Mohon tunggu...
Wijanarto
Wijanarto Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Sejarah Alumnus Magister Sejarah Undip Semarang

#mencintai sejarah #positiv thinking# niku mawon {{{seger kewarasan}}}

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Binadji Tjokroamidjojo: Martir Revolusi Kemerdekaan

14 Maret 2020   13:05 Diperbarui: 14 Maret 2020   13:17 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Binadji Tjokroamidjojo (Dok. Keluarga)

Sepotong jalan tertera namanya : Binadji. Jalan tersebut berada di sebuah kampung dekat tanggul sungai Pemali kota Brebes. Tak banyak yang tahu tentang dirinya. Binadji menjadi bukti tokoh sejarah yang berada di ruang gelap panggung sejarah lokal di Brebes. Selama ini nama Binadji dikenal hanya sepotong jalan. Lain itu tidak. Padahal tokoh inilah yang berperan penting dalam proses transisi politik di tahun 1945 dan salah satu inisiator pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Brebes.Bersama dengan K.H Syatori, Binadji menjadi tumbal dalam fase revolusi kemerdekaan. Keduanya gugur ditembak oleh pasukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA), saat Agresi Militer I tahun 1947.

Terlahir dengan nama Mas Binadji Tjokroamdijojo. Binadji merupakan putra ke delapan dari sepuluh bersaudara. Putra Kepala Desa Kartomidjojo ini dilahirkan di desa Genting Ambarawa pada 7 Juni 1907. Ia memulai pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS), setingkat SD tahun 1912. Pendidikan setingkat SMP atau pada waktu itu bernama Middelbare Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Yogyakarta. Dari melihat riwayat pendidikan, Binadji memperoleh pendidikan sekelas warga Eropa. Ini disebabkan hubungan kekerabatan keluarga Binadji dengan keluarga RM Siswadi  Kismoditjokro yang berkedudukan sebagai mantri ukur. RM Kismadi menikahi Rara Moertijah kakak perempuan ayahnya. Mas Binadji dititipkan dalam tradisi ngenger atau nyuwita. Dalam tradisi Jawa ini merupakan tradisi menitipkan seorang anak kepada keluarga yang derajatnya lebih tinggi dengan harapan beroleh kehidupan yang lebih baik dan kelak membantu keluarga lainnya.

Melalui keluarga RM Siswadi, Binadji memperoleh pendidikan yang baik khususnya pendidikan Eropa. Sebagai rasa terima kasih kepada keluarga RM Siswadi, Binadji menambahkan di belakang namanya imbuhan "Tjokroamidjojo". Nama itu terdiri dari "tjokro" dari nama Kismodi-tjokro dan nama belakang ayahnya Kartomi-djojo. Mas Binadji merupakan tipikal priyayi terpelajar lulusan Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Karier kepegawaiannya selepas dari OSVIA adalah menjadi pegawai magang di Kawedanan Ambarawa. Di tahun 1927-1930 karirnya melesat sebagai mantri polisi di Kawedanan Purworejo. Tahun 1933 Binadji dipromosikan menjadi Asisten Wedana (setingkat Camat) di Sroemboeng Kabupaten Magelang. Tiga tahun kemudian Binadji diposisikan sebagai Jaksa pada landraad di Kabupaten Temanggung. Tanggal 28 Juni 1940 Binadji dimutasikan di Kabupaten Pemalang dengan jabatan yang sama. Diketahui pada masa pendudukan Jepang Binadji masuk ke Kabupaten Brebes sebagai Jaksa pada landraad Brebes.

Gegeran Revolusi Sosial

Tak lama berselang, memasuki tahun 1945 tepatnya bulan November di pesisir utara Jawa meletus Peristiwa Tiga Daerah. Ini merupakan peristiwa revolusi sosial yang menjadi antiklimaks dari revolusi 1945. Sebagaimana analisa Anton Lucas dalam One Soul One Struggle (1989) katup penyebab revolusi berakar panjang dari masa pendudukan Jepang hingga kekecewaan terhadap kaum pangreh praja yang tidak mendukung revolusi 1945 dan menguatkan kaum status quo. Pada situasi itulah Mas Binadji dihadapkan mengatasi turbulensi politik lokal di Kabupaten Brebes. Sedangkan kita ketahui Bupati Brebes, kala itu Sarimin Reksadihardja cenderung bersikap mendukung status quo dengan bukti tidak memperkenankan pengibaran bendera Merah Putih di Brebes.

Tatkala bertugas di Kabupaten Brebes, Binadji sudah berkeluarga dan dikarunia 6 orang anak. Binadji melangsungkan biduk rumah tangga dengan meminang Rara Chatimah Djojowinoto. Rara Chatimah merupakan putri dari RM Sayid Jakub Djojowinoto yang masih keturunan Sultan Hamengkubuwana II. Binadji melangsungkan pernikahan pada 9 Januari 1930. Tak lama kemudian pasangan pengantin ini mendapatkan karunia anak pertama yang lahir 6 Juni 1930 dan diberi nama Bintoro (kelak menjadi Dubes Indonesia untuk Belanda periode 1990-1993).

Berturut-turut lahir keturunan lainnya yakni :

1. Bintari yang lahir 24 Maret 1933

2. Bintaroem yang meninggal pada usia setahun

3. Putra keempat meninggal sebelum lahir

4. Binarti Fadjar Soemirat yang lahir pada 13 September 1944

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun