Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Buah Simalakama? Penegakan Hukum Penembakan Siswa SMKN 4 Semarang oleh Oknum Polisi

3 Desember 2024   09:58 Diperbarui: 4 Desember 2024   10:44 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak 24 November 2024 Kota Semarang dihebohkan oleh penembakan seorang siswa SMKN 4 Semarang yang mengakibatkan korban meninggal. Dengan mengutip Kompas.com dan Kompas.TV, ada tiga hal yang menarik dari kasus ini.

Pertama yang menembak adalah oknum polisi. Kedua, siswa yang ditembak adalah anggota Paskibra yang berprestasi, dan pihak sekolah menegaskan bahwa korban dikenal sebagai anak baik.

 Ketiga, pihak kepolisian mengklaim bahwa oknum polisi terpaksa menembak, karena siswa yang bersangkutan terlibat tawuran antara Gangster Tanggul Pojok dan Gangster Seroja. Menurut pihak kepolisian korban ditembak karena melawan saat diringkus. Ini kemudian diralat oleh polisi. 

Sebagai tambahan informasi, beberapa bulan terakhir Kota Semarang dihebohkan dengan fenomena kreak (gangster). Dengan mengutip Kumparan.com, kreak diasosiasikan dengan sekelompok orang yang kerap membuat kegaduhan, berkelakuan norak dan sok-sokan, bahkan tak jarang mereka melakukan perkelahian layaknya gangster hingga memakan korban. 

Korban bahkan bisa bukan berasal dari kelompok mereka, tetapi masyarakat lain seperti seorang mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro yang tewas dibacok gerombolan kreak (Radar Semarang, 18 September 2024).

Dengan tiga hal yang menarik di atas, dan kegelisahan akibat munculnya fenomena kreak itulah yang membuat kasus penegakan hukum penembakan siswa SMKN 4 oleh oknum polisi menjadi menarik perhatian masyarakat. Apalagi semula penembakan siswa SMKN 4 ini dikaitkan dengan tawuran antar geng, yang kemudian diralat oleh pihak kepolisian.

Berbagai protes dilakukan oleh masyarakat atas kasus penembakan ini. Massa Aksi Kamisan dan mahasiswa melakukan aksi solidaritas, pelajar dan mahasiswa geruduk Polda Jateng menuntut keadilan, alumni SMKN 4 Semarang bersama dengan masyarakat melantunkan doa dengan membawa lilin di depan Gedung SMKN 4 Semarang, adalah beberapa bentuk protes yang telah dilakukan. 

Sampai Komnas HAM pun mendesak polisi penembak diproses pidana. Bahkan, saat ini di Media X (dulu twitter) beredar rekaman CCTV yang diunggah ulang oleh beberapa akun X yang bersumber dari Narasi TV tentang proses yang diklaim sebagai penembakan oleh oknum polisi tersebut, yang kemudian dibenarkan oleh pihak kepolisian saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR-RI.

Polda Jawa Tengah juga langsung merespon dengan menjebloskan penembak ke sel tahanan dan berdasarkan pemeriksaan Tim Paminal Propam Polda Jawa Tengah polisi penembak telah ditetapkan sebagai tersangka (CNN, 27 November 2024).

Buah Simalakama?

Jika tidak ditangani dengan baik, kasus ini bisa 'mengorbankan' siswa SMKN yang ditembak dan juga bisa 'mengorbankan' polisi penembak. Jika akhirnya polisi penembak dinyatakan bersalah, padahal polisi tersebut benar-benar mencoba untuk mencegah timbulnya hal-hal negatif dari membawa senjata tajam saat mengendarai sepeda motor saat tengah malam, maka hal ini bisa menimbulkan apatisme polisi dalam menjaga keamanan masyarakat Semarang, khususnya dari kreak. Meskipun menembak dan menimbulkan korban jiwa diakui oleh kepolisian sebagai tindakan yang berlebihan.

 Polisi tidak akan mengambil resiko untuk menindak tawuran dan menghentikan fenomena kreak, serta mencegah potensi terjadinya tindakan kriminal, jika dia tidak secara resmi ditugaskan untuk kepentingan tersebut. Bisa jadi saat polisi dalam perjalanan pulang dari atau berangkat ke kantor dan melihat adanya tawuran atau potensi tawuran dan tindakan kriminal lainnya, polisi akan 'membiarkan'-nya, karena ada resiko kontroversi dalam masyarakat yang bisa berakibat buruk pada dirinya. 

Menurut Irjen. Pol (Purn) Rikwanto dalam RDP Komisi III DPR-RI, saat polisi ke lapangan, satu kaki polisi ada di kuburan dan satu kaki yang lain ada di penjara. Dua-duanya buruk bagi polisi. Salah bertindak akan terbunuh atau masuk penjara. Lebih baik yang aman-aman saja, toh si polisi bukan ada di saat dinas, tetapi sedang di perjalanan pulang dari kantor.

Namun, jika polisi penembak dinyatakan tidak bersalah atau hanya dinyatakan bersalah bertindak berlebihan, sementara masyarakat yakin bahwa korban bukan anggota gangster dan memang bukan anggota gangster, maka bukan hanya akan muncul ketidakpercayaan masyarakat kepada polisi, tetapi juga akan melegalkan pelanggaran hak asasi manusia berat. 

Hal ini juga akan memperburuk citra polisi yang saat ini sedang 'dituduh' oleh sebagian politisi sebagai 'parcok' yang melakukan intervensi dalam pilpres dan pilkada untuk memenangkan paslon tertentu, khususnya paslon Gubernur Jawa Tengah.

Menyatakan penembak bersalah atau tidak bersalah, jika tidak dilakukan investigasi yang kredibel dan transparan hanya akan menimbulkan kontroversi baru yang dampaknya akan lebih parah, seperti apatisme polisi, makin maraknya kreak, isu pelanggaran berat hak asasi manusia terhadap siswa SMKN 4, memburuknya citra lembaga kepolisian.

Tim Investigasi Independen

Melihat seriusnya dampak yang ditimbulkan, sebaiknya investigasi dilakukan oleh Tim Investigasi Independen yang terdiri dari individu yang kredibel dari berbagai pihak. Dari pihak kepolisian bisa diwakili oleh Kompolnas yang memang bertugas membantu presiden untuk mengawasi kinerja Polri. 

Dari masyarakat sipil bisa diwakili oleh ahli forensik, lembaga swadaya masyarakat, anggota DPR. Komnas HAM dan Komnas Perlindungan Anak juga layak dilibatkan dalam proses investigasi.

Semakin kredibel anggota tim investigasi independen dan semakin transparan proses investigasi akan semakin kecil dampak negatif terhadap hasil investigasi. Pihak yang benar biar diposisikan sebagai mana mestinya, dan pihak yang salah selayaknya diproses secara hukum.

Jika tidak ada yang ditutupi, selayaknya pihak kepolisian lah yang menginisiasi terbentuknya tim investigasi independen. Kita tunggu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun