Dulu sewaktu masih muda, saya tidak pernah memikirkan apa yang akan terjadi saat saya berusia lanjut. Tetapi, menjelang usia 60 tahunan, saya sering merenung dan berdiskusi dengan istri saya tentang hari tua kita. Apa yang akan kita lakukan jika saat salah satu dari kita meninggal dunia atau saat kita sudah tidak mampu melakukan aktivitas fisik sendiri? Semula istri saya selalu menghindari diskusi tentang topik ini, karena memang diskusi tentang hal ini bukanlah sebuah imajinasi yang menyenangkan.
Kematian sudah bukan hal yang menakutkan bagi saya sejak saya berusia 45 tahunan. Kekhawatiran apa yang akan terjadi dengan anak dan istri saya, jika saya meninggal, dapat terhapuskan. Pada usia tersebut, saya terpaksa tinggal di Berkeley Amerika Serikat selama empat bulan, dan kemudian disusul tiga bulan saya tinggal di Nijmegen Belanda.
Saat saya tidak bersama anak istri, istri saya mengalami masalah dengan rumah kami yang rusak akibat pembangunan rumah tetangga. Dan, ternyata banyak orang yang membantu istri saya untuk melindungi, membela dan menyelesaikan masalah tersebut. Mulai dari tetangga, teman-teman dan bahkan pejabat RT dan RW tempat kami tinggal, mereka dengan antusias dan suka rela membantu istri saya. Dan, ternyata istri saya bisa menyelesaikan masalah tersebut dengan lebih elegan dibandingkan dengan saya yang cenderung temperamental dan emosional.
Umur panjang juga sudah bukan menjadi topik doa saya, setelah saya melihat apa yang terjadi setelah ayah saya meninggal. Karena tidak memiliki hobi dan memang dari muda membatasi diri dalam berinteraksi dengan orang lain, akhirnya 'pekerjaan' ibu saya sehari-hari adalah melamun. Entah apa yang dilamunkan. Ditambah lagi saat dia mengalami demensia. Ibu saya sudah hampir tidak bisa mengingat masa lalunya.
Akhirnya, saya berkesimpulan untuk diri saya sendiri bahwa sebaiknya jika dimungkinkan, saat saya hidup saya bisa melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi orang lain. Saya berharap, jika saya sudah tidak bermanfaat dan hanya merepotkan keluarga, maka semoga Tuhan segera memanggil saya. Dan, mudah-mudahan saya bisa mendengar panggilan-Nya.
Tinggal Di Panti Jompo?
Salah satu pilihan yang kemungkinan akan saya ambil, jika istri saya mendahului saya dan anak saya sudah menikah, adalah tinggal di panti jompo. Istri saya mengatakan bahwa jika saya melakukannya, hal ini bisa menjadi aib bagi anak saya dan keluarganya. Saya berpikiran berbeda.
Memang untuk tinggal di panti jompo diperlukan kepercayaan bahwa kita akan diperlakukan dengan baik. Yang juga sebenarnya tidak berbeda, saat kita merawat orang tua kita dan meminta suster atau asisten rumah tangga membantu menjaga orang tua kita saat kita harus meninggalkannya, baik untuk bekerja atau untuk keperluan lain. Kita harus percaya kepada suster atau asisten rumah tangga kita, bahwa dia akan memperlakukan orang tua kita dengan baik.
Saya berpikir, jika saya tinggal di rumah anak dan keluarganya dan anak dan menantu saya keduanya bekerja, maka biaya yang dikeluarkan untuk seorang perawat saja di Semarang sekitar Rp. 3 juta sebulan. Biaya itu belum termasuk biaya makan sehari-hari suster tersebut. Belum lagi, jika ada keadaan darurat. Jika kita memiliki uang yang berlimpah, kita bisa siapkan kendaraan dan pengemudinya untuk setiap saat diperlukan segera membawa saya ke rumah sakit terdekat. Bayangan hitungan itu saja, sudah mengerikan.
Belum lagi, waktu untuk bertemu dengan anak juga terbatas. Dia butuh bekerja dan juga rekreasi yang belum tentu bisa saya ikuti. Artinya, saya akan semakin membelenggu dia. Ada memang pandangan, bahwa anak harus berbakti kepada orang tua. Menurut saya, pertama, berbakti bukan berarti mengekang kebebasan anak saya. Kedua, saya berprinsip bahwa sebagai orang tua, saya punya kewajiban membahagiakan anak. Anak tidak pernah minta dilahirkan. Karena ulah saya, anak saya lahir.
Dari pertimbangan tersebut, saya memasukkan tinggal di panti jompo sebagai satu pilihan yang mungkin akan saya pilih.