Sebagai penulis pemula di Kompasiana, saya terkejut ketika beberapa hari yang lalu saya mengunggah tulisan yang berjudul 'Buah Simalakama? Penegakan Hukum Penembakan Siswa SMKN 4 Semarang oleh Oknum Polisi'. Tulisan saya tidak muncul di halaman akun saya.
Saya menerima notifikasi dari Kompasiana yang menyatakan bahwa tulisan saya akan ditinjau ulang sebelum ditayangkan. Disitu dituliskan bahwa hal ini dilakukan untuk sekedar memastikan tulisan saya tidak menimbulkan dampak yang kurang baik bagi interaksi di Kompasiana.
Untungnya setelah beberapa menit kemudian, saya kembali menerima notifikasi yang mengatakan bahwa artikel yang dimaksud telah diterbitkan kembali.
Keterkejutan saya bukan tanpa alasan. Menyadari bahwa konten di Kompasiana menjadi tanggung jawab pribadi bloger, saya sebenarnya sudah melakukan self censorship dan sangat berhati-hati dalam mengunggah tulisan dibandingkan, misalnya ketika saya mengirimkan tulisan ke surat kabar atau saat saya menulis untuk diskusi.
Tulisan saya untuk surat kabar dan diskusi tentang gerakan anti privatisasi sumber daya air, misalnya, jauh lebih 'berani' dan jauh lebih berpihak. Tulisan-tulisan saya tersebut bahkan sudah  saya bukukan ke dalam dua buku yang berjudul 'Air Bersih Perkotaan Indonesia: Dalam Konteks Pro dan Kontra UU No. 7 tahun 2004' dan 'Undang-undang Sumber Daya Air dari Barang Sosial ke Barang Ekonomi', yang dapat diunduh gratis.
Melindungi (Nara)Sumber Tulisan
Saya memang belum secanggih Clifford Geertz saat dia menulis buku tentang Abangan, Santri, dan Priyayi. Sampai saat ini tidak jelas lokasi persisnya konteks dalam buku tersebut berada, yaitu Modjokuto, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Namun, kita mampu 'merasakan' bahwa lokasi tersebut ada dan apa yang dituliskan dalam buku tersebut benar-benar ada. Belakangan baru orang mengasosiasikan Modjokuto sebagai Kota Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Benar atau tidak, tidak ada kepastian yang benar-benar pasti.
Saya belajar banyak dari Geertz, bahwa saat kita menuliskan sesuatu yang dapat menimbulkan kontroversi, sebaiknya kita menyamarkan bukan hanya narasumber tetapi juga lokasi yang digambarkan dalam tulisan. Meskipun belum sempurna, saya berusaha meniru Geertz saat saya menulis tentang nenek yang membawa cucu yang autis di tulisan saya yang berjudul 'Perlu Malukah Kita Mengajak Anggota Keluarga Difabel ke Tempat Ibadah?'. Saya menyadari bahwa itu belum sempurna, meski saya sudah berusaha mencontoh Geertz. Menyadari ketidaksempurnaan saya, sampai hari ini saya tidak berani menuliskan tentang politik uang di Pemilu di Indonesia.
Etika yang saya belajar dari Geertz adalah jangan memojokkan narasumber tulisan kita. Jangan sampai tulisan kita membahayakan narasumber kita, meskipun kita sudah memperoleh informed consent.
Saya pernah menulis tentang informed consent di tulisan saya yang berjudul 'Menempatkan Kedoktoran Bahlil pada Proporsinya' yang saya unggah di Kompasiana. Informed consent adalah dokumen wajib yang harus dimiliki oleh peneliti (dan tentunya juga penulis) yang menunjukkan bahwa narasumber memberikan persetujuan penuh untuk dipublikasikan pendapatnya kepada masyarakat luas. Meskipun kita sudah memiliki informed consent, sebaiknya jika tulisan kita membahayakan posisi narasumber, kita harus benar-benar menyamarkannya.
Jika terjadi ekses negatif dari tulisan kita, maka kewajiban kita adalah untuk tetap merahasiakan narasumber. Kita harus yang bertanggung jawab penuh terhadap tulisan kita. Kita mungkin masih ingat kasus Aiman Witjaksono yang akhirnya dipolisikan. Aiman tetap merahasiakan identitas narasumber dari mana dia memperoleh informasi tentang oknum polisi yang tidak netral. Meskipun akhirnya kasus ini dihentikan oleh polisi (Detik News, 28 Maret 2024), Aiman sempat diperiksa polisi terkait dengan dugaan penyebaran berita hoaks tentang ketidaknetralan polisi (Suara Merdeka, 29 November 2023).
Karena saya tidak sehebat Aiman dan tidak memiliki reputasi dan dukungan sehebat Aiman, dalam menulis di Kompasiana, saya harus lebih berhati-hati. Jangan sampai tulisan saya di Kompasiana menimbulkan ekses negatif kepada semua pihak, termasuk kepada diri saya.
Dalam artikel yang ditunda penayangannya oleh Kompasiana, saya sudah berusaha untuk melakukan prinsip cover both side. Saya berusaha untuk melihat kasus penembakan siswa SMKN 4 dari dua sudut yang berbeda atau berlawanan, yaitu dari sudut korban penembakan dan dari sudut polisi penembak.
Selain itu, untuk melindungi diri saya agar tidak mengalami kejadian seperti Aiman, saya mengubah opini menjadi fakta.
Mengubah Opini Menjadi Fakta
Tulisan saya di Kompasiana dapat dikategorikan sebagai tulisan ilmiah populer yang juga berisikan opini saya. Namun, saya berusaha sedapat mungkin mendasarkan opini saya dengan fakta, atau bahkan mengubah opini menjadi fakta.
Saya pernah menulis di buku saya 'Teknik Menulis Skripsi, Tesis, dan Artikel Ilmiah', bahwa fakta berarti bahwa kita dapat membuktikan apakah sebuah pernyataan benar atau tidak melalui sebuah penelitian. Sebaliknya opini berisikan penilaian atau judgement personal yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya atau kekeliruannya.
Kita dapat mengubah opini menjadi fakta dengan cara memberikan sumber kutipan dan memberikan contoh. Misalnya dalam artikel saya di Kompasiana 'Galon Plastik, Pertarungan Konstruksi Sosial' saya menuliskan opini saya tentang bahaya mikroplastik dengan menambahkan sumber kutipan dari Bhuyan (2022), (Jovanovi, 2007), dan Blackburn and Green (2022) agar opini tersebut menjadi fakta. Opini bisa berubah menjadi fakta yang kuat jika kita memberikan sumber referensi yang valid dan terpercaya. Yang berbahaya adalah jika ketika saya menuliskan bahaya mikroplastik, saya hanya mendasarkan diri pada opini saya yang tidak dapat dicek kebenarannya.
The Way Forward
Notifikasi Kompasiana kepada saya menyadarkan saya bahwa ke depannya saya harus lebih berhati-hati dalam menulis, khususnya menulis hal-hal yang kontroversial. Saya harus lebih berhati-hati terkait dengan prinsip cover both side, etika terkait dengan (nara)sumber tulisan, etika terkait dengan sumber kutipan (jangan sampai saya mengutip, tetapi saya tidak mencantumkan sumber kutipan dan bertindak seolah-olah pernyataan tersebut adalah pernyataan saya), dan etika terkait dengan pembuatan judul (jangan terlalu menggeneralisir judulnya, sementara isinya tidak se-general judulnya).
Terima kasih Kompasiana untuk notifikasinya. Semoga tulisan ini juga bermanfaat bagi pembaca dan penulis.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI