Selama beberapa tahun terakhir Indonesia mengalami banyak sekali kemajuan dalam penerapan kebijakan terkait dengan perlindungan lingkungan hidup. Bertahun-tahun setelah diterbitkannya UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tahun 2017 Pemerintah akhirnya menerbitkan salah satu peraturan pelaksana untuk pemberlakuan instrumen ekonomi lingkungan hidup yaitu Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2017.
Saat ini, misalnya, kita sudah memiliki Bursa Karbon Indonesia untuk mengakomodasi kebutuhan perdagangan karbon di Indonesia. Seiring dengan diberlakukannya instrumen ekonomi lingkungan hidup dan harmonisasi peraturan perpajakan yang diatur dalam UU No. 7 tahun 2021, kita di Indonesia kemudian mengenal pajak karbon, meskipun waktu penerapannya masih ditunda hingga tahun 2025.
Salah satu instrumen ekonomi lingkungan hidup yang sangat potensial untuk menyatukan kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan hidup adalah subsidi lingkungan. Potensi penerapannya bisa pada industri kendaraan listrik, dan juga pada pengembangan energi yang lebih ramah lingkungan, seperti pengembangan pusat listrik tenaga angin, untuk mencapai swa sembada energi Kabinet Merah Putih. Atau, juga untuk mendorong produksi dan konsumsi produk yang ramah lingkungan lain, seperti barang elektronik hemat energi, kloset dan keran yang hemat air, baterai yang rechargable, dll.
Sayangnya, diskusi apalagi penerapan subsidi lingkungan masih jauh dari harapan. Artikel ringkas ini akan membahas tentang manfaat, mekanisme dan persyaratan penerapan, serta potensi masalah dan alternatif solusinya.
Manfaat Subsidi Lingkungan
Berbeda dengan pajak lingkungan dimana pemerintah memungut sejumlah tertentu uang dari perusahaan pencemar, dalam subsidi lingkungan pemerintah justru memberikan sejumlah dana untuk setiap unit polutan yang berhasil dikurangi oleh perusahaan.
Melalui cara seperti ini, pemerintah bisa menarik investor ke satu daerah tertentu yang memberlakukan subsidi lingkungan. Investornya bisa saja investor yang tidak ramah lingkungan. Dengan adanya subsidi, investor ini akan mendapat insentif untuk mengembangkan teknologi atau proses produksi yang lebih ramah lingkungan.
Insentif diperlukan karena seringkali diperlukan biaya yang besar untuk mengembangkan teknologi ramah lingkungan.Harapan investor adalah biaya pengembangan teknologi dapat di-cover oleh subsidi lingkungan yang diberikan oleh pemerintah.
Lalu apa manfaatnya bagi pemerintah? Memang betul pemerintah akan mengeluarkan dana dari APBN atau APBD untuk subsidi. Namun, dengan masuknya investor, akan ada efek pengganda. Lapangan pekerjaan akan semakin terbuka, permintaan sewa ruangan untuk perkantoran dan pabrik akan meningkat, bisnis baik yang langsung terkait maupun yang tidak terkait dengan investasi tersebut juga akan membaik, dan jangan lupa juga potensi penerimaan pajak juga meningkat.
Manfaat seperti ini yang jarang dilihat atau dilihat sebagai resiko oleh pemerintah dan juga anggota DPR/DPRD. Akibatnya, sering terjadi kontroversi jika pemerintah memberikan subsidi kepada pelaku usaha.
Mekanisme dan Persyaratan Teknis
Perlu disadari kondisi lingkungan hidup di satu daerah berbeda dengan daerah lain. Oleh karenanya, subsidi lingkungan harus diberlakukan untuk spesifik satu daerah tertentu. Subsidi lingkungan seharusnya bersifat subsidi untuk perusahaan yang melakukan investasi di daerah tertentu. Perusahaan yang melakukan investasi di bidang yang sama yang dilakukan di daerah lain tidak akan memperoleh subsidi lingkungan, karena kondisi lingkungannya berbeda. Perbedaan kondisi lingkungan juga berakibat subsidi untuk satu polutan berbeda dengan polutan yang lain.
Untuk sampai pada tarif subsidi lingkungan diperlukan data dan analisis data terhadap satu polutan tertentu. Perlu dihitung titik dimana jumlah polutan tertentu tidak membahayakan lingkungan. Secara teknis titik ekuilibrium ini diperoleh dari pertemuan kurva biaya marginal kerusakan yang ditanggung masyarakat dengan biaya marginal yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengurangi polusi. Biaya marginal berarti biaya yang dikeluarkan untuk penambahan satu unit polutan. Bedakan biaya marginal dengan biaya total penanggulangan polusi.
Sebagai contoh biaya marginal pengurangan polusi dari 10 unit ke 9 unit adalah Rp. 15. Sementara biaya marginal pengurangan polusi dari 9 unit ke 8 unit adalah Rp. 30. Maka, total biaya penanggulangan polusi dari 10 unit ke 8 unit adalah Rp. 45.
Tentu biaya per unit pengurangan polusi masing-masing perusahaan berbeda-beda. Pemerintah dapat menggunakan perhitungan biaya per unit penanggulangan polusi dengan menggunakan teknologi tertentu yang ramah lingkungan. Jika titik ekuilibrium jumlah polutannya sudah diketahui, maka tarif subsidi per unit dibuat agar pada titik ini perusahaan memperoleh selisih antara besarnya total subsidi dengan biaya total penanggulangan polusi jumlahnya paling maksimal.
Total polutan yang dibuang semua perusahaan, misal 10 unit. Jumlah polutan pada titik ekuilibrium adalah 4, maka untuk setiap unit polutan yang dapat dikurangi, perusahaan akan memperoleh subsidi sebesar tarif subsidi dikali jumlah polutan yang bisa dia kurangi. Pada titik polutan 4 unit, selisih total subsidi dengan total biaya yang dikeluarkan perusahaan adalah paling besar. Pada titik polutan di bawah 4, selisihnya tidak sebesar pada empat unit polutan, demikian juga untuk titik polutan di atas 4.
Masalah yang Mungkin Timbul dan Solusi
Subsidi lingkungan yang diberikan untuk kendaraan listrik, misalnya, bisa berakibat jumlah kendaraan menjadi meningkat. Jumlah kendaraan yang meningkat dapat mengakibatkan kemacetan. Memang benar jika peningkatan itu terjadi mayoritas pada kendaraan listrik, maka polusinya tidak akan meningkat. Namun, perlu diingat kemacetan juga menimbulkan biaya yang tidak sedikit, karena pergerakan orang dan barang akan semakin lama. Hal ini juga dapat terjadi untuk kasus industri selain mobil listrik. Lalu bagaimana solusinya?Â
Subsidi lingkungan juga harus diikuti dengan mekanisme perijinan yang baik. Ijin pendirian usaha yang diberi subsidi lingkungan harus disesuaikan dengan titik ekuilibrium dimana jumlah polutan yang dibuang oleh semua perusahaan atau produk yang berijin masih tidak berbahaya bagi lingkungan.
Sama seperti pajak lingkungan, subsidi lingkungan memerlukan perhitungan teknis yang ketat. Tiap daerah dan tiap polutan memerlukan perhitungan teknis yang berbeda. Hal ini lah dan ditambah kontroversi pengeluaran dana APBN/APBD untuk subsidi kepada pelaku usaha, yang membuat banyak kalangan pemerintahan enggan mengeluarkan kebijakan subsidi lingkungan. Namun, jika lebih banyak manfaat dibanding mudaratnya, tentu perhitungan teknis bukan merupakan masalah yang besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H