Rupanya Enthus Susmono kesengsem dengan tokoh punakawan yang mirip Cepot dan Dawala di tatar Sunda. Saat digelar Wayang Santri (sebutan pertunjukan wayang Enthus yang memposisikan sebagai prototipe dakwah melalui seni tradisi), Lupit menjadi sentral dalam setiap pentas. Bersama dengan sohibnya Slentheng, Lupit merepresentasekan tokoh oposisi dengan gaya candaan yang menohok namun mengena. Tak jarang tokoh Lupit mereduksi jiwa sang dalang, yang membutukan ruang katarsis melalui panggung teatrikal wayangnya. Apalagi saat Enthus Susmono, menjadi Bupati tentu ia menyadari posisi tersebut yang berbeda saat mendalang sebagai seorang seniman.
      Lupit menjadi messianik sekaligus antiklimaks. Lihat bagaimana judul-judul pementasan wayang santri Enthus dengan Lupit sebagai tokoh sentralnya seperti Lupit Dadi Ratu, Lupit Ngaji, Lupit Munggah Kaji, Lupit Dadi Jaksa atau Lupit Nulungi Putri. Dari judul yang disajikan kiranya menjumbuhkan bagaimana strateginya figur Lupit dengan Slentheng. Sebagai kawula, peran Lupit menyerupai bentuk troubadour yang menyuguhkan suasana kocak, satire dus menghibur.Lupit juga menjadi self control bagi Enthus Susmono sebagai Bupati Tegal. Enthus tentu memahami adagium, kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane wung winates. Enthus Susmono menyadari bahwa dirinya bersama dengan Umi Azizah menyadari dirinya sebagai elite tak berarti apa -- apa tanpa kawula. Amanah kawula mesti diwujudkan saat Enthus Susmono terpilih sebagai "ratu" bersama pasangannya Umi Azizah, untuk memimpin tlatah Kabupaten Tegal.
Dari ruang berkesenian beralih ke ruang politik, bagi Enthus Susmono menjadi ruang teatrikal berpolitik yang tidak sama dengan pementasan wayangnya. Justru dalam kondisi inilah, Enthus berkhidmat melayani permintaan untuk manggung meski waktunya terbatas. Tentu kita memahami posisi Enthus dalam hal ini sebagai seorang komunikator budaya dan melepaskan jubah sebagai "ratu" menjadi troubadour. Tanpa disadari ia melakukan silent resistance (perlawanan senyap) terhadap dirinya sekaligus jajaran eksekutif. Melalui Lupit dan Slentheng, Enthus menjalani amanat sebagai kawula yang mengingatkan posisi dirinya sebagai Kepala Daerah yang jumeneng di Kabupaten Tegal sekaligus tidak kehilangan ruang publik dengan komunitas dan para kawula yang mendaulat dirinya menjadi Ratu.
Bintang yang Tak Memudar
      Pakeliran sudah paripurna, tapi bukan bintang Ki Enthus Susmono sirna. Sesudah Slamet Gundono, memang kehilangan benar bagi Tegal. Walau terdapat beberapa dalang, tapi bintang Tegal memang masih disematkan pada Enthus Susmono dan Slamet Gundono. Dibutuhkan durasi waktu yang panjang untuk lahir seperti keduanya.
      Tak ada lagi kecerdasan diksional lagi kita temukan (masih ingat bagaimana Enthus menyebutk kompleks pelacuran Wandan sebagai pondok Darul Nikmat) sesudah sang dalang menghadap Sangkan Paran. Enthus Susmono telah mewariskan jejak penanda bagi pengembangan jagat pewayangan seperti wayang santri, wayang walisanga, wayang rai wong, wayang kebangsaan hingga museum wayang yang ia cita-citakan. Jauh lebih penting lagi adalah menyelamatkan gaya pedalangannya yang telah menjadi mainstream pesisiran Tegal serta mengelaborasi kelokalan. Dbutuhkan daya dobrak. Vale ad caulas Deus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H