Mohon tunggu...
Wijanarto
Wijanarto Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Sejarah Alumnus Magister Sejarah Undip Semarang

#mencintai sejarah #positiv thinking# niku mawon {{{seger kewarasan}}}

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Legenda Sang Penghibur: Tan Tjeng Bok dalam Amatan Fandy Hutari dan Dedy Otara

11 Maret 2020   16:30 Diperbarui: 11 Maret 2020   16:37 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tan Tjeng Bok | Dok. pribadi

Koloni  industri hiburan melalui Dardanella selain menawarkan pembaharuan dalam dunia pertunjukan seperti naskah, properti panggung gemerlap, dan kostum para bintang dengan standar sandiwara Eropa, tanpa disadari Dardanella memiliki kekuatan impresi bagi eksplorasi identitas kebangsaan melalui penggarapan naskah. Sebagaimana dinyatakan dalam kajian Dyah Ayu Setyorini dan Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari, Nasionalisme alam Dunia Seni Pertunjukan: Sandiwara Dardanella  Kiprah dan Karyanya 1926-1935 (2017), beberapa naskah panggung sandiwara Dardanella sarat dengan sikap impresif nasionalisme seperti Dr.Samsi, Mait Hidoep dan Perantaian 99.

Tan Tjeng Bok sendiri dalam pementasan Dr. Samsi di Gedung Thalia Mangga Besar Batavia 1930 memerankan sebagai Sinyo Kemayoran. Pada naskah Mait Hidoep berperan sebagai dokter. Ini yang tak luput dalam amatan buku ini. Pembaca dikuakkan bagaimana sikap A. Piedro yang disokong penulis naskah Andjar Asmara menyorotkan sikap politik Dardanella yang cenderung antikolonial, antifeodalisme. Piedro menunjukkan sikap simpatik saat Soekarno ditahan tahun 1930. Dardanella sendiri ialah wujud Indonesia / Hindia Belanda kecil dengan keragaman personilnya dari lintas suku / etnik.

Pendek kalam, siratan buku mampu mengungkap historiografi seni pertunjukan dengan mengungkap gerak seorang legenda penghibur Tan Tjeng Bok. Melalui sosok Tan Tjeng Bok pembaca mengetahui jatuh bangunnya sang aktor, dinamika seni pertunjukan di Indonesia sekaligus orientasi dan sikap hidup sang penghibur. Setidaknya Tan Tjeng Bok bukan epitaf pada jagad pertunjukan.

Negera telah memberikan penghargaan Budaya Parama Dharma 6 November 2003 semasa Presiden Megawati serta penghargaan plakat Djamaludin Malik pada Festival Film Indonesia (FFI) 1980. Lebih dari itu ia adalah semangat bagi seniman untuk berkhidmat dalam dunianya, seperti yang ia titipkan dalam testimoni pada sebuah majalah di tahun 1984, "Kalau memang Tuhan mau mengambil nyawa saya, silakan. Cuma tolong pada generasi mendatang, khususnya seniman seniwati dan para bintang film untuk meneruskan perjuangan yang pernah saya rintis di dunia film" .

Tan Tjeng Bok | Dok. pribadi
Tan Tjeng Bok | Dok. pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun