelitian. Penelitian tidak selalu harus berupa penelitian lapangan, tetapi bisa juga berupa penelitian pustaka. Akan lebih valid jika penelitian-penelitian yang mereka gunakan sebagai landasan mereka berpendapat atau menulis adalah penelitian yang dikategorikan sebagai penelitian ilmiah.
Lalu apa ciri penelitian ilmiah? Uma Sekaran dan Roger Bougie dalam bukunya Research Methods for Business menunjukkan beberapa ciri penelitian ilmiah. Beberapa yang relevan akan dikutip di tulisan ini.
Pertama sebuah penelitian disebut ilmiah jika metode penelitiannya baik dan ada koherensi antar bagian dalam penelitian atau dalam istilah mereka metode penelitian harus rigor. Jadi tentunya tidak tepat metode polling yang digunakan OCCRP digunakan untuk mendorong aparat penegak hukum di Indonesia untuk menindaklanjuti nominasi oleh OCCRP seperti yang direkomendasikan seorang pakar hukum tata negara (lihat IDN Times 1 Januari 2025 di bawah laporan yang berjudul 'Pakar Hukum Dorong Aparat Tindak Lanjuti xxx Masuk Nominasi OCCRP').