Setelah menimbulkan kontroversi dimana-mana, akhirnya UI memutuskan menangguhkan kelulusan Bahlil Lahadalia sebagai Doktor. Setelah melakukan rapat koordinasi empat organ UI, selanjutnya akan ada sidang etik yang akan menentukan kelulusan Bahlil.
Keputusan tersebut diambil merupakan wujud tanggung jawab dan komitmen UI untuk terus meningkatkan tata kelola akademik yang lebih baik, transparan, dan berlandaskan keadilan. Demikian pernyataan Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UI Yahya Cholil Staquf. Selanjutnya Yahya juga menyatakan bahwa permasalahan ini, antara lain bersumber dari kekurangan UI sendiri (Kompas.com).
Bahlil sendiri memberikan pernyataan yang berbeda. Menurut pemahaman Bahlil, yang dilakukan UI bukan mengenai penangguhan gelar doktornya, tetapi terkait wisudanya. Bahlil mengatakan bahwa dia dinyatakan lulus saat yudisium, dan yudisiumnya memang baru di Bulan Desember mendatang.
Mana yang benar? Tentunya selain mengutip pernyataan Ketua MWA juga harus dicek isi surat dari UI kepada Bahlil. Tetapi itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah mendudukkan persoalan pada tempatnya yang tepat.
Kesalahan UI?
Ketua MWA selain menyatakan bahwa masalah ini bersumber dari kekurangan UI sendiri, juga menyatakan telah dilakukan audit investigatif terhadap penyelenggaraan Program Doktor (S3) di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI. Audit mencakup pemenuhan persyaratan penerimaan mahasiswa, proses pembimbingan, publikasi, syarat kelulusan, dan pelaksanaan ujian.
Selain dihadiri oleh para profesor doktor dari UI, tim penguji juga melibatkan nama beken seperti Prof. Didik Junaidi Rachbini M.Sc., PhD dan Prof. Dr. Arif Satria. SP., M.Si. Juga hadir dalam sidang terbuka sejumlah pejabat tinggi, akademisi dan tokoh industri. Dari kalangan tokoh masyarakat hadir Prof. Dr. (HC) KH Ma'ruf Amin, Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Ketua MPRRI H. Ahmad Muzani, S.Sos. (Antara, 16 Oktober 2024).
Jadi tentunya saat itu sidang tidak bisa dilakukan secara serampangan dan main-main. Lalu, apakah benar penangguhan ini adalah karena kekurangan UI sendiri? Jika karena kekurangan UI, lalu bagaimana pertanggungjawaban UI bukan hanya kepada masyarakat yang melakukan protes terhadap pemberian gelar doktor kepada Bahlil, tetapi juga pada para pesohor negeri ini yang berasal dari luar UI, baik yang bertindak sebagai penguji maupun hadirin yang menyaksikan seremoni sidang terbuka?
Tentunya jika hal ini murni karena kekurangan UI, seharusnya UI menghargai semua proses yang dilakukan, dan bukannya menangguhkan kelulusan Bahlil dan mengabaikan semua pihak luar UI yang terlibat dalam sidang tersebut. Sudah selayaknya UI memberikan sanksi kepada jajarannya yang telah menyebabkan kelemahan ini terjadi.
Kesalahan Bahlil?
Satu pintu masuk untuk membatalkan, bukan hanya menangguhkan kelulusan Bahlil adalah pada keberatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang merasa dicatut sebagai informan dalam disertasi Bahlil.
Gelar Bahlil bisa saja dicabut karena pelanggaran etik terkait dengan Informed Consent. Informed consent adalah satu dokumen wajib yang harus dimiliki oleh peneliti yang menunjukkan bahwa partisipan, dalam hal ini Jatam, memberikan persetujuan penuh, seharusnya sampai pada publikasi (dalam hal ini disertasi Bahlil) setelah partisipan diberikan penjelasan utuh tentang prosedur penelitian.
Mungkinkah informed consent inikah yang menjadi kelemahan UI? Tetapi akan sangat mengherankan jika lembaga sebesar UI tidak memiliki panduan etika penelitian termasuk tentang Informed Consent.
Jika UI tidak memiliki panduan etika penelitian, maka kesalahan tidak dapat ditimpakan kepada Bahlil, dan pihak luar yang terlibat dalam ujian dan sidang terbuka Bahlil. Tetapi, jika sudah ada panduan etika penelitian yang mencakup juga tentang Informed Consent dan sanksi ketidakabsahan penelitian bagi yang melanggar, maka selayaknyalah gelar doktor Bahlil bukan hanya ditangguhkan, tetapi selayaknya dibatalkan.
Argumen UI yang Menentukan
Saya akan lebih mengapresiasi jika UI langsung masuk ke dalam etika penelitian dan hasil sidang etik, dibandingkan dengan hanya memberikan pernyataan mengambang 'karena bersumber dari kekurangan UI sendiri' dan 'menangguhkan kelulusan'. Lakukan sidang etik terlebih dahulu, baru membuat pernyataan. Jangan sampai pernyataan penangguhan kelulusan Bahlil hanya 'testing the water' saja.
Kita tunggu proses selanjutnya dan mari berharap UI dapat menempatkan kelulusan Bahlil pada proporsinya. Mudah-mudahan pendidikan tinggi kita yang sudah amburadul tidak semakin kacau dengan pernyataan terlalu awal dan keputusan yang gegabah. Apalagi di tengah para pesohor yang ingin mendadak doktor dalam istilah Ariel Heryanto (Kompas, 8 November 2024).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H