Gelar Bahlil bisa saja dicabut karena pelanggaran etik terkait dengan Informed Consent. Informed consent adalah satu dokumen wajib yang harus dimiliki oleh peneliti yang menunjukkan bahwa partisipan, dalam hal ini Jatam, memberikan persetujuan penuh, seharusnya sampai pada publikasi (dalam hal ini disertasi Bahlil) setelah partisipan diberikan penjelasan utuh tentang prosedur penelitian.
Mungkinkah informed consent inikah yang menjadi kelemahan UI? Tetapi akan sangat mengherankan jika lembaga sebesar UI tidak memiliki panduan etika penelitian termasuk tentang Informed Consent.
Jika UI tidak memiliki panduan etika penelitian, maka kesalahan tidak dapat ditimpakan kepada Bahlil, dan pihak luar yang terlibat dalam ujian dan sidang terbuka Bahlil. Tetapi, jika sudah ada panduan etika penelitian yang mencakup juga tentang Informed Consent dan sanksi ketidakabsahan penelitian bagi yang melanggar, maka selayaknyalah gelar doktor Bahlil bukan hanya ditangguhkan, tetapi selayaknya dibatalkan.
Argumen UI yang Menentukan
Saya akan lebih mengapresiasi jika UI langsung masuk ke dalam etika penelitian dan hasil sidang etik, dibandingkan dengan hanya memberikan pernyataan mengambang 'karena bersumber dari kekurangan UI sendiri' dan 'menangguhkan kelulusan'. Lakukan sidang etik terlebih dahulu, baru membuat pernyataan. Jangan sampai pernyataan penangguhan kelulusan Bahlil hanya 'testing the water' saja.
Kita tunggu proses selanjutnya dan mari berharap UI dapat menempatkan kelulusan Bahlil pada proporsinya. Mudah-mudahan pendidikan tinggi kita yang sudah amburadul tidak semakin kacau dengan pernyataan terlalu awal dan keputusan yang gegabah. Apalagi di tengah para pesohor yang ingin mendadak doktor dalam istilah Ariel Heryanto (Kompas, 8 November 2024).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H